~ Claire's POV ~
"Sebenarnya ada apa denganmu dan Grace tadi pagi? Aku baru ingat kau belum menceritakannya," ucap Austin sembari mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.
Aku mengerjap, hampir saja tersedak minumanku. "Ha? Apa?" tanyaku, pura-pura tak mendengar apa yang Austin katakan.
Austin memutar bola matanya, "aku bertanya, ada apa denganmu dan Grace tadi pagi?"
"Tidak ada apa-apa," jawabku singkat sembari menyedot minumanku lagi tanpa melihat Austin.
Aku bisa merasakan jika Austin memandangiku dengan tatapan curiga. "Apa?" tanyaku sembari melihatnya.
"Kau bohong," ucap Austin singkat.
Darimana dia tau aku berbohong?
"Aku tidak berbohong," ucapku tegas. Namun aku tak berani membalas tatapannya.
Austin menghela napas. "Baiklah jika saat ini kau tak mau menceritakan apa yang terjadi tadi. Tapi aku akan menunggumu sampai kau mau menceritakannya," ucap Austin sembari mengaduk-aduk minumannya lagi dan tanpa melihatku.
Aku tau dia mungkin kecewa atau ia berpikir 'kita sahabat tetapi kenapa masih ada rahasia?' Tapi sungguh, aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi tadi pagi. Aku tak mungkin menceritakan pada Austin jika Grace mengira aku menyukainya.
"Kau memikirkan apa?" tanya Austin tiba-tiba.
Aku menggeleng. "Tidak ada. Hanya saja aku heran kenapa aku bisa jadi pelupa seperti ini," ucapku setelah mencari topik baru.
Austin menaikkan sebelah alisnya. "Pelupa?"
Ah, sepertinya aku berhasil membuatnya lupa tentang kejadian tadi pagi. "Ya. Bukuku tertinggal di rumahmu dan aku tak mengingatnya sedikit pun. Jika kau tak mengantarkannya tadi, mungkin aku sudah dimarahi Mr. Botak itu. Huh!"
Austin tertawa mendengar ucapanku. "Mr. Botak? Siapa itu?" Seketika dahinya berkerut. Namun sebelum aku menjawabnya, ia berkata, "oh, maksudmu Mr. Black?"
Aku mengangguk. "Ya, begitulah. Botak, garang, hobi memberi PR, dan semua teman sekelasku mengakui merinding jika berada di dekatnya," ucapku mendeskripsikan.
"Hahaha... Dia juga guru matematika di sekolahku. Ku kira hanya murid kelas X yang mengalami penderitaan itu. Ternyata murid kelas VIII juga. Hahaha," ucap Austin sembari tertawa renyah.
"Huh! Kenapa orang itu menjadi guru? Seharusnya menjadi preman saja," ucapku sembari mendengus kesal.
Austin tertawa sembari mengangguk-angguk setuju. "Benar. Apa mungkin dia asli preman lalu karena pintar matematika ia mengambil kerja sambilan sebagai guru matematika?"
Aku melihatnya dengan tatapan tak percaya lalu bergidik ngeri. Sama seperti Austin yang terlihat bergidik setelah mengarahkan bola matanya ke atas yang ku rasa ia sedang membayangkan hal yang ia katakan.
"Hiiii.... Aku bisa membayangkan Mr. Black yang asli memakai tindik di bibir, hidung, dan telinga. Memakai kaos tanpa lengan dan rompi hitam dilengkapi rantai-rantai. Dan ia mengendarai sepeda motor besar....." Aku menghentikan ucapanku untuk membayangkan lalu aku mengerjap, "sangat menakutkan."
Austin melihatku dengan tatapan ngeri lalu ia berkedip. "Imajinasimu terlalu tinggi, Claire."
"Tapi itu benar dan kau yang memulai membayangkan semua itu," protesku.
"Huh.. Tapi kau yang mulai mengatakan tentang preman," ucap Austin.
Benar juga. Ah, bodoh kau Claire. Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal dan menyeringai. Namun Austin hanya menggeleng-geleng dan memasukkan kentang goreng ke mulutnya. Hari ini memang kami tak langsung pulang. Austin mengajakku mampir ke toko potato n chips dekat taman untuk merayakan hari jadi kami. Maksudku hari jadi kami sebagai sahabat.
"Sebentar lagi musim gugur..." ucapku saat melihat daun-daun mulai menguning.
Austin mengangguk, "hm, rasanya cepat sekali.."
"Aku tau," ucapku singkat.
Aku menengadah menatap langit sore yang tertutup daun-daun pepohonan di samping kami. Sepertinya ada yang kurang, pikirku. Aku ingat, musim gugur tahun lalu adalah terakhir kali aku berjumpa dengan Peter. Aku merindukannya. Aku sudah bercerita bukan bahwa Peter itu kakak semata wayangku?
Peter lima tahun lebih tua dariku, tepatnya ia berumur 19 tahun. Ia mendapat beasiswa untuk kuliah di Birmingham, UK, sejak tahun lalu. Ia mulai pindah ke UK saat musim panas namun pada musim gugur tahun lalu ia pulang ke rumah selain untuk melepas kerinduannya, ia juga mengambil beberapa bukunya yang tertinggal. Namun setelah itu dia belum kembali ke rumah. Ia mengatakan bahwa ia sangat sibuk di sana karena ia harus mengejar materi yang sama sekali belum pernah ia pelajari saat ia bersekolah. Dan hal itu menyebabkan kami hanya berkomunikasi lewat telepon atau video call. Itu pun hanya seminggu sekali, jika ia sempat.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Austin tiba-tiba.
Aku mengangkat kedua bahuku. "Aku hanya merindukan Peter," ucapku memberitahunya.
Austin menatapku dengan dahi berkerut. Aku tau apa yang dia maksud, maka aku segera menggeleng. "Bukan. Peter bukan pacarku. Dia kakak semata wayangku," ucapku sembari tersenyum.
"Oh," ucapnya singkat sembari mengangguk-angguk.
Aku kembali menatap langit. "Aku sangat merindukannya."
Austin melihatku lalu bertanya, "memangnya dia pergi kemana?"
"Dia pindah ke UK karena dia mendapat beasiswa di sana. Pintar bukan? Sangat berbeda denganku.."
"Kau juga pintar," ucap Austin, berhasil menghentikan kegiatanku menatap langit.
Aku berdecak dan melihatnya sebal. "Kau selalu berkata begitu."
"Itu kenyataan," ucapnya sembari mengacak rambutku untuk yang kedua kalinya. Huh!
"Austin.... Kenapa kau mengacak-acak rambutku lagi?" tanyaku sembari memberi penekanan pada kata 'lagi'.
Ia hanya tertawa renyah saat melihatku repot menata rambutku. Namun ia tiba-tiba bertanya, "apa Peter tidak pernah pulang?"
Aku melihatnya sejenak. "Dia pernah pulang sekali saat musim gugur tahun lalu. Selain ia rindu pada kami, ia juga mengambil bukunya yang tertinggal. Tapi setelah itu ia belum pulang ke rumah. Ia berkata ia sangat sibuk dengan kuliahnya," terangku sembari menghela napas panjang lalu menyandarkan kepalaku di bahu Austin. Aku memejamkan mata sejenak sebelum menyadari lengan Austin telah memelukku dari samping. "Kau seperti Peter, Austin."
"Maksudmu?" tanyanya lembut.
"Kau memelukku seperti Peter. Cara yang sama, kedamaian yang sama.."
Aku tiba-tiba bisa merasakan jika Austin menempelkan pipinya ke atas kepalaku. "Apa benar?"
"Hm, benar. Sangat benar. Aku senang saat itu kau berkata padaku jika aku boleh memelukmu kapan pun aku mau. Aku merasa sosok Peter ada dalam dirimu jika kau memelukku seperti ini."
Austin mengecup pucuk kepalaku lagi. LAGI. Dan seketika itu arus listrik kembali mengalir di tubuhku. Tunggu. Kenapa dia melakukan itu lagi? Aku tadi mengatakan apa?
Aku segera mengangkat kepalaku dan membuka mata, membuat Austin sedikit terkejut. "Kenapa?" tanyanya.
"Aku tadi mengatakan apa?" tanyaku polos.
Namun Austin tak menjawab pertanyaanku. Ia malah tersenyum lebar dan membawaku ke pelukannya lagi.
***
-to be cont-
UWOOO UWOOOOOOO maaf nunggu 2 hari ._.vv
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Gone [Austin Mahone ff]
Hayran KurguSeorang gadis manja, Claire Alison Stuart dan tetangganya yang bernama Austin Carter Mahone, sama-sama sedang kesepian. Austin menawarkan dirinya untuk menjadi sahabat Claire dan Claire menyetujui tawaran Austin. Akankah perjalan mereka untuk menjad...