A/N: Hati-hati ya... Banyak drama di sini..... Maaf jika aneh dan terbaca terlalu si-ne-tron ._.v
======================
~ Austin's POV ~
Aku membanting tubuhku ke tempat tidur, kepalaku terasa berputar. Kejadian hari ini benar-benar tak bisa ku percaya. Mulai dari niat buruk Grace, pengakuan Grace, Claire yang berlari meninggalkanku, lalu barusaja Claire menangis di hadapanku. Dan aku seperti pecundang, tak berusaha bertanya padanya lagi.
Tapi kenapa Claire menangis? Kenapa juga Grace menyukaiku? Kenapa Claire harus berlari dan kenapa Grace harus membalas dendam pada Andrew?
Beribu-ribu pertanyaan muncul di otakku, membuatku kepalaku serasa akan terbelah menjadi dua. Dan pada saat yang sama, ponselku berdering. Aku pun menyambar ponsel yang kuletakkan di meja belajarku dan segera menerima panggilan itu tanpa melihat nama siapa yang muncul di layar ponselku. "Ya, halo?"
"Oh, kau.. Ada apa?......Membantu?.......Membantu apa?.......Hah?.......Baiklah, apa yang harus aku lakukan?.......Oh, baiklah. Berapa banyak?........Tidak, aku tidak keberatan........Sama-sama. Untuk hari apa?........Umm, baiklah........Bye."
Sebenarnya aku tak mau membantu. Bukan tak mau, bukan juga tak ingin. Hanya saja situasinya tidak tepat. Tapi aku tak enak menolaknya. Untung saja ia hanya memintaku untuk membeli sesuatu yang tak sulit kucari. Hhhhh....
***
Aku berjalan menuju tikungan tak jauh dengan rumahku untuk menemui...Grace. Sebenarnya aku malas bertemu dengannya. Namun karena tadi ia belum selesai menjelaskan semuanya, maka aku setuju bertemu dengannya.
"Hai Austin.." Sapa Grace yang duduk di bangku samping jalan.
"Hai.." Jawabku singkat sembari duduk di sampingnya. "Ada apa kau ingin bertemu denganku?"
"Ngg... Bukankah aku belum menjelaskan semuanya?"
Aku melihatnya sejenak lalu menjawab, "ya, memang belum. Jadi, lanjutkan."
"Baiklah. Aku minta maaf padamu, Austin, atas semuanya," ucapnya.
"Minta maaf? Padaku? Untuk apa?"
"Karena aku telah melakukan hal yang benar-benar bodoh."
"Kau tak perlu meminta maaf padaku. Kau perlu meminta maaf pada Claire."
"Aku tau, aku tau. Aku akan meminta maaf padanya besok."
"Kenapa tidak sekarang?" Tanyaku sewot.
"Aku akan menjelaskan semua padamu dulu."
"Mulailah."
"Aku tak tau Austin, kenapa ide gila itu muncul di otakku."
"Bukankah otakmu sudah penuh dengan ide gila untuk mem-bully orang lain?"
"Maafkan aku. Aku... Aku.... Aku hanya tak punya teman," ucapnya dengan setetes airmata yang mulai turun ke pipinya.
Aku melihatnya dengan terkejut. Namun aku segera mengalihkan pandanganku dan bersikap dingin lagi. "Lalu?"
"Aku tak punya teman, itulah alasanku mem-bully anak-anak di sekolah."
"Itu bukan alasan yang tepat."
"Aku tau. Tapi aku tak punya pilihan lain. Saat minggu pertamaku masuk sekolah, tidak ada yang mau berbicara padaku. Aku sempat mendengar mereka tidak menyukaiku karena aku memakai make-up tebal. Tapi ini bukan kemauanku. Mom memaksaku memakai semua ini. Mom selalu berpikir aku ini anak seorang raja yang harus terlihat cantik kemana pun aku pergi. Pada saat itu Andrew berkata dengan lantang jika aku terlihat seperti badut berjalan, membuat semua orang tertawa. Dan hal itu membuatku marah. Aku menangis sepanjang hari di rumah. Lalu Mom berkata padaku, aku harus berjalan dan bertindak secara angkuh agar orang-orang hormat padaku. Aku pun melakukannya dan hal itu sukses dimataku. Namun ternyata semua anak bukan 'menghormatiku' tetapi mereka takut pada Dad. Dad telah mengancam kepala sekolah agar murid-murid tak macam-macam padaku. Tapi pada hari itu aku berpikir aku akan tetap melakukan semua itu agar aku tak dibilang seperti badut lagi oleh Andrew. Aku pun mulai mem-bully anak-anak di sekolah dan hal itu membuatku merasa semua orang tak akan mengataiku lagi. Dan aku juga merasa aku menemukan teman dengan mudah. Lihat anak-anak yang biasa bersamaku, mereka memohon menjadi temanku dengan alasan aku keren dan apalah itu meskipun aku tau, mereka hanya tak mau menjadi korban bully-anku. Namun aku meng-iya-kan saja semua itu, mengetahui itu akan mempercepat aku mempunyai teman. Dan see? The-prince-charming di sekolahku langsung bergabung di mejaku setiap makan siang. Kami bahkan sempat berpacaran setengah tahun. Hal itu membuatku otakku memikirkan hal-hal bodoh yang tak seharusnya aku lakukan," terangnya panjang lebar.
"Lalu kenapa kau mem-bully Claire?" Tanyaku saat aku teringat Terry bertanya pada Grace tadi siang.
"Aku iri padanya," ucapnya, membuat airmatanya turun lebih deras.
Sejujurnya aku tak bisa melihat seorang gadis menangis. Terlebih lagi jika menangis di sampingku. Aku ingin memeluknya, tapi ini Grace.....
"Kau tau Claire tak banyak bicarakan? Kau tau juga kan jika ia tak memakai sedikitpun make-up?"
Aku mengangguk. Claire memang tak pernah memakai make-up sedikitpun. Rambutnya yang bergelombang juga tak pernah diluruskan atau di keriting. Ia membiarkan rambutnya terlihat natural.
"Aku iri padanya. She looks beautiful without any make-up on. And me? Look like a potato... Meskipun dia tak banyak bicara, tapi semua orang mau berbicara padanya. Aku berpikir kenapa semua orang tak bisa memperlakukan aku seperti itu? Aku benar-benar iri padanya. Dia punya segalanya. Cantik, baik, senyum yang indah, rambut yang jatuh sempurna, teman, dan terakhir kau, Austin."
Aku membulatkan mataku. "Aku?"
"Ya. Aku mengira ada sesuatu yang 'spesial' di antara kalian. Dan aku mengira Claire menyukaimu."
"Hah? Menyukaiku? Kau gila, Grace."
"Aku tau aku gila. Karena itulah aku menyuruhnya menjauhimu. Aku tak suka Claire berdekatan denganmu."
"Hh.. Lalu tentang Andrew, kau memanfaatkan keadaan untuk membalas dendammu padanya?"
Grace mengangguk. "Kau boleh marah padaku, sepuasmu. Tapi tolong jangan membenciku. Kau boleh menamparku atau melakukan apapun yang kau mau agar kau puas melontarkan amarahmu. Aku tau kau benar-benar marah saat ini dan mungkin kau ingin membunuhku. Jika itu memang yang kau inginkan, tak apa. Tapi ku mohon jangan membenciku," pintanya padaku dengan berlinang airmata. Aku tak sanggup....
Setelah beberapa detik kemudian, aku pun memutuskan untuk memeluknya. Aku memang marah, tapi setelah mendengar semuanya, rasanya aku tak mungkin melontarkan amarahku padanya.
Semula ia terkejut saat aku tiba-tiba memeluknya, namun tak lama kemudian ia menyesuaikan keadaan itu. Ia bahkan menangis lebih kencang di pundakku. Entahlah, aku rasa ia menyembunyikan airmatanya untuk waktu yang lama.
"Maafkan aku," ucapnya setelah tangisnya reda.
Aku mengambil nafas panjang sebelum menjawab, "tak apa, aku mengerti yang kau rasakan."
"Apa kau tak marah padaku?"
"Jelas aku marah padamu, tapi setelah mendengar semuanya, rasanya aku bisa memahamimu. Hanya saja...."
"Apa? Apa kau membenciku?"
Aku segera menggeleng. "Tidak. Aku tidak membencimu. Hanya saja kau harus minta maaf pada Claire."
"Ya, aku tau.."
"Hmm... Baiklah, semuanya sudah cukup jelas bagiku." Aku berdiri lalu merogoh saku celanaku. "Ini.." Ucapku sembari memberinya sapu tangan.
Dia melihatku tanpa berkata apapun. "Apa kau mau terlihat kacau seperti itu?" Tanyaku padanya. Grace menatapku seolah ada keraguan tentang dirinya, lebih tepatnya wajahnya; setelah menghapus make-upnya nanti.
Aku meraih tangannya dan menaruh sapu tangan berwarna biru tua milikku di telapak tangannya. "Tak apa, hapus semuanya. Aku tau kau tak nyaman dengan itu, apalagi saat telah bercampur dengan air matamu."
Ia segera mengusap sapu tanganku ke wajahnya. Aku pun menepuk pundaknya. "Percayalah, kau bisa mempunyai banyak teman tanpa melakukan hal seperti itu."
Ia mendongak melihatku, menunggu aku menjelaskan apa yang aku katakan, namun aku hanya tersenyum. "Aku pulang dulu," ucapku, pamit padanya.
Grace mengangguk lalu aku tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya berjalan kembali ke rumah.
***
-to be cont-
Uhhh-OOhhhhhh....... Drama abis! Gimance? Kece gak? :P
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Gone [Austin Mahone ff]
Hayran KurguSeorang gadis manja, Claire Alison Stuart dan tetangganya yang bernama Austin Carter Mahone, sama-sama sedang kesepian. Austin menawarkan dirinya untuk menjadi sahabat Claire dan Claire menyetujui tawaran Austin. Akankah perjalan mereka untuk menjad...