"I wanna write you a song. One that's beautiful as you are sweet. With just a hint of pain for the feeling that I get when you are gone. I wanna write you a song," lantunnya.
Ia terus menggenggam tanganku dan bergantian menatapku dengan jalan raya di depan. Tangan kanannya yang kokoh mengatur stir mobil seorang diri, sedangkan tangan kirinya terus-menerus bertaut dengan tanganku, memainkan jemariku. Seolah ia takut aku pergi. Atau aku seolah ringkih di pandangannya saat ini, dan dia berusaha untuk menjagaku, memastikan aku baik-baik saja.
Nyatanya, aku akan baik-baik saja selama dia di sini. Bersamaku. Menemaniku.
"You did," timpalku, sebenarnya ini tidak ada di lagu.
"I wanna lend you my coat. One that's soft as your cheek. So when the world is cold, you'll have a hiding place you can go. I wanna lend you my coat," lanjutnya sambil meremas tanganku halus.
"Everything I need I get from you. Giving back is all I wanna do."
"I wanna build you a boat. One that's strong as you are free. So anytime you think, that your heart is gonna sink you know it won't. I wanna build you a boat."
Ia memberhentikan laju mobilnya bersamaan dengan lantunan terakhirnya karena sudah sampai di tempat tujuan. Sebelum turun, ia melirik ke arahku, mengeratkan genggamannya lalu mencium pipiku sekilas.
"Alvito! Nakal ya!" sentakku.
Dia, Alvito tertawa kecil lalu melepas tanganku dan keluar dari mobil. Dengan gerakan secepat kilat, dia sudah menungguku di depan pintu mobil—aku tidak suka dibukakan pintu—dan siap menggandeng tanganku lagi.
"Kamu siap?" tanyanya menundukan wajahnya, memperhatikan wajahku yang mendongak memandang wajahnya.
Sirat di wajahnya menandakan kekhawatiran, namun anggukanku membuatnya tersenyum dan mencium dua kelopak mataku yang sudah kukatupkan secara bergantian.
"Gue sayangnya sama lo, lo ga perlu khawatir," bisikku tepat di telinganya. Jujur, aku berjinjit sedikit untuk mengucapkan ini tepat di telinganya.
"Gue sayang lo," ucapnya sambil menarik tanganku.
Dia tampan. Dengan tuxedo yang membalut tubuhnya, ia terlihat begitu dewasa. Dulu, ketika SMA, dia selalu membiarkan kemejanya berantakan, menggulung lengannya hingga siku, dan menyampirkan jas nya di bahu. Sampai saat ini pun begitu—bahkan saat ia sudah menjadi direktur muda—namun mengingat ini acara penting bagi kakaknya, dia memaksakan itu. Tampil seformal mungkin.
Aku sendiri, aku mengenakan gaun berwarna broken white dan heels, juga rambutku yang dikepang sanggul. Tak lupa, make up yang tidak terlihat tebal.
Ya, ini hari pernikahan kak Zizi. Jika kamu menebak kak Zizi menikah dengan kak Zeiyan, mohon maaf, aku memberikan info yang tidak sesuai dengan pemikiran kamu. Karena, ka Zizi tidak menikah dengan kakakku. Jika bukan jodohnya, tidak bisa dipaksakan, bukan?
Juga jika kalian bertanya dengan siapa kak Zizi akan menikah, jawabannya adalah seseorang yang pernah ada di masa laluku.
Gevin.
Kak Zizi akan menikah dengan Gevin. Itu lah sebabnya Vito menguatkanku tadi. Memastikan aku baik-baik saja melihat ini semua. Padahal, tanpa perlu bertanya begitu pun seharusnya dia tau aku akan baik-baik saja. Aku hanya mencintai dirinya, tidak ada yang lain. Jadi, aku bahkan bahagia kak Zizi dan Gevin akan menikah, tidak ada sedikit pun rasa panas atau terluka yang aku rasakan.
Karena aku bahagia bisa bersama dirinya.
Baiklah, sekarang aku dan Vito sudah ada di hotel berbintang 5 yang menjadi tempat resepsi pernikahan ka Zizi. Ijab kabulnya sudah dilaksanakan sebelumnya. Aku teringat tadi Vito yang menjadi wali kakaknya itu, mengingat ayah mereka telah tiada. Vito dengan jiwa besarnya menjadi perantara kebahagiaan terbesar kakaknya. Tangis haru pecah saat itu. Vito bahkan menangis saat itu. Memeluk kakaknya yang mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada adiknya yang bersedia menjadi ayahnya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hardest
Teen FictionFlora, gadis periang yang terlalu polos dengan masalah percintaan, harus mengikhlaskan bahwa cowok pertama yang ia sukai merupakan sahabatnya sendiri. Sedangkan Sha, cewek jutek yang sudah lama bersahabat dengan Flo. Sialnya, ia memiliki perasaan ya...