Epilogue

56.6K 3.4K 166
                                    

Night Changes - One Direction•

•••
We're only getting older, baby. And I've been thinking about it lately. Does it ever drive you crazy. Just how fast the night changes?
•••

Aku menyesap coklat panas di gelas kertas untuk kesekian kalinya di antara kerumunan orang-orang yang tumpah di Times Square. Tempat yang wajib kamu kunjungi ketika kamu pergi ke New York.

Omong-omong, aku sedang duduk di salah satu kursi. Membuka buku besar yang Vito berikan pada malam sebelum keberangkatanku. Buku yang isinya lagu buatan Vito sendiri, dan betapa terkejutnya aku saat pertama membaca buku itu penuh karena setiap keterangan di bawah lagu selalu menuliskan bahwa lagu itu tercipta untukku. Ada juga beberapa lagu yang menyebut namaku di dalamnya. Sisa halaman yang masih kosong, kutuliskan penggalan cerita harianku di dalamnya, aku tuliskan untuk Vito, semua cerita itu, aku ceritakan pada Vito, lewat tulisan tanganku.

Ohiya, aku nyaris saja lupa untuk memberitahu ini, dan akan kuberitahu,  tapi siapkan diri kalian, kalian pasti terkejut. Mmm, jadi begini, aku sudah menyelesaikan studiku! Gelar dokter sudah kudapatkan satu minggu yang lalu. Ya Tuhan, terima kasih, aku sangat gembira, mimpiku terwujud, dan aku dapat menepis rasa takutku.

Satu minggu yang lalu merupakan hari wisudaku. Orangtuaku datang satu minggu sebelum wisudaku, juga kakakku yang kini sudah menjadi arsitek muda. Mereka sudah pulang sekitar 6 hari yang lalu, keesokan harinya setelah wisudaku.

Tadinya mereka akan pulang 3 hari setelah wisuda bersamaku, namun aku meminta untuk pulang belakangan karena ada prom night yang ingin sekali aku hadiri dan prom night itu berlangsung satu minggu setelah wisuda, mereka tidak punya waktu untuk menunggu. Sehingga mereka memutuskan untuk pulang lebih cepat dan meninggalkanku sendiri lagi di apartemenku, ralat, apartemen teman papaku.

Sekarang aku terkekeh geli di tengah-tengah orang yang berlalu-lalang di Times Square. Aku terkekeh karena teringat kebohonganku pada orangtua dan kakakku. Sebenarnya, aku tidak mengikuti prom night malam ini. Aku tidak bohong mengenai acara prom itu, tapi aku berbohong bahwa aku ingin pergi ke sana. Hey, gadis mana yang ingin pergi ke acara yang pernah mencampakannya? Maksudku, kau tau lah kejadian di masa SMA-ku itu.

Sehingga di sini lah aku sebenarnya. Duduk di salah satu kursi yang ada di Times Square, persimpangan jalan utama di Manhattan, New York, kota yang tidak pernah tidur ini. Memperhatikan sekitar. Padatnya tempat komersial ini membuatku tersenyum. Aku sering sekali duduk di kursi-kursi yang terletak di kawasan plaza terbuka di tengah jalan Broadway—zona bebas kendaraan—di Times Square ini ketika aku sedang lelah dengan sekolahku.

Jangan salahkan aku jika aku mengenakan dress putih pendek di malam hari seperti ini, tapi aku tetap mengenakan parka berwarna cokelat muda, karena, heck, aku akan membeku jika hanya mengenakan dress dengan lengan pendek. Dress yang saat pertama kali aku dapatkan merupakan dress yang kedodoran, kini bahkan sangat pas di tubuhku.

Sesungguhnya, dress ini memberikan rasa hangat ketika aku mengenakannya. Rasanya, aku seperti didekap dari jauh oleh sang pemberi. Kalian ingat? Ini dress pemberian Vito di ulang tahun ke 16-ku. Aku merindukannya.

Baiklah, lupakan.

Aku membuka buku besar Vito. Mencoba untuk bernostalgia sesaat. Melantunkan lagu yang ia ciptakan, dan sesekali tersenyum mengingat cowok itu. Aku sudah 21 tahun sekarang, tandanya sudah 4 tahun aku tidak bertemu dengan Vito. Namun, rasa yang ada masih tetap sama. Aku, di sini, jauh darinya, namun perasaanku, tidak pernah berpaling, tetap mencintai setiap inci dari dirinya. Walaupun, aku tidak yakin dia masih memiliki rasa itu. Bahkan mungkin, dia sudah bersama orang lain yang bisa membuatnya luluh. Karena dia sudah putus dengan Sha, sebulan setelah keberangkatanku ke New York, berarti saat keberangkatannya ke Jerman. Putus yang baik-baik, tentunya.

HardestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang