22 - Caption

1 1 0
                                    

Dion

Semua manusia dipersilakan untuk berbicara, namun waktu yang harus tetap kita baca. Karena itu aku selalu berusaha untuk berhati-hati setiap kali mau mengatakan atau menunjukkan sesuatu. Tapi ada momen dimana aku sebenarnya bingung mau mengatakan atau melakukan apa.

Pada pukul setengah 1 malam, dan aku duduk di ruang tamu gadis-ku, duduk bersebelahan di sofa panjang. Gennie akhirnya bisa tenang setelah menangisi sesuatu yang membuatku penasaran. Aku tidak tahu semua letak gelas dan air minum hangat di rumah ini, jadi aku kembali memberikannya botol minum yang kubawa dari mobil.

"Gennie masih sedih?" tanyaku, berhati-hati sembari masih mengusap pungunggungnya dengan lembut. Kini dia memeluk kakinya sendiri, masih sesegukan meski pelan.

Gennie mengangguk pelan. "Masih. Tapi udah gak mau nangis lagi," ucapnya dalam bisikan. Lalu dia menatap mataku, dan aku memberikan senyuman terbaikku.

"Ada apa, Sayang?" Momen inilah salah satunya. Aku tahu dia mau berbicara sesuatu, tapi aku agak terlalu mengantuk untuk menebaknya.

"Tadi aku baca notebook marun yang Mas kasih. Dan," Gennie menggantung katanya dengan ragu. Dan aku tahu bagian mana yang dia baca sampai dia seragu ini.

Aku merangkul tubuhnya, dan menebaknya, "Dan kamu baca bagian wanita itu, kan?"

Gennie mengangguk pelan, membiarkan segukannya kembali terbit bersamaan dengan matanya yang berbinar sedih bercampur iba. "Yang Mas Dion maksud itu, Tante Julia, yah?" kali ini dia yang berhati-hati.

Aku tidak punya alasan untuk menutupinya. Jadi aku mengangguk pelan. "Udah sekitar dua setengah tahun lalu aku gak sengaja lihat Mama jalan sama cowok lain disaat Papa lagi ke luar kota untuk kerja." Masih terekam jelas kejadian hari itu di kepalaku. Mama sedang bermanja-manja dengan cowok yang wajahnya sangat asing, dan aku hanya berani memfotonya, namun tidak berani kutunjukkan kepada siapapun. "Aku sempat berpikir, mungkin Mama selingkuh karena Papa selingkuh juga, tapi selama lima bulan aku perhatikan, aku gak menemukan bukti apapun. Yang aku temukan malah seberapa sayang dan setianya Papa pada kami," lanjutku. Seakan mulutku memiliki pemikiran untuk mengungkapkan semua yang selama ini kupendam pada semua orang.

"Tapi mereka baik-baik aja kemarin. Kok..." kini Gennie kehilangan kata-kata.

Aku menaikan salah satu kaki, dan memposisikan duduk menghadapnya langsung. Gennie pun langsung memutar badannya dan bersandar pada lengan sofa. "Setelah aku menemukan bukti dari kedua belah pihak, aku paksa mereka untuk bicara. Kita ngobrol bertiga dengan aku kasih semua bukti itu, dan akhirnya Papa ambil sikap untuk gak keluar kota kalo gak sama Mama. Dan aku yang akan jadi pengawasnya. Aku harus kasih semacam laporan ke satu sama lain setiap minggunya. Itu kenapa aku gak ambil PTN di luar kota, karena aku harus mengawasi mereka."

Gennie mengernyit bingung. "Hanya itu?" pekiknya. Mungkin dia mengharapkan sesuatu yang lebih fantastis. "Terus selama dua tahun ini, Mas gimana?"

"Aku sering lengah. Karena gak cuman masalah Mama dan Papa, aku juga ada tanggung jawab di kampus dan ACS. Beberapa kali juga Mama kepergok ketemu lagi sama cowok itu, dan mereka hampir cerai," sambungku. Aku bisa tenang bercerita karena semua itu sudah aku persiapkan sesaat sebelum aku membocorkan perselingkuhan Mama ke Papa. "Saat itu aku dan Diana pasrah aja, tapi Dilan yang ngotot untuk minta penjelasan kenapa semua ini jalan keluarnya adalah perceraian. Papa sama kayak aku, apapun alasannya, kalau kedepannya gak mau diperbaiki, mending disudahi," aku menarik nafas, mengingat bagaimana keosnya rumah saat itu saat Dilan menemukan surat perceraian yang hanya tinggal ditanda tangani Papa.

Aku menunduk, melihat tangan mungil Gennie memegang tanganku dan mengelusnya lembut. Aku tersenyum kecil, menahan rasa sakit di dada yang selama ini kutahan. "Sampai akhirnya Mama angkat bicara, dan baru pertama kalinya aku sadar seberapa pentingnya penjelasan. Mama berselingkuh dari Papa karena memang Papa tidak pernah ada waktu untuknya. Semua obrolan dan kemanisan Papa dan Mama ada untuk kami anak-anaknya, bukan untuk satu sama lain." Aku mengangkat tangan kananku untuk mengusap pipi gadis-ku. "Komunikasi mereka sama kayak kamu dan Ibu kamu, hanya sebatas keperluan materi, bukan kebutuhan hati. Dan Mama orangnya mendam kekesalan, makanya dia lebih milih bertindak, dan bukannya bilang langsung ke Papa."

Apple Flower of Our HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang