27 - Pertemuan Ketiga

0 0 0
                                    

Gennie

"Keluarga kamu udah dikasih tahu kamu disini?" tanyaku. Kini kami duduk di sofa di ruang rawat inap Nini, pukul 5 sore dan pada hari Jumat.

"Udah, tadi dalam perjalanan ke sini aku udah kabarin. Ke Geng Burger juga udah. Tadinya siang ini kita mau makan di luar, tapi jadinya besok kok, santai," penjelasan Mas Dion membuatku lega bercampur bersalah.

Bagaimana tidak? Kehadiran Mas Dion dengan tas punggung besarnya beserta wajah paniknya saja sudah membuatku terkejut. Dan saat dia menjelaskan bahwa ternyata dia baru pulang dari Jakarta dan sedang libur akhir pekan di Bandung, tapi alih-alih pulang ke rumahnya, dia malah langsung menghampiriku ke rumah sakit langsung dari stasiun kereta.

Dengan hati yang rapuh dan isi pikiran yang kosong, saat dia sudah di dekatku dan menjelaskan semuanya, aku melebur pelukan lega bercampur kacauku. Ini yang paling kubutuhkan, dan aku senang Mas Dion selalu berada di waktu yang tepat ini. Tapi sekarang rasanya aku berharap dia datang besok atau lusa saja.

"Ngomong-ngomong, kamu potong rambut, yah? Ada masalah apa, nih?" pertanyaan Mas Dion seketika membuatku sadar pada rambutku yang diikat dibelakang kepalaku.

Aku terkekeh sembari melepas karet dari rambutku. Kini rambutku tidak sepanjang terakhir kali kami bertemu, aku sengaja memotongnya sampai hanya tinggal sebahu, dan poniku sudah memanjang jadi lebih mudah bagiku menghalau poni dari wajahku. "Gak ada apa-apa sih, mau potong rambut aja biar lebih segar," Aku menoleh pada Mas Dion dengan kedipan mata genit. "Gimana? Cantik, kan?"

Mas Dion terkekeh, mengusap kepalaku. "Cantik. Tapi..." Dia mengusap agak kasar wajahku, dan aku mengaduh pelan. "Jangan genit-genit. Inget, kamu lagi nungguin aku." Aku terkekeh mendengar kelanjutan Mas Dion.

"Kayak Mas gak genit aja," lirihku yang langsung diberi kernyitan diwajah Mas Dion.

"Kapan aku genit?"

"Wait..." Aku mengeluarkan ponselku dan menunjukkan foto tim magang Mas Dion di Jakarta, dan mereka saling merangkul, dengan Mas Dion merangkul gadis berhijab di sebelahnya. Menunjukkan seberapa ditailnya diriku. "Genit, kan?" Meski pun aku tahu bahwa dia tidak maksud begitu.

"Yang bener aja, Gen," gumamannya kuberi kekehan. Aku suka membuatnya kesal sesekali.

***

"Makasih yah, Yon, udah bantuin kita lagi," ucap Bang Pebri, menepuk-nepuk bahu Mas Dion yang baru menutup bagasi mobil Bang Febri.

"Gak masalah, Bang. Tapi aku beneran buru-buru nih, duluan, yah," pamit Mas Dion, menyalami Bang Febri, dan menghampiriku yang baru mengunci pintu rumah. "Gen, aku duluan yah. Maaf cuman bisa bantu masukin koper. Dua minggu lagi magangku selesai, nanti kita banyak ngobrol lagi, yah," katanya dengan nafas tersenggal.

"Iya, Mas. Gapapa. Makasih yah udah sempetin datang," kataku, lalu memeluk singkat lalu memberi senyuman tipis. "Oh ya, aku mau balikin ini," aku mengeluarkan notebook yang Mas Dion berikan saat tahun baru kemarin. "Udah aku baca semua, dan aku pikir untuk dibalikin."

Mas Dion berdecak sembari mendorong notebook-nya. "Simpan aja kalo gitu. Anggap pegangan kalo aku bakal balik lagi, sesuai janji. Oke?"

"Gak, ah. Mas aja yang pegang. Aku masih pake kalung dari Mas Dion dan sekarang aja aku masih pake cardigan pemberian Tante Julia dan Diana, harusnya udah jadi pegangan yang bagus, kan?" tolakku, kini memaksa Mas Dion memegangi notebook-nya itu.

Mas Dion menghela nafas sembari mengangguk malas. "Yaudah deh," gumamnya sebelum mencium puncak kepalaku, dan aku mematung saat dia menjauh dan melambaikan tangan dengan senyuman manis.

Apple Flower of Our HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang