~ Claire's POV ~
"Hey, nanti sore sepulang sekolah..apa kau ikut? Kau tak membawa sepeda kan?" Tanya Andrew padaku saat kami tak sengaja bertemu di perpustakaan.
Aku berpikir sejenak setelah menggeleng, "Tidak. Tapi... Ikut? Kemana?"
Andrew mengangguk. "Aku dan Tere berencana ke toko kaset. Tere tak memberitahumu?"
"Ngg...Tidak," aku menggeleng.
"Ah, mungkin dia lupa memberitahumu, dia bilang akan mengajakmu. Jadi, kau akan ikut?" Andrew bertanya lagi.
"Mmm.. Baiklah, aku tak punya acara sore ini," ucapku menyetujui.
Andrew tersenyum sembari menutup bukunya. "Oke, sampai nanti.."
*
"Aku benar-benar minta maaf, aku tidak bermaksud tidak mengajakmu, Claire," ucap Tere merasa bersalah.
"Ah tak apa. Aku tau kau pasti lupa, akhir-akhir ini PR kita semakin banyak," jawabku sembari berjalan beriringan dengan Tere.
Tere mengangguk-angguk dengan muka masam. "Kau benar. Rasanya PR kita sudah seperti gunung yang siap meletus."
Aku menghela napas, "huh, tapi kita harus tetap mengerjakannya."
Tere hanya menggangguk lagi lalu berkata, "ah, kita sudah hampir sampai halte."
"Claire, Andrew sudah ada di sana. Ayo!" Ucap Tere ceria setelah memicingkan mata untuk melihat seorang anak laki-laki yang sibuk dengan ipodnya.
Aku dan Tere berlari ke arah Andrew, membuat Andrew terkejut dengan kedatangan kami yang disertai napas tak beraturan. "Hey, ada apa dengan kalian? Apa kalian dikejar anjing?" Andrew melihat trotoar sepi di belakang kami.
Tere melambaikan tangannya. "Hhh... Kami melihatmu di sini jadi aku dan Claire berpikir kau sudah lama menunggu."
"Tidak, aku baru saja sampai. Sekitar 2 menit yang lalu," ucap Andrew setelah melihat jam tangan birunya.
"Syukurlah.." Ucap Tere yang napasnya mulai teratur kembali.
"Umm.. Busnya datang 8 menit lagi. Jadi...." Andrew tak melanjutkan kalimatnya saat ia melihat ke arah Tere. Aku pun mengikuti apa yang ia lakukan.
Tere terlihat panik karena ia sibuk mencari sesuatu di tasnya dan berkata, "OMG OMG!!!"
"Ada apa?" Aku pun bertanya.
"Ponselku tertinggal di kelas!" Tere menepuk dahinya, lalu berlari menuju sekolah sembari berteriak, "AKU AKAN MENGAMBIL PONSELKU. AKU KEMBALI 5 MENIT LAGI!"
Aku masih sibuk melihat Tere yang berlari saat Andrew yang tak ku sadari telah duduk di kursi tunggu, berdehem. Aku pun berjalan lalu duduk di sampingnya. Andrew pun bertanya, "how's today?"
Aku melihatnya sejenak sebelum akhirnya menjawab, "seperti biasa. Tapi sepertinya hari ini aku lebih bersemangat."
Andrew tersenyum. "Bersemangat?"
"Yup," aku menjawab singkat sambil mengangguk mantap. "Bagaimana denganmu?"
Sebelum Andrew berhasil menjawab, ponselku berbunyi dan saat ku lihat ternyata itu panggilan dari Austin. Aku segera menerima panggilan itu. Namun sebelum aku sempat berkata 'halo', Austin lebih dulu bertanya padaku dimana aku berada dengan nada yang benar-benar datar.
"Aku di halte dekat sekolah dengan Andrew.." Aku sempat melirik Andrew sesaat sebelum aku menyebut namanya. "Ada apa?"
Austin tidak menjawab pertanyaanku dan malah mengakhiri panggilannya begitu saja. Aneh.
Aku menatap ponselku dengan wajah yang seolah bertanya 'ada apa dengan Austin?'. Kemudian Andrew yang sepertinya mengerti jika panggilan itu diputuskan begitu saja, bertanya, "Siapa?"
"Austin," jawabku singkat.
"Ohh..."
Aku kemudian mendengar suara orang berlari yang berhenti di depanku. Orang itu melihat Andrew tajam dan menggenggam pergelangan tanganku. Lalu ia menarikku pergi dari halte bus sebelum aku sempat meminta maaf ke Andrew.
"Hey!" Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya namun ia memegangnya semakin erat. Aku benar-benar tidak mengerti. Sungguh.
Aku terus berlari di belakangnya sampai kami berhenti di bawah pohon besar di sebuah taman yang asing bagiku. Aku segera melepaskan perlahan tanganku dari genggamannya dan memegang dadaku untuk mengatur napasku. Kemudian Aku melihatnya tepat di mata hazelnya untuk mencari penjelasan apa yang sebenarnya membuatnya menarikku menjauh. Namun ia malah mengalihkan pandangannya.
"Kenapa kau menarikku ke tempat ini?" Aku akhirnya bertanya pada Austin. Ya, orang yang tadi tiba-tiba muncul bukan Tere, tapi Austin.
Austin mendengus di tengah napasnya yang masih tak beraturan, masih enggan untuk memandangku. Rahangnya terlihat mengeras sesaat setelah aku berkata, "Ada apa denganmu? Aku bahkan meninggalkan Andrew di sana dan aku tak sempat meminta maaf."
"Huh? Apa Andrew sangat penting bagimu?" Lagi-lagi Austin tak memandangku.
Aku terkejut, mataku melihatnya tak mengerti. Austin... Kenapa ia menanyakan hal seperti ini?
"Sepertinya aku kalah satu langkah dari Andrew. Huh?"
"Wha-"
Sebelum aku bertanya lagi, Austin menarikku ke dalam pelukannya. "Please, please.. Dont ever go out with another guy. Please dont ever do this to me again," ucapnya, tepat di telingaku.
Seperti ada sesuatu yang menghujamku. Ada sesuatu yang membuatku bersalah dan sakit. Aku pun membenamkan wajahku di pundaknya sembari berkata, "S-sorry..."
Aku memeluknya erat. Detik ini, aku tau, aku telah menyakiti Austin. Meskipun secara tidak langsung.
Kami masih berpelukan untuk beberapa detik. Lalu Austin melepaskan pelukannya dan memegang kedua tanganku. Ia tersenyum. "Sepertinya aku memang harus bertanya dari awal.."
Aku hanya melihatnya tak mengerti, lagi. Lalu ia berkata, "so...umm...I'm gonna finish something unfinished... I'm getting nervous, Jeez.."
"Something unfinished?"
Austin mengangguk lalu tersenyum, "so.. I've been wanting to ask this.. Umm.. Would you be my girlfriend, Claire?"
'BE MY GIRLFRIEND'
WAIT, WHAT??
IS THIS REAL?
FINALLY!
Aku tersenyum dan mengangguk dengan semangat. Aku pun memeluknya dan Austin meletakkan kepalanya di pundakku. Ia berbisik, "you know what? I get jealous. So, dont go with him again, cause now.... you're mine."
****
-to be cont-
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Gone [Austin Mahone ff]
FanfictionSeorang gadis manja, Claire Alison Stuart dan tetangganya yang bernama Austin Carter Mahone, sama-sama sedang kesepian. Austin menawarkan dirinya untuk menjadi sahabat Claire dan Claire menyetujui tawaran Austin. Akankah perjalan mereka untuk menjad...