Devil - 43

8.1K 404 1
                                    

"Sepertinya pesta kembang api sudah selesai" ucap Rafael saat cukup lama kembang api tidak bermunculan di langit.

"Besok aku nggak janji dapat menemuimu. Kamu sudah tahu kan alasannya" ucap Rafael.

"Hendrawan" sahut Dina. Rafael menganggukkan kepala.

"Aku yang menemuimu" ucap Dina.

"Apakah kamu berani bertemu dengan manusia?" tanya Rafael.

"Diam-diam..."

"Aku akan menemuimu secara diam-diam di malam hari" terang Dina.

"Aku akan memberitahu letak rumah Om Hendrawan" ucap Rafael.

"Sudah tahu" sahut Dina.

"Hah? Sejak kapan?" tanya Rafael.

"Kalau dari ceritamu, rumah Hendrawan kemungkinan yang paling besar. Cari dari atas langit akan terlihat semua rumah penduduk desa. Ketahuan yang mana rumah Hendrawan" jawab Dina.

"Kamu pintar juga" sahut Rafael sambil mengusap puncak kepala Dina.

"Kita kembali sekarang" ucap Rafael.

"Beberapa jam lagi ya" bujuk Dina.

"Kenapa?" tanya Rafael.

"Firasatku nggak enak. Lebih baik kamu di sini dulu. Nanti aku yang antar kamu" ucap Dina.

"Aku baik-baik saja kok, Dina. Aku nggak mau terbang" kata Rafael.

"Nanti kita melesat" Dina menatap Rafael.

"Aku merasa ada seseorang dari bangsaku yang berhasil menemukan keberadaanku" ucap Dina menunduk melihat kegelapan jurang.

"Kamu tahu siapa?" tanya Rafael. Dina menggeleng.

"Kemungkinan dia juga mencari tahu identitasmu. Aku takut terjadi sesuatu sama kamu" Dina menjelaskan dengan menundukkan kepala.

"Jangan menunduk seperti itu" Rafael mengangkat dagu Dina dan tersenyum.

"Aku tak apa-apa Dina. Jika terjadi sesuatu pun aku harap jangan menyalahkan dirimu" ucap Rafael.

"Jangan berkata seperti itu!" sahut Dina.

"Aku yang tak berguna karena tak bisa melindungimu" lirih Rafael.

"Aku tak perlu dilindungi karena aku bukan hewan satwa" ucap Dina. Rafael seketika terkekeh mendengar ucapan Dina.

"Jika aku menjadi bangsamu, apakah aku akan menjadi kuat?" tanya Rafael.

"Iya. Kamu akan memiliki kekuatan seperti kami. Jika kamu dasarnya adalah orang yang kuat, mungkin kamu memiliki kekuatan di atas rata-rata" ucap Dina.

"Oke. Kita buat perjanjian" ucap Rafael.

"Kamu jangan aneh-aneh lagi" sahut Dina.

"Ayo buat perjanjian!" paksa Rafael.

"Nggak mau!" tolak Dina.

"Kalau kamu nggak mau, aku akan lompat dari tebing ini!" ancam Rafael sambil berdiri.

"Sudah ku bilang, kamu jangan berbuat aneh!" seru Dina ikut berdiri.

"Perjanjian yang kita buat nggak aneh kok" ucap Rafael.

"Aku akan mendengarkan dahulu kemudian akan aku putuskan untuk mengiyakan atau menolak" ucap Dina.

"Bukan seperti itu. Kita buat janji dan kita menepati" sahut Rafael.

"Kenapa kamu keras kepala, Rafael?!" seru Dina.

"Kenapa kamu juga keras kepala, Dina?" sahut Rafael.

"Sebelum itu jangan berdiri di ujung tebing!" Dina menarik tangan Rafael untuk bergerak ke arah tengah tebing.

"Aku ingin tetap disini!" sahut Rafael menampik tangan Dina.

"Kamu jangan membuatku marah, Rafael!!" seru Dina. Iris hijau bercahaya dalam kegelapan.

Rafael diam dan memperhatikan Dina.

"Aku sudah membangunkan macan tidur" batin Rafael.

Hanya keheningan yang terasa. Tidak ada pembicaraan dari keduanya. Tidak ada yang ingin memulai pembicaraan.

SREETT.... SRREETTT...

Rafael mulai melangkahkan kakinya. Tepatnya menyeret kakinya. Berkali-kali jatuh karena tersandung akar pohon mengakibatkan kakinya terasa sangat berat.

"Kenapa dengan kakimu?" tanya Dina.

"Tidak apa-apa" sahut Rafael sambil menyembunyikan wajah kesakitan.

"Kamu bohong!" seru Dina.

"Sekarang duduk!" perintah Dina.

"Kamu ingin aku berjalan ke tengah atau duduk?!" tanya Rafael.

"Duduklah. Aku akan memeriksanya" Dina menurunkan intonasi suaranya.

"Sayangnya aku nggak bisa duduk" ucap Rafael.

"Apa maksudmu?!" ucap Dina.

Rafael hanya diam. Tak mungkin dia mengatakan jika kakinya terasa sangat nyeri jika digerakkan dan bahkan terasa kaku.

Rafael menyadari ini sejak mendaratkan kaki ke tebing putih. Rafael memilih duduk di ujung tebing karena dengan cara ini, kakinya gak banyak bergerak. Saat berdiri tadi pun, Rafael sangat memaksakan kakinya untuk bergerak.

"Rafael!!" seru Dina membuyarkan lamunan Rafael.

"Aku bicara sama kamu bukan sama patung!!" ucap Dina.

"Huufftt...."
Rafael menarik nafas panjang dan menghembuskan secara kasar.

"Baiklah. Kamu ingin aku bagaimana?" tanya Rafael.

"Duduk!" ucap Dina.

Rafael melihat kanan dan kirinya kemudian menyeret kakinya dengan perlahan.

SREEETTT... SREETTT...

Setiap satu langkah sangat terasa nyeri. Rafael menahan rasa sakit dengan menggigit bibirnya.

"Kamu mau kemana?" tanya Dina.

"Duduk" jawab Rafael.

"Duduk di ujung tebing?" tanya Dina. Rafael menggelengkan kepala.

"Di tepi tebing" ucap Rafael melihat bawah ke arah kanan dan kiri. Bola mata Dina membulat sempurna. Iris hijau kembali bercahaya.

"Itu sama saja berbahaya. Kamu maunya apa?!!" Dina menarik paksa tangan Rafael dan menyeret untuk menjauh dari tepi tebing.

BRRUUKKKK

Rafael jatuh ke belakang dengan punggung yang menyentuh bebatuan yang tajam.

"Assssshhhhttt..." ringis Rafael sambil menempelkan kepala ke tanah bebatuan.

Rafael sekarang berbaring di antara bebatuan dengan kaki yang diluruskan. Salah satu tangan Rafael bergerak untuk menutupi kedua matanya.

SZEETT SZEETT

Dina segera melipat ujung celana Rafael sebelah kanan hingga lutut. Bola mata Dina membulat melihat apa yang ada di depan matanya.

"Ini..." Dina menyentuh cairan kental yang berwarna merah.

"Darah..." sahut Dina.

Dina bergerak ke ujung celana kiri dan melipat hingga lutut. Bola mata Dina kembali membulat. Tak beda dengan sebelah kanan malah lebih parah.

THE SWEETEST DEVIL [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang