~ Austin 's POV ~
Aku menunggu...
9 menit.....
10 menit....
11.....
12.....
13.....
14.....
14 setengah....
Lima belas.....
Akhirnya dokter itu keluar juga. Dia kemudian pergi dengan Mr. & Mrs. Stuart ke ruangannya. Sedangkan aku, langsung masuk ke sebuah kamar tempat Claire dirawat. Aku berdiri di samping ranjangnya dan menempelkan punggung tanganku ke keningnya. Agak panas. Apa ini yang dimaksud 'kebiasaan yang sedang kambuh' itu?
Baru saja aku menjauhkan tanganku dari keningnya, namun dia tiba-tiba menariknya kembali ke dahinya.
"Mama, badanku panas ya?" tanyanya tanpa membuka mata.
Aku tak menjawab pertanyaannya.
"Sudahlah Ma, aku tak apa-apa. Bukannya Mama tau kenapa aku seperti ini? Tenang Ma, ini bukan penyakit," ucapnya sambil tersenyum namun masih belum juga membuka matanya.
Namun, jujur, aku semakin bingung. Claire bilang 'ini bukan penyakit' lalu apa yang dimaksud dengan 'kebiasaan yang sedang kambuh' ? Apakah yang aku pikirkan tadi memang benar bahwa Claire mempunyai kebiasaan pingsan atau tidur di lantai?
"Ma, kenapa diam? Apa Mama menangis?" tanya Claire padaku yang jelas-jelas bukan mamanya. Ia pun menurunkan tanganku dari dahinya dan membuka matanya perlahan. Ia terbelalak melihatku.
"Apa?" tanyaku singkat tapi dengan nada sedikit naik.
Ia menyeringai lalu melepaskan tanganku yang tadi digenggamnya. "Ngg, maaf, ku kira kau mamaku.."
"Mama, mama, jelas-jelas bentuk tanganku dengan mama mu berbeda. Kau ini durhaka sekali tak mengenal tangan ibu mu sendiri," protesku, masih dengan nada yang sedikit naik.
Ia melihatku dengan tatapan takut, seperti anak kecil yang baru saja dimarahi orang tuanya. Lalu dia langsung menutup telinganya dengan kedua tangannya dan memejamkan matanya. Dia kenapa? Apa suaraku memecahkan gendang telinganya? Atau apa?
"Please... Not anymore..." ucapnya dengan wajah yang sulit ku deskripsikan.
"Claire? Kau sudah sadar nak?"
Suara Mrs. Stuart mengagetkanku. Tapi tidak dengan Claire. Dia masih menutup telinganya. Mrs. Stuart segera berbisik di telinga Claire dan dalam sekejap putrinya itu langsung memeluknya.
"Hey, ada apa?" tanya Mrs. Stuart pada Claire.
Claire melihatku takut-takut lalu mengalihkan pandangannya. Mrs. Stuart memberi kode pada suaminya dan kemudian Mr. Stuart mengajakku keluar dari kamar itu. Aku tidak mengerti ada apa ini sebenarnya. Claire menutup telinga dan memejamkan mata, setelah itu ia melihatku takut-takut dan mengalihkan pandangannya. Ada apa ini? Apa aku mirip seperti harimau yang kelaparan yang siap menerkamnya?
"Apakah kau mengatakan sesuatu padanya, Austin?" tanya Mr. Stuart padaku.
Aku mengangguk, "Claire tadi mengira aku ini istri Paman. Jadi saat dia membuka matanya, aku berpura-pura marah padanya," kataku dengan jujur.
Mr. Stuart menghela nafas, "Pantas saja.."
"Memangnya kenapa, Paman?" Aku bertanya sambil mengangkat alis kiriku.
Mr. Stuart mengajakku duduk di kursi tunggu yang tak jauh dari kami dan aku pun menurut.
"Dia punya kebiasaan, Austin," ucapnya singkat.
Ini pasti yang dimaksud mereka saat di mobil. Aku mengerutkan dahiku, "kebiasaan?"
"Lebih tepatnya kebiasaan karena trauma."
Aku mengangkat sebelah alisku untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar tak mengerti. "Trauma? Aku tak mengerti," ucapku polos.
Mr. Stuart melihatku lalu tersenyum, "Claire sangat takut jika ada orang yang membentaknya."
Aku melihat Mr. Stuart, semakin bingung.
"Kau pasti bingung," ucapnya, berhasil mengetahui bahwa aku tak mengerti apa yang ia katakan.
Mr. Stuart menghela nafas sekali lagi dan melanjutkan penjelasannya, "Claire akan menjadi sangat takut jika ada orang yang membentaknya atau mengatakan kata-kata kasar padanya. Itu semua karena hal yang dialaminya saat kami menitipkannya di rumah pamannya."
"Saat Claire berumur 3 tahun, kami menitipkannya ke rumah pamannya karena kami sibuk bekerja. Awalnya memang tidak terjadi apa-apa. Namun saat Claire berumur 4 tahun, hubungan paman dan bibi Claire memburuk. Mereka mulai melontarkan kata-kata kasar satu sama lain, mereka melupakan jika ada Claire di rumah itu. Hampir setiap hari, Claire melihat mereka adu mulut. Ia juga sempat melihat pamannya menganiaya bibinya. Claire kecil kami yang saat itu berusaha menolong bibinya, ditepis begitu saja oleh pamannya. Tak jarang juga ia membentak dan memukul Claire. Dan mulai saat itu lah ketakutan Claire memuncak."
Aku sama sekali tak percaya Claire pernah mengalami hal itu. Sungguh..
"Hari Minggu itu menjadi hari yang paling buruk bagi kami. Kami telah berjanji menjemput Claire satu bulan sekali di rumah pamannya itu. Dan saat kami sampai di sana, kami melihat Claire memeluk lututnya dan duduk di lantai di sudut kamarnya. Bajunya sudah sangat kotor, rambutnya tak tertata, dan tubuhnya penuh memar-memar berwarna biru. Matanya juga tak secemerlang saat kami menjemputnya sebelum itu. Yang kami lihat saat itu adalah Claire yang sangat berbeda. Ia bahkan memandang kami seperti orang asing yang tak pernah bertemu dengannya. Saat itu juga, kami mendengar suara saling membentak dari lantai 2. Kami terkejut melihat Claire yang langsung menutup telinganya dan mengatakan 'Noo..please...I want my house...No....I want go home...' ia menangis saat mengatakan itu. Karena tak kuat melihatnya seperti itu, kami membawa pulang Claire kami. Meskipun semula ia menolak dan memberontak karena mungkin ia mengira kami akan memperlakukannya sama seperti paman dan bibinya memperlakukannya. Kami segera membawanya ke rumah sakit dan dokter mengatakan bahwa Claire mengalami trauma. Dan dokter mengatakan jika trauma itu mungkin saja masih ia rasakan sampai ia dewasa."
Aku hampir saja menangis mendengarkan cerita Mr. Stuart. Manusia macam apa paman dan bibi Claire itu. Jika aku punya anak nanti, aku bersumpah aku tak akan memperlakukannya seperti itu.
"Semenjak saat itu, kami berjanji tak akan menitipkan Claire atau pun meninggalkannya. Dan semenjak saat itu juga, jika Claire mendengar seseorang mengatakan kata-kata kasar atau berbicara dengan nada tinggi atau seseorang membentaknya, dia akan teringat kejadian itu. Dia pasti menutup telinganya terkadang menangis juga atau bahkan sampai pingsan seperti ini," sambung Mr. Stuart. Membuatku merasa bersalah karena telah berbicara pada Claire dengan nada yang tinggi.
"Umm.. Maafkan aku, Paman.. Aku tadi..."
Mr. Stuart memotong ucapanku dan menepuk pundakku, "Tidak apa-apa, Austin. Kau tadi kan belum tau masalahnya."
"Tapi aku tetap merasa bersalah, Paman.." kataku, tak enak hati dengan ayah Claire.
"Sudah, tak usah kau fikirkan. Lagi pula kau tadi hanya menggodanya, pasti nanti setelah aku menjelaskannya, dia akan mengerti," jelasnya sambil tersenyum.
Aku pun tersenyum pada Mr. Stuart. Dia orang yang sangat baik. Claire sangat beruntung mempunyai orang tua seperti Mr. Stuart.
***
-to be cont-
Author's note:
Longer right? :D
Maaf ya sempet dirubah, soalnya aku pikir kalo aku kasih judul tiap part itu lebih menarik, hehe :))
Leave your comment!!
-Dee
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Gone [Austin Mahone ff]
FanfictionSeorang gadis manja, Claire Alison Stuart dan tetangganya yang bernama Austin Carter Mahone, sama-sama sedang kesepian. Austin menawarkan dirinya untuk menjadi sahabat Claire dan Claire menyetujui tawaran Austin. Akankah perjalan mereka untuk menjad...