19 - Surat Izin

1 0 0
                                    

Gennie

Sepanjang pulang dari kampus kami diam di mobil. Dan aku tidak mempermasalahkan itu. Mungkin Mas Dion juga lelah dengan kegiatan hari ini yang cukup padat, sama sepertiku. Tapi setelah membeli bensin, aku baru menyadari genggaman kuat di setirnya.

"Mas Dion gapapa?" tanyaku, agak berhati-hati.

"Hm? Gapapa, kok? Emang kelihatannya kenapa?" dia balik bertanya dengan nada yang bukan lembut, tenang, dan meneduhkan seperti biasa, tapi seperti nada riang yang aneh.

"Mas Dion. Aku bukan cenayang. Aku cuman bisa liat tangan Mas di setir, terus nadanya bukan yang aku kenal, yah," ungkapku, berusaha tegas namun lembut secara bersamaan.

Mas Dion menghela nafas. "Aku baru sadar aja sih, kamu ternyata ramah banget ke semua orang, tapi bisa tegas juga." Dia tersenyum lebar saat menoleh sebentar ke arahku. "Kagum aja, gitu," katanya, dengan nada lembut yang ku kenal. Dan aku memutuskan mempercayainya saja malam itu. Aku belum siap mengorek apapun yang ada.

Tapi sikapnya seminggu kedepan tetap membuatku penasaran. Dia memang masih mengantarku pulang. Masih mengirimiku pesan. Masih telfonan juga jika seharian itu kami tidak sempat bertemu. Masih mau memeluk dan mencium kening atau punggung tanganku. Tapi sangat mengganjal melihatnya setiap kali aku selesai berbicara dengan anggota atau teman-temanku yang lain.

"Udah aman, nih. Yuk ke Pak Nayu, udah nunggu di kantor Lab," ajak Kak Nathan setelah mengecek surat izin yang ku buat dan sudah diberi tanda tangan oleh ku dan Mas Dion.

Sabtu ini ACS mau membuat siniar di Lab radio milik kampus. Karena aku masih belum terbiasa membuat surat izin, akhirnya aku minta tolong Kak Nathan untuk membantuku. Sebagai cowok tulen yang maco, semua orang akan kaget seberapa hebatnya Kak Nathan di dunia sekretarian. Aku dan Teh Annika selalu bertanya surat menyurat padanya. Mas Dion tentu setengah tidak peduli, asal semua berjalan baik, dia akan mengurus teknisi yang lain.

Saat kami sampai di kantor Laboratorium Ilkom, ternyata Pak Nayu sedang ada tamu dan kami diminta tunggu di salah satu ruang Lab yang kosong. Kami berdua duduk di salah satu kursi tinggi dan berkecamuk dengan dunia masing-masing. Kak Nathan dengan ponsel beserta senyumannya, aku dengan pikiranku sendiri.

Sudah hampir dua bulan kami kembali bersama, dan hampir dua minggu belakang Mas Dion masih berperilaku manis meski terasa mengganjal. Ada saja dibenakku bahwa dia mulai cemburu lagi. Tapi dengan apa? Dengan sikapku kepada banyak orang?

"Kak Nathan," panggilanku hanya diberi gumaman. "Cowok kalau cemburu emang suka mendem, yah?" apa yang kutanyakan memang sangat berbeda dengan apa yang terlintas di kepalaku.

"Lu lagi deket sama siapa, emangnya?" saat Kak Nathan balik bertanya, aku tahu Diana tidak pernah membicarakan hubungan Abangnya dan aku dengan Kak Nathan.

"Ada pokoknya," jawabku, sengaja agak ambigu. Tapi untung Kak Nathan menghormatinya. "Kemarin dia tahu aku di deketin orang lain, terus minta aku kabarin dia kalo emang ada yang deketin aku lagi. Pas dia lihat aku dekat sama anggota ACS, dia malah aneh sikapnya," aku menoleh pada Kak Nathan yang kini perhatiannya sepenuhnya padaku. "Emang gitu yah, cowok cemburuan?"

"Sepengalaman aku sih, bisa jadi itu bentuk cemburunya. Karena emang sebenarnya dia juga lagi observasi respon kamu itu seperti apa," Kak Nathan yang mode sekretaris juga bisa keluar kalo sedang menjelaskan begini. "Tapi dia cuman bersikap aneh aja, kan? Gak sampe nyuruh Lu keluar dari ACS, atau ngelarang pakai baju tertentu, gitu," tanya Kak Nathan, memastikan.

"Sejauh ini sih, enggak. Cuman sikapnya aja. Tapi akunya yang malah ga enakan," ujarku, sembari menggaruk punggung tangan dengan tidak nyaman.

"Bagusan gitu, sih. Lagian kalian juga baru kenal, kan?" Aku langsung mengulum bibir, menahan diri untuk tidak mengoreksi atau membentah. "Pasti dia juga lagi lihat sikap Lu aslinya kayak gimana sama teman dan sama dia. Soalnya, Gen, sikap kita ke teman sama sikap kita ke pasangan, tanpa kita sadari nih, suka beda banget. Makanya gue gak pernah pacaran depan si Dion, soalnya dia pasti jijik," penjelasannya cukup akurat dan masuk akal. Aku sering melihat wajah aneh Diana setiap kali Mas Dion bersikap manis padaku.

"Tapi kalo cewek enggak sih, Kak. Aku malah seneng kemarin lihat Diana punya sisi lain waktu sama Kak Nathan, feminim dia keluar banget," timpalku.

"Eh, Lu belum lihat Annika jadi nyamuk buat gue sama Diana, kan? Sama aja muka jijiknya. Padahal dia kan sahabat Dion, temen Diana, temen gue juga. Yah, itu mah gimana pribadi orang sih, Gen," Kak Nathan seperti membuat kompetisi yang tidak mungkin aku menangkan.

Aku terkekeh mendengarnya. "Lagian, samain aku sama Teh Annika, sama Teh Anna, dong. Aku penasaran, tau."

"Kalo Lu sama Anna sih, gak beda jauh sih. Anna lihat tiba-tiba jadi bucin sama cowok awalnya aneh, tapi seneng juga. Gak paham deh, emang ajaib Lu sama Anna, tuh," Kak Nathan berdecak kagum.

Lalu aku termenung dengan apa yang tadi Kak Nathan katakan. "Jadi, aku harus gimana sama cowok yang cemburunya kayak gitu? Aku harus bujuk atau minta dia cerita, kan?" tanyaku, memastikan.

Kak Nathan menatapku dengan kernyitan. "Serius Lu tanya gitu?"

"Yah, sebagai Kakak lah, minimal. Aku teh anak tunggal. Dan baru kali ini beneran pacaran. Terakhir pacaran pas SMA, itu pun main-main. Jadi bantulah adikmu ini," kataku, dengan mata berbinar, memohon dengan sangat.

"Yah, yang paling gampang Lu jelasin sikap aneh dia langsung, terus Lu jelasin sifat asli Lu gimana kalo sama teman-teman dan sama dia. Terus, kalo mau tambah manis, bilang kalo Lu seneng kalo dia cemburu, berarti tandanya dia sayang Lu. Gue digituin sama Diana, gak jadi marah sih, biasanya. Tapi gimana orangnya lagi, Gen," jelasnya, langsung tanpa berpikir dua kali. Seperti memang baru-baru ini dia lalui fase itu, karena itu dia bisa lancar menjelaskannya.

"Gak harus berubah juga sikap aku, kan? Aku nyaman tahu kalo bisa manjain anggota ACS," tanyaku, ada rasa penasaran dan takut.

"Kalo dia emang jodoh Lu, semua sikap Lu bisa dia terima. Kalo enggak, yah ganti cowok lah. Kayak kampus kita minim cowok aja. Noh, pacarin Pakpim atau si Leo habis purna. Gue jamin mereka baik. Jangan sama Trian aja, buaya darat emang bocah," aku ikut terkekeh bersamanya. Dan kembali mengulum bibir. Gimana yah kalo dia nanti tahu bahwa aku memang pacarnya Pakpim kita?

*****

Apple Flower of Our HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang