21

7.1K 555 8
                                    

Setelah bercerita tentang Kenzi pada Maura kemarin. Adiva kembali memulai harinya dengan kemeja putih dan rok abu-abu, biasanya selalu ada Kenzi di sampingnya untuk melihat murid baru yang sedang melaksanakan MOS, tapi kali ini tidak.

Selalu ada perpisahan dan pertemuan. Di setiap goreskan luka akan selalu ada yang mengobati.

Pandangan Adiva tertuju pada seorang cowok yang sangat ia kenali dan seorang perempuan yang pernah dilihatnya. Ryan dan kekasihnya. Kematian Luna masih ada sangkut pautnya dengan mereka, bukan? Kalau saja gadis itu tidak hadir, sampai saat ini Luna masih hidup dan Luna yang berada di samping Ryan, bukan gadis itu. Secara tidak langsung juga gadis itu adalah pembunuh Luna.

Tapi bisa di apakan, Luna meninggal pun karena takdir. Dan takdirnya adalah kehadiran gadis itu. Entah mengapa rasanya Adiva ingin tertawa tapi ia tidak tau apa yang harus di tertawakan.

"Kak Diva?" suara yang menyebut namanya membuatnya menoleh, sesosok gadis cantik dengan 30 pita merah putih di rambut panjangnya itu tersenyum hangat menatap Adiva.

Wajahnya tak jauh berbeda dengan Luna, hal itu membuat Adiva merindukan adiknya. "Hai Yerra!"

"Hai juga Kak Diva. Kangen deh sama Kakak."

Adiva terkekeh geli. "Kamu apa kabar?"

"Baik, Kak Diva gimana?"

"Baik kok. Oh, iya Yer, cewek yang di samping Ryan itu pacarnya ya?"

Yerra hanya mengangguk. "Iya. Aku kesana dulu ya Kak udah disuruh baris."

Setelah Yerra melenggang pergi Adiva menarik nafasnya dan pergi ke kelasnya. Kelasnya tak begitu ramai, hanya ada segerombolan anak laki-laki yang suka membolos di kelasnya seperti Jodi, Daffa, Miko, Gilang, Febri, Athar, Farhan, Akhmad dan Hafizh. Sembilan orang itu sangat berisik di kelasnya padahal tidak ada orang lagi selain mereka, entah yang lain dimana.

"Div, pinjem kaca dong." pinta Jodi yang menghampirinya.

"Gue gak bawa kaca." jawabnya.

Hafizh yang mendengarnya berteriak. "Lo 'kan cewek, Div."

"Tapi gak semua cewek bawa kaca ke sekolah, dugong. Lagian buat apaan sih?" Adiva justru jengkel pada sembilan orang di kelasnya itu.

"Buat apa kek, suka-suka lah." Farhan ikut menghampirinya.

"Lo itu OSIS bukannya nge-MOS adek kelas juga." gerutu Adiva menatap Farhan.

"Males, gak penting." delapan orang lainnya malah ikut menghampirinya.

"Udah mana cepet kacanya?" Daffa menjulurkan tangannya. "Gak mungkin lo gak bawa kaca, hampir semua cewek di kelas ini bawa kaca."

"Tapi gue enggak bawa, Daffa." seharusnya jangan pernah samakan Adiva dengan perempuan lain.

"Harus bawa lah, cepet elah." Akhmad bersuara dan membuat Adiva semakin jengkel.

Kalau sudah begini Adiva akan memilih untuk ke taman belakang dan mendengarkan musik disana. Adiva menerobos kerumunan anak laki-laki di hadapannya. "Misi ah, gue mau lewat."

Mereka hanya bergumam tidak jelas mengucapkan sumpah-serapah padanya dan tentunya Adiva tidak akan pernah peduli.

Taman belakang sekolah memang sepi, suara berisik saat istirahat pun tidak akan terdengar jelas disana. Jarang murid yang mau berada di taman belakang, mereka mengatakan bosan. Padahal menurut Adiva disana adalah tempat ternyaman selain rumahnya.

Adiva memutar lagu di ponselnya dan tidur di atas bangku taman, pelajaran bertama adalah Ms. Juniar dan wanita tua itu tidak pernah mengabsen muridnya yang bolos. Jadi lebih baik Adiva tidur di taman belakang sampai waktu istirahat, kapan lagi ia bisa bolos dengan tenang seperti ini.

Adiva rindu keluarganya. Kata-kata itulah yang sebenarnya tak pernah hilang dari pikiran Adiva. Tapi untuk apa?

Buat apa gue mempertahankan hal yang sulit sendirian kalau dia enggak mau mempertahankan? Gak berguna.

Baginya, jika Ayahnya bisa kembali dengan keluarganya adalah sesuatu yang mustahil, Mamanya sudah mempunyai rencana akan menetap di London. Kenzi? Entahlah.

Adiva pasti akan merindukan sosok Kenzi, meski sering kali Kenzi menyakitinya, Adiva tidak akan peduli. Ia rindu sahabatnya itu, hal-hal yang biasa ia lakukan dengan Kenzi hari ini perlahan akan berubah. Tidak akan ada yang berteriak di depan pagar rumahnya, tidak ada teman yang menjadikan rumahnya seperti rumah sendiri, tidak ada yang tidur seharian di kamarnya dan tidak ada yang melompat ke balkon kamarnya.

Perlahan semua orang yang disayang akan pergi dengan alasan yang berbeda.

"Kenzi pindah sekolah?" sebuah suara familier terdengar di telinganya. Adiva mengangguk dan menatap orang yang ternyata Alrick, laki-laki itu memang pandai menemukannya. "Tadi gue nyari lo di kelas, tapi gak ada. Gue yakin sih kalau lo galau kesini."

Adiva hanya tersenyum kecil meski Alrick tak melihatnya. "Gue gak galau. Setiap pertemuan emang harus ada perpisahan. Jadi, buat apa gue galau?"

"Karena perpisahan selalu di benci semua orang."

Adiva menarik nafasnya sambil memejamkan matanya. Alrick benar, Adiva takkan bisa menyangkalnya. "Bokapnya pindah tugas, sekalian buat ngehilangin perasaan dia dari gue."

"Perasaan?"

"Iya, selama ini Kenzi punya perasaan lebih ke gue."

"Terus lo terima gitu?"

Adiva merubah posisinya menjadi duduk. "Ya enggak lah,"

"Kenapa?"

"Lo pikir aja dong. Selama ini dia nyakitin gue terus tiba-tiba dia ngomong kalau dia suka sama gue, kalau gue terima, toh dia juga akan pergi ninggalin gue." Alrick hanya mengangguk. "Plus dia kira gue sukanya sama lo."

"Emang gak bisa kalau lo beneran sukanya sama gue?"

•••••

[A/N] kode keras terossss!!

A.A.R [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang