Waktu di kamarnya menunjukkan pukul 11.45 malam tetapi Alrick tetap terjaga. Mungkin efek minum kopi yang terlalu banyak tadi sore. Adiva sudah tidur belum ya? Mengingat Adiva, ada sebuah lagu yang sangat cocok dengan gadis itu. Berhubung gitar itu berada di tangannya, Alrick menyanyikan lirik dari lagu itu.
She would not show that she was afraid
But being and feeling alone was too much to face
Though everyone said that she was so strong
What they didn't know is that she could barely carry onBut she knew that she would be okay
So she didn't let in get in her waySometimes it all gets a little too much
But you gotta realize that soon the fog will clear up
And you don't have to be afraid
Because we're all the same
And we know that
Sometimes it all gets a little too muchLagu A Little Too Much dari Shawn Mendes berhasil membuat Alrick mengingat kejadian beberapa jam lalu. Alrick tidak tau bagaimana Adiva bisa bertahan selama ini, meski rasa sakit terus menyakitinya.
Adiva's Calling
Ponselnya bergetar dan nama itu lah yang membuat Alrick sedikit tersenyum. Namun bukan suara ceria yang di dengarnya melainkan suara serak.
"Rick? Gue butuh lo."
Suara Adiva seperi orang yang habis menangis. "Lo kenapa? Lo nangis? Lo gapapa 'kan?"
"Gue gak bisa jelasin disini, gue sendirian di rumah lo cepet ya."
"Iya, gue kesana 5 menit lagi sampe."
Mama, Papa dan Tania sepertinya sudah tidur. Alrick buru-buru mengambil kunci motornya dan menuju ke rumah Adiva, spidometer yang menunjukkan angka 50-60 cukup cepat untuk mencapai rumah Adiva.
"Va! Adiva!" panggilnya dari depan pintu rumahnya, ia terlalu khawatir sampai Alrick lupa untuk mengucapkan salam. Pintunya terbuka, Adiva langsung memeluknya sambil menangis. "Masuk yuk, jangan diluar dingin."
Adiva sudah duduk di ruang tamu bersama Alrick, Adiva masih memakai piyama coklat bergambar beruang dan mata yang bengkak akibat menangis.
"Lu-na," satu kata yang berhasil terucap meski harus terputus, tangisnya terus berderai.
"Luna kenapa?" tanya Alrick.
Adiva mencoba menenangkan dirinya. "Tadi Luna hampir bunuh diri, tangan-kakinya penuh luka, dan dia hampir loncat dari jendela kamar. Dia juga bilang kalo dia mungkin depresi, perceraian dan pernikahan Ayah yang mendadak, Kak Arin yang meninggal dan Ryan yang selingkuh dari Luna. Cukup gue kehilangan Kak Arin, gue gak mau Luna juga pergi," ucap Adiva lirih. "Kalau Luna pergi gak ada adek yang selalu gue sayang, gak ada yang gue jagain, gak ada yang gue gangguin, gak ada Luna yang selalu ngehibur gue, gak ada Luna yang selalu galau, gak ada Luna yang baper, gak ada Luna yang polos, Luna gak bisa diganti dengan apapun."
"Do'a yang terbaik buat Luna, minta sama Tuhan yang terbaik buat Luna." hanya itu yang sanggup Alrick katakan.
Kak Ale's Calling
"Diva, sendirian ya di rumah?"
"Enggak Kak, Adiva di temenin sama Alrick." jawabnya seraya menatap Alrick.
"Boleh Kakak ngomong sama dia?"
"Boleh," Adiva memberikan ponselnya pada Alrick. "Kak Ale mau ngomong sama lo."
Alrick menerima ponsel itu lalu bangkit dari duduknya dan bicara diluar. Adiva hanya bisa berdo'a agar semuanya baik-baik saja, apapun yang terbaik untuk Luna sekalipun harus mengorbankan nyawanya Adiva tak masalah.
Alrick memberikan ponselnya, Alrick menaiki tangga rumahnya, Adiva tidak tau. Tapi setelah Alrick kembali sudah ada kunci mobil Ale di tangannya. "Kita ke rumah sakit."
Di dalam mobil tak banyak percakapan yang terjadi, Alrick terfokus pada jalan dan Adiva yang masih terhanyut dalam pikirannya. Gedung besar berwarna putih-merah sudah terlihat di hadapan mereka. Rumah sakit.
Mereka menuju kamar inap Luna, tanpa harus bertanya Alrick sudah tau, Ale yang memberitahukannya. Terlihat Mama dan Auntynya dengan mata yang sembab dan hidung memerah, juga Ale yang berpenampilan acak-acakan.
"Luna mana, Ma?" tanya Luna menatap Mamanya. "Mama jangan bikin Adiva penasaran." Semuanya diam. "Aunty sama Kakak juga jawab dong. Rick lo juga tau 'kan? Tadi Kakak pasti bilang ke lo, Rick jawab."
"Luna gapapa." ucap Mamanya sambil tersenyum menatap putrinya. Sedikit perasaan lega bisa membuat Adiva tenang. "Sekarang Luna udah seneng banget."
"Iya, Div. Luna bahagia banget, kaget deh Aunty liat dia bahagia." Aunty Amel ikut bicara. Ale dan Alrick hanya tersenyum hangat. "Kamu disini dulu, Alrick mau ngomong sama kamu. Aunty, Mama sama Ale ke dalam dulu nemenin Luna, dia sendirian."
Adiva duduk. "Mau ngomong apa?"
"Gini, lo tarik nafas dulu." Adiva mengikuti apa yang di perintahkam Alrick seraya Alrick duduk di sampingnya. "Gak ada yang sanggup nyampein ini ke lo."
Adiva mengernyit. "Maksud lo?"
"Luna ... udah bahagia."
"Iya gue tau."
Alrick menggeleng. "Bukan gitu, Luna bahagia banget banget banget, tapi kita gak bisa liat bahagianya dia secara nyata."
"Maksud lo apa? Ngomong yang jelas."
"Luna udah gak ada, Va." ucapnya lembut. Adiva di mematung dan hanya air mata yang terus mengalir, Alrick memeluk Adiva. "Dia bahagia di sana, tanpa kita. Mungkin ini yang terbaik dari Tuhan. Luna bahagia, Va."
Adiva hanya menangis, kakinya menjadi lemas, lidahnya kelu untuk bicara, semua perasaannya hanya mampu dijawab oleh tangis di matanya. "Lo bohong! Bilang ini april mop."
"Gue gak bohong. Lagi pula ini bulan juni, Va." Alrick tetap mendekap Adiva erat, membiarkan Adiva menangis di pelukannya. "Sekarang, hanya ada Luna yang bahagia tapi gak nyata. Kita udah gak bisa lihat tawa Luna, ledekannya, semua dari Luna. Dia udah pergi, jauh."
"Luna," nama Adiknya yang masih sanggup Adiva katakan, tangisnya semakin menjadi. "Kakak sayang sama kamu, Lun."
"Mau liat Luna?" tanya Alrick. "Untuk yang terakhir kalinya, Va. Kita gak bisa ketemu dia lagi."
Dengan langkahnya yang lunglai, Adiva memasuki ruangan itu. Luna yang tertidur kaku dengan kain putih menutupi wajah cantik Luna, wajah yang selalu menghibur Adiva kini hilang. Tak ada adik cantiknya. Demi Tuhan, Adiva masih ingin melihat tawa Luna.
Untuk yang terakhir kalinya, Adiva mencium puncak kepala Luna, Adiva berucap pelan dengan suara lirih. "Kakak akan selalu berdoa untuk Luna. Sekarang, Luna bisa pergi dari masalah Luna yang sulit. Kakak sayang sama Luna.
•••••
KAMU SEDANG MEMBACA
A.A.R [Completed]
Ficção Adolescente[#42 in Teen Fiction 29 Desember 2016] "Nama gue Alrick Achazia Radhifa." "Nama gue Adiva Ayska Rafandra." "Inisial nama kita sama jangan-jangan kita jo..." "Mblo." "Sorry, gue gak jomblo gue udah punya pacar." Singkat cerita setelah perkenalan itu...