t.h.i.r.t.y.f.o.u.r

3.3K 576 33
                                    

"Babe aku menemukan mereka menjual pizza dan aku membelinya," Luke memasuki kamar dengan ceria karena Ia berhasil menemukan dan membeli pizza. Namun gadis yang dipanggilnya tidak kunjung muncul. Luke meletakkan barang bawaannya di meja lalu mulai mencari Lauren di kamar mandi. Namun tidak ada. Seketika Luke melihat sebuah kepala muncul dari balik selimut. Itu Lauren.

"Larry kau tertidur ya? Kau pasti kelelahan," Luke menghampiri Lauren dan duduk disampingnya. Luke begitu terkejut melihat gadisnya bukan tidur namun menangis.

"Jangan sentuh aku!" Lauren menjauh dari sentuhan Luke.

"Ada apa? Kenapa menangis?" Luke bingung tidak tau apa-apa.

"Aku pikir kau sudah berubah, Hemmo! Such a liar!" Lauren bangkit berdiri sambil menunjuk-nunjuk wajah Luke. Luke diam sambil perlahan berjalan mundur karena Lauren mulai memojokkannya.

"Lauren, sumpah aku tidak mengerti,"

"Abby masih meneleponmu! Aku lihat semuanya! Apa kau masih berhubungan dengan wanita itu huh?!" Lauren semakin menaikkan nada suaranya. Ia tidak lagi sanggup menahan emosinya.

"Shit, that bitch.." Desis Luke.

"Bisa jelaskan itu, Hemmo?" Kini Lauren melipat kedua tangannya di dada dan menunggu penjelasan dari Luke.

"Ku akui wanita itu masih menghubungiku. Tapi demi Tuhan aku sama sekali tak pernah merespon! Aku berkali-kali menyuruhnya berhenti melakukan itu namun dia masih terus mengangguku,"

"Oh ya? Why don't you block her number?"

"Aku sudah berkali-kali mencoba memblock nomornya namun selalu saja dia masih mengirimku pesan dengan nomor berbeda. Lalu aku memutuskan lebih baik menyimpan nomornya saja dan mengabaikan semua pesan dan teleponnya daripada harus beratus-ratus kali memblock nomormya," Luke berusaha keras meyakinkan Lauren.

"Oh really? Liar! Can't believe you anymore," Lauren pergi dan meninggalkan Luke. Entah kemana.

"You suck! Such a bitch. Selalu salahku. Semua salahku. Apa maumu?!" Luke kini juga terpancing emosi melihat sikap Lauren. Langkah Lauren terhenti ketika mendengar teriakan itu.

"Oh, i'm a bitch? You call me a bitch? Kau bodoh! Kupikir selama ini kau berubah! Waktu 6 bulan belum cukup kah?" Pekik Lauren dari depan pintu.

"Kupikir kau juga sedang merubah semua sikap burukmu. Tapi ternyata kau malah menjadi sama seperti—jalang—maksudku, Kayn!" Luke berjalan dan kini menghadap Lauren.

"What?! Kau samakan aku dengan Kayn?! Dasar playboy, liar, heartbreaker, asshole, kau—" belum selesai Lauren memaki, tangan Luke sudah diangkat bersiap menampar Lauren, namun seketika tangannya terhenti di udara, seakan sadar apa yang akan dilakukannya adalah salah. Mereka saling bertatapan tajam. Pertengkaran ini semakin memburuk.

"Kenapa? Tampar aku sekarang, Luke Robert Hemmings," suruh Lauren. Luke menjauhkan tangannya dari Lauren dan menghembuskan nafasnya kesal. Rambutnya diacak dengan frustasi. Ia berjalan menjauh dari Lauren.

"Do whatever you want, Lauren," ucap Luke seakan ingin membiarkan Lauren pergi. Ia duduk disamping ranjang dengan frustasi.

"Fine! Sialan!" Lauren keluar dan membanting pintu dengan kencang. Tanpa disadari, teman-teman mereka yang kamarnya bersebelahan dengan Luke dan Lauren mendengar pertengkaran itu.

.

Lauren berjalan tak tentu arah ditempat yang sama sekali tak pernah Ia datangi. Ia membiarkan kakinya berjalan semaunya. Hari sudah senja. Langit London yang tadinya berwarna biru cerah kini sudah berubah berwarna oranye yang indah. Lama Lauren berjalan Ia menyadari sebuah benda berbentuk lingkaran menjulang tinggi ke langit. Itu London Eye. Benda semacam bianglala raksasa yang sangat ingin Ia naiki. Salah satu ikon penting dari kota London. Dalam waktu 10 menit Ia sudah berada di pekarangan London eye. Lauren mengantri dan berhasil mendapatkan tiket. Lauren menunggu hingga gilirannya menaiki bianglala itu sambil duduk memainkan iPhone nya. Namun Ia merasakan sebuah tepukan di pundaknya.

iPhone 2 • lhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang