Apa yang kamu pikirkan setiap baru membuka mata?
Tentang rencana hari ini?
Tentang mimpi yang ingin dicari?
Atau justru duka malam tadi?
Ini kisah acak tentang pikiran-pikiran yang muncul ketika menyesap teh, menghidu aroma kopi, menatap tetes huja...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Udara malam terasa berat di dalam lokomotif. Ray menggenggam tuas rem dengan tangan gemetar. Di depan sana, seseorang tergeletak di tengah rel.
Jaraknya hanya beberapa puluh meter.
Otaknya menjerit, Tarik rem darurat!
Namun, ia tahu, itu tidak akan cukup. Kereta terlalu berat, terlalu cepat! Bahkan jika ia menarik rem sekarang, akan butuh ratusan meter untuk berhenti dan membahayakan ratusan penumpang di gerbong belakang.
Tapi, itu manusia!
Ray menekan klakson panjang. Sorot lampu menangkap wajah pucat lelaki di rel. Ia tidak bergerak, menatap lurus ke arah kereta yang melaju.
"Pergi ... Tolong pergi...." Suara Ray bergetar. Ia tahu lelaki itu tidak akan sempat pergi.
Ia menarik rem sekuat tenaga. Tapi dalam hatinya, ia tahu—terlambat.
Lalu—
Kereta orang itu hilang. Tergiling di bawah rel.
Ray tak merasakan dengan indera. Dia merasakan dengan nuraninya. Dunia seolah berhenti. Suara derak daging dan tulang menggema di kepalanya, meski di luar hanya ada derit besi dan roda yang menggiling rel.
Ray memejamkan mata, tetapi suara itu tetap terasa nyata.
Ketika akhirnya kereta berhenti beberapa ratus meter kemudian, ia tidak langsung turun. Tangannya mencengkeram tuas. Berkeringat.
Ia baru saja membunuh seseorang.
Jari-jarinya gemetar saat ia meraih radio komunikasi. Suaranya pecah ketika berbicara, "Kecelakaan... di kilometer... butuh bantuan..."
Ia tidak mendengar jawaban dari radio. Atau mungkin tidak peduli.
Perlahan, ia turun dari lokomotif. Udara malam menusuk kulitnya, tapi dadanya terasa terbakar.
Bau darah menguar dari depan kereta. Atau mungkin itu hanya ada di kepalanya.
Ray melangkah mendekat. Cahaya lampu lokomotif menyinari genangan merah yang menyembur roda besi yang kukuh. Lalu ia melihatnya—atau yang tersisa darinya.
Lelaki itu hancur. Tubuhnya koyak, nyaris tak bisa dikenali sebagai manusia lagi. Ada sesuatu yang seharusnya menjadi tangan, masih menggenggam sesuatu—foto lusuh.
Ray jatuh berlutut. Matanya terpaku pada foto itu. Seorang anak kecil, tersenyum, digendong oleh lelaki yang kini tak bernyawa.
Kerongkongannya tercekat.
Ia sudah tahu ini akan terjadi. Ia tahu ini bukan tanggung jawabnya. Namun, nuraninya tak mau tahu. Rasa bersalah itu tetap menusuknya tanpa ragu.
Dan malam ini, ia tahu, ia tidak akan pernah bisa menjadi manusia yang sama lagi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
20 Feb 25
Ngeri sih memang. Dan mostly memang salah penyebrangnya T_T
Cinia dari ceritaku yg Magicamore Arancini.... kamu jangan niru si Laki-laki, ya.....