Sepertinya, keputusan yang sudah dibulatkan oleh kedua orang tuaku sedikit tidak menguntungkan bagiku.
Belum mencapai 1 hari aku tinggal di sini, di rumah Tante Reva alias rumah Vito, aku sudah benar-benar merasa tidak nyaman, bagaimana ke depannya? Bukan, bukan karena rumahnya yang tidak enak, rumahnya sangat nyaman dan aku sudah terbiasa dengan sudut-sudut di rumah ini, tapi ... ah entahlah.
Tadi siang, keluargaku dan keluarga Vito, juga ada Felice, Sha dan Dion pergi ke bandara, mengantar Kak Zeiyan juga Ka Zizi. Sambil menunggu penerbangan, kami menunggu di Starbucks.
Di sana, selama menunggu waktu penerbangan Ka Zeiyan dan Ka Zizi, aku lebih memilih bersama Ka Zeiyan, hanya berdua. Entah itu mengobrol, mencubit satu sama lain karena kesal sendiri, saling menjambak rambut, hingga akhirnya berpelukan dalam waktu yang lama dan menangis dalam pelukan. Satu hal, selama kita menunggu waktu penerbangan, tanganku dan tangan Ka Zei terus-menerus saling genggam.
Aku akan merindukan dia, dan aku yakin, dia akan jauh lebih merindukanku.
Setelah mengantar 2 orang itu, kami semua--yang mengantar--pulang ke rumahku. Semuanya bergerak membantu memindah-mindahkan barangku ke rumah Vito dan membantu menyusunnya di kamar baruku. Sorenya, Mama dan Papaku langsung melakukan penerbangan ke Palembang lagi, pekerjaan sudah menunggu mereka. Lagi, aku mengantar kedua orangtuaku ke bandara bersama Vito, mengingat Tante Reva ada pekerjaan, juga sahabat-sahabatku itu sudah pulang.
Bukan masalah, hingga malam ini datang.
Aku sedang membaca novel di kasurku saat Vito tiba-tiba masuk dan tiduran di atas kasurku dengan lempengnya.
"Ngapain lo?" tanyaku.
"Mau nonton," balasnya dengan wajah yang fokus ke layar ajaib yang menempel di tembok kamar baruku, sambil mengotak-atik remot.
"Di kamar lo dong, gue mau baca novel, ga fokus," balasku.
Pilihan Vito berhenti di channel yang sedang menayangkan film yang sudah kutonton ratusan kali--tidak juga sih--selama hidupku. This Is Us. Wajah 5 pacarku seketika muncul di layar kaca, membuatku dengan mudahnya melempar novel dan mengganti posisi menjadi tengkurap dengan tangan yang bertopang dagu. "Jangan dipindahin!"
"Gue ke sini 'kan mau nonton ini, biar lo tau juga kalo ada film ini," balasnya merubah posisi menjadi persis sepertiku dan tepat di sebelahku.
Aku melirik ke arahnya dengan senyuman ala fangirling. "Tau aja lo."
Sebenarnya, ini bukanlah masalah, namun aku yakin, kejadian ini akan terus berlangsung.
Satu hal lagi, hari pertama aku di sini saja aku bisa merasakan benih itu tumbuh lagi perlahan. Aku hanya tidak tau apa yang akan aku rasakan ke depannya.
Hush! Sudahlah, tidak usah memulai sesuatu yang ambigu. Yang jelas saat ini aku hanya ingin berkutat dengan dunia fangirling-ku.
Aku masih menatap ke layar di depan. Memuji-muji keindahan yang Tuhan ciptakan. "Ya Allah ya Tuhanku, jodohkanlah hamba-Mu ini dengan salah satu di antara lima orang itu ya Allah," sahutku dramatis. "Gue kangen si Pakistan," celetukku ketika melihat wajah salah satu anggota boy band kesukaanku yang sudah memilih hengkang dan menjadi pemuda 22 tahun yang normal. Heck, aku merindukan dia.
Kurasakan kasurku bergetar. Ternyata, Vito bangkit. Aku baru sadar dia mengenakan celana chino cokelat selutut juga kaus putih polos. Setelan Vito yang selalu aku hindari.
"Mau kemana?" tanyaku.
Vito tertawa dengan nada menyeramkan lalu dengan tidak tahu malunya meloncat ke kasurku, membuat badanku terpental-pental di atas kasur akibat ulahnya, tentu saja badan dia juga. Dengan gerakan cepat, ia mendekap pinggangku dari belakang dan menggelitiki perutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hardest
Teen FictionFlora, gadis periang yang terlalu polos dengan masalah percintaan, harus mengikhlaskan bahwa cowok pertama yang ia sukai merupakan sahabatnya sendiri. Sedangkan Sha, cewek jutek yang sudah lama bersahabat dengan Flo. Sialnya, ia memiliki perasaan ya...