t.h.i.r.t.y.t.w.o

3.8K 640 96
                                    

Lauren kembali membuka matanya. Menatap lekat-lekat mata biru dihadapannya. Mencari tau apa benar lelaki itu adalah yang selama ini dicarinya. Begitu juga dengan Luke, Ia hampir tak berkedip menatap Lauren.

"Kau Lauren Reed kan?" Luke bertanya dengan bodohnya.

"Of course, kenapa masih bertanya?" Lauren memutar bola matanya.

"Ini artinya..We belong, right? Because God reunite us," Luke tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Rasa rindunya selama 6 bulan lebih sudah terbayarkan dengan kehadiran Lauren. Perlahan Luke merengkuh wajah Lauren, mencoba untuk mencium bibir Lauren yang merona. Namun hampir 2 cm lagi bibir mereka bersentuhan, Lauren menjauhkan wajahnya dari Luke. Ia menggigit bibirnya dengan ekspresi seperti orang bingung.

"Why?" Luke meminta penjelasan.

"Why you wanna kiss me..?" -lauren

"You know i miss you so much, is that wrong?" -luke

"We can't do that," -lauren

Luke menatap Lauren meminta penjelasan. Namun Lauren hanya diam menatap cangkir macchiato nya yang sudah habis.

"Kau masih tidak mempercayaiku ya?" Tanya Luke ragu. "Aku sudah berubah. Waktu 6 bulan yang kau berikan sangatlah cukup untuk merubah sikap burukku selama ini. And i'm so sick of waiting for you back home. Aku tersiksa selama 6 bulan, kau tau?"

Lauren mengalihkan pandangannya ke arah Luke dan tersenyum,"Aku tau. Tapi kau belum membuktikannya. Buktikan kalau kau akan berjuang demi aku. Jangan hanya aku yang berjuang demi kau."

"Jadi aku harus menunggu berapa lama lagi sampai aku mendapatkan kepercayaanmu lagi?"

"Let it flows. Kali ini kita kembali membiarkan waktu yang menjawabnya. Untuk sementara..we are best friend," Lauren mengelus pundak Luke sambil tersenyum. Ia tau Luke tidak terima dengan keputusan yang Ia buat. Tapi Lauren harus melakukan itu. Dia tidak mau kembali sakit hati lagi.

"Itu sama saja kau menggantungku," Luke berkata lirih. Lauren terdiam sebentar.

"Ya, mungkin,"

.

Lauren menatap nanar kebawah dari atas balkonnya. Matanya masih mengantuk namun Ia paksakan untuk bangun. Udara pagi itu sangat dingin dan membuat Lauren tidak tahan berlama-lama diluar tanpa mantel. Ia kembali masuk dan menutup pintu kaca balkonnya. Hari ini hari Minggu dan tentu saja libur kerja. Lauren kini bersiap mengganti pakaiannya menjadi kaos hitam dan nike jogging pants hitam yang panjangnya selutut. Tidak lupa sepatu olahraga hitamnya. Hari ini Ia sudah berjanjian dengan Luke untuk jogging bersama.

Tak lama terdengar suara bel dari luar. Dengan semangat Lauren membukakan pintu dan Luke sudah berada di depannya sambil menatap layar iPhone.

"Good morning," Luke menaruh kembali iPhone nya ke saku ketika melihat Lauren dan tersenyum manis.

"Hi morning. Masuklah sebentar, aku sedang memanggang roti," Lauren membuka jalan bagi Luke dan Luke segera memasuki apartmen Lauren. Luke berdiri di menatap sekelilingnya. Sudah lama Ia tidak ke tempat ini. Tidak banyak berubah. Hanya saja ada sebuah piano di dekat pantry. Dan piano itu berwarna biru pastel. Benda itu cukup mencolok karena warna birunya terlihat kontras dengan sekitarnya yang hampir semua berwarna putih.

"Blue pianos? Seriously?" Luke berjalan mendekati piano itu. Lauren terkekeh.

"Ya, piano dari Paris. Aku menemukannya di sebuah toko dan aku langsung membelinya. It's cute right?" Lauren membawa 2 piring sandwich menuju Luke yang sudah duduk di balik piano. Lauren menaruh kedua piring itu di atas piano dan duduk disebelah Luke. Sekali lagi kulit mereka bersentuhan. Lauren merasakan seperti ada sengatan listrik. Sudah lama Ia tidak merasakan sensasi itu.

iPhone 2 • lhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang