Gue ga yakin ada yang baca, tapi chapter ini tentu saja bertujuan, ehehehe. Thx yang mau baca.
***
Dapur bukan lagi tempat yang asing untuk wanita itu. Mungkin dulu, ia hanya datang ke dapur untuk membuat cemilan ringan atau minuman. Namun kini, ia harus mempersiapkan makanan untuk keluarga kecilnya di dapur, sebelum ia memakai jas dokternya untuk membantu anak-anak kecil yang membutuhkannya di rumah sakit.
"Alvina, Alvian! Makan dulu Sayang," teriaknya.
Satu anak cowok dan satu anak cewek berusia sekitar 5 tahun datang dari arah yang sama dengan cengiran yang tertera jelas di wajah mereka.
Sang ibu tersenyum melihat keduanya lalu berjongkok, meminta dicium. Si kembar Alvina dan Alvian dengan senang hati mencium pipi ibu mereka. Yang satu pipi kiri, dan yang satu pipi kanan.
"Papa mana?" tanya si cowok, Alvian.
Tepat setelah Alvian mengucapkan itu, seorang pria dengan kemeja yang digulung hingga siku dengan jas yang disampirkan di bahunya berjalan ke arah sang istri dan sepasang anak kembar fraternalnya itu.
"Pagi Bu Dokter, pagi jagoan-jagoan Papa," sapanya sambil berjongkok dan memeluk malaikat-malaikat kecilnya. Tak lupa, ratunya.
Seperti lagu yang pernah dinyanyikannya sekitar 6 tahun lalu, ia benar-benar menjadikan wanita yang kini sedang berjongkok di hadapannya menjadi ratu-nya.
Ratu yang dengan senang hati ia jadikan tempat berbagi ketika dunia mengecupnya. Ratu yang selalu bersedia ia kunjungi ketika dunia bahkan tidak mau mendekapnya.
Ratu yang ia jadikan rumah. Rumah yang memeluknya kembali hingga ia menyerah pada dunia. Karena ratu-nya itu, tempatnya kembali. Dan ratu-nya itu, adalah hal abadi yang tidak akan pernah mati, selalu tersimpan, di suatu tempat yang tak terlihat, tak berbentuk, dan tidak bisa ia sentuh. Tempat ratu-nya itu, selalu ikut bersamanya kemana pun ia melangkah, menyatu dengan dirinya.
Tidak pernah ada yang bisa mendeskripsikannya secara pasti, tapi mungkin orang-orang biasa menyebutnya dengan ... cinta?
Mungkin ketika mereka remaja, hal itu terdengar menggelikan dan berat, namun lihat, waktu membuktikan segalanya.
"Pagi Alvito," balas Flo, wanita itu.
Alvian tertawa kecil, "Nama Mama beda sendiri. Nama Papa Alvito, aku Alvian, dan dia Alvina. Lah Mama, Flora," ejeknya.
Untuk takaran anak 5 tahun, tentu saja itu cukup berani. Membuat sang ibu dan ayah saling tatap dan menggeleng-gelengkan kepalanya takzim.
"Vian ga boleh gitu," ucap sang Ayah.
Alvian tertawa, "Bercanda kali ah," lanjutnya.
Vito tidak bisa menahan tawa, lalu ia berucap tanpa suara kepada Flo. "Kaya kamu."
Flo mengangguk, "Alvina kaya kamu," balasnya.
Hal selanjutnya yang mereka pilih adalah menghabiskan sarapan pagi dengan tawa, layaknya sarapan keluarga-keluarga kecil pada umumnya.
➖➖➖
Mobil berwarna putih itu berhenti tepat di depan rumah dengan model minimalis. Lalu satu per satu penumpangnya turun.
Yang cewek menggandeng tangan anak cewek, dan yang cowok menggendong anak cowok.
"Alvian sama Alvina di sini dulu ya sampe jam 2 siang, nanti Mama sama Papa jemput. Di dalem ada kak Revan dan Adira," ucap Vito.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hardest
Teen FictionFlora, gadis periang yang terlalu polos dengan masalah percintaan, harus mengikhlaskan bahwa cowok pertama yang ia sukai merupakan sahabatnya sendiri. Sedangkan Sha, cewek jutek yang sudah lama bersahabat dengan Flo. Sialnya, ia memiliki perasaan ya...