A Silence of Ten Years [Gyuhan]

363 21 6
                                        

Kim Mingyu/Yoon Jeonghan, Cha Eunwoo/Yoon Jeonghan

Angst, Romance, Adultery/AU, M-preg/PG-15

.

.

-<>-||-< A Silence of Ten Years >-||-<>-

.

.

.

Pernikahan itu telah ditakdirkan bahkan sebelum Yoon Jeonghan dan Kim Mingyu menghirup napas pertama mereka di dunia.

Di atas meja mahjong yang berisik dan di antara kepulan asap cerutu, dua kakek yang bersahabat kental sejak zaman perjuangan telah membuat wasiat suci untuk menyatukan cucu-cucu mereka kelak. Wasiat sekokoh kerajaan bisnis mereka. Bagi Jeonghan yang terlahir sebagai seorang carrier, janji itu adalah sebuah dongeng yang hidup. Sejak ia mengerti arti kata "janji", ibunya selalu berbisik tentang seorang pangeran tampan dari keluarga Kim yang kelak akan menjadi suaminya, melukiskan masa depan yang seindah kelopak bunga di musim semi.

Ia diberi tahu bahwa hidupnya adalah sebuah persiapan; persiapan untuk menjadi pasangan Kim Mingyu saat usia mereka genap 21 tahun. Jeonghan kecil hanya pernah melihat Mingyu melalui selembar foto usang yang sedikit menguning di tepinya. Seorang bocah laki-laki dengan senyum sedikit canggung dan mata bulat yang menatap lurus ke kamera. Entah bagaimana, foto bisu itu berhasil mencuri hati Jeonghan. Ia merasa Mingyu menatap lurus ke dalam jiwanya, dan itu sudah cukup untuk membuat hatinya yang masih polos berbunga-bunga.

Ia jatuh cinta pada foto itu, pada ide tentang seorang anak laki-laki yang kelak akan berbagi hidup dengannya. Ia membayangkan hari pertemuan mereka, merangkai skenario di kepalanya di mana Mingyu akan tersenyum padanya dan mengatakan betapa indahnya parasnya. Siang berganti malam, diisi dengan lamunan tentang hari pertunangan mereka, tentang sebuah pernikahan megah yang akan menyatukan dua nama besar.

"Jaga sikapmu, Jeonghan-ah. Jaga penampilanmu. Kau akan menjadi wajah dari keluarga Yoon dan Kim." Nasihat lembut neneknya terngiang hampir setiap hari.

Dan Jeonghan, dengan hati seorang anak yang penurut, menyerap semua itu. Dunianya dipenuhi les etiket, pelajaran musik, dan cermin yang memantulkan bayangan seorang anak laki-laki yang harus selalu sempurna, seperti yang didamba-dambakan dalam cerita-cerita pengantar tidurnya. Ia menjaga tutur katanya agar selembut sutra. Setiap pujian yang datang silih berganti -- atas kebaikan hatinya, otaknya yang cemerlang, dan tentu saja, rupanya yang menawan -- semua ia kumpulkan dalam hati, sebagai persembahan untuk hari pertemuannya dengan Mingyu.

Hari itu akhirnya tiba saat usia mereka menginjak 11 tahun. Di sebuah taman luas milik keluarga Kim yang dipenuhi bunga aneka warna, Jeonghan berdiri dengan gugup, jantungnya berdebar kencang. Ia meremas ujung kemeja sutra putihnya yang mahal, kemeja terbaiknya untuk peristiwa berharga ini. Namun, ternyata pertemuan itu jauh dari bayangannya, sebuah antitesis dari semua mimpinya. Mingyu ada di sana, pangeran dalam fantasinya, berdiri canggung di samping kakeknya. Ia lebih tinggi dari bayangan Jeonghan, dan entah kenapa, auranya terasa dingin.

"Mingyu-ya, ini Jeonghan." Kata Kakek Kim dengan suara riang, mencoba mencairkan suasana.

"Hmm, tidak buruk juga..." Guman Mingyu pelan.

Mingyu hanya melirik bocah di depannya sekilas dengan ekspresi datar sebelum membuang muka, seolah pemandangan taman jauh lebih menarik. Tak ada sapaan hangat, tak ada jabat tangan, tak ada senyum yang Jeonghan nantikan, hanya keheningan yang terasa memekakkan telinga. Dunia Jeonghan seakan runtuh dalam sekejap. Sebuah pemikiran mengerikan merayap di benaknya.

Mingyu tidak menyukaiku. Ia kecewa dengan penampilanku. Aku tidak cukup baik untuknya, pikir Jeonghan.

Senyum yang ia siapkan luntur, digantikan oleh kening yang berkerut cemas. Perlahan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, membuat taman yang indah itu kabur. Sepanjang pertemuan, Mingyu nyaris tak bicara, apalagi menatap Jeongan. Setiap pertanyaan hanya dijawab dengan "ya", "tidak", atau "tidak tahu". Siapa sangka, pengalaman itu menumbuhkan akar pahit yang merambat di hati Jeonghan dan menancap dalam benaknya. Ia mulai membenci cermin, merasa setiap pantulan dirinya adalah sebuah kekecewaan.

A Book of (Un)happy TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang