34

6.4K 508 9
                                    

Pagi yang cerah setelah semalaman hujan membasahi kota Jakarta. Adiva membuka kelopak matanya yang berat, matanya sangat sembab setelah semalaman ia menangis. Menangisi takdirnya. Adiva masih ingin tidur, melupakan seluruh masalahnya. Kalau boleh ia ingin tidur untuk selamanya.

Adiva memaksakan tubuhnya untuk bangun, tenggorokannya butuh air. Gadis itu berjalan menuju dapur dan meminum segelas air putih.

"Jadi, jawaban kenapa Ayah kamu gak nahan orang yang nabrak Kak Arin, karena yang nabrak itu calon Anak Ayah kamu, Adik Tiri kamu. Waktu itu Alrick mabuk berat, dia hampir stres karena Adiknya hampir meninggal, koma di rumah sakit karena kecelakaan. Diam-diam dia bawa mobil ke Jakarta sama temen-temennya tanpa Mamanya tau, dia ke trek-trekan dan clubbing. Akhirnya, Mamanya nelfon kalau Fira udah siuman dan akhirnya dia buru-buru bali ke Banung tapi ironisnya dia nabrak Arin. Dan karna itu dia dilepas tuntutan sama Ayah, itu awalnya kenapa Mama sama Ayah kamu bertengkar, Mama kamu gak terima kalau dia di bebasin dan akhirnya ketahuan."

PRANK!

Gelas yang berada di atas pantry tak sengaja ia senggol dengan tangannya hingga jatuh dan pecah begitu saja, seperti hatinya. Seketika tubuhnya lemas dan hatinya tak sanggup menerima keadaan.

"Kamu gapapa?" tanya Ale yang langsung menarik Adiva untuk menjauh dari pecahan kaca.

Adiva penggeleng. "Gapapa, gak sengaja."

Adiva membereskannya tiap pecahan kaca di lantai dan membuangnya ke dalam tempat sampah terdekat. Pikirannya kacau, hatinya hancur, tubuhnya lemas dan hidupnya tidak ia mengerti.

Orang yang ia percaya, yang ia sayangi adalah pembunuh Kakak kesayangannya. Selama ini laki-laki itulah yang seharusnya Adiva benci.

Bukan dicintai.

"Assalamualaikum."

Suara itu.

"Ayah?"

Adiva menoleh ke arah pintu rumahnya, Aunty Amel sudah lebih dulu menyambut kedatangan Ayah dan—anak tiri pertamanya, Alrick. Untuk apa mereka kesini?

Mereka berbincang di ruang tamu lalu Aunty Amel berjalan ke arahnya, buru-buru Adiva duduk di sofa.

"Div, ada tamu. Ayo ikut." ajak Aunty Amel.

"Enggak mau, liat dong Ty muka Adiva beler begini, mata bengkak juga. Gamau ah."

"Udah ikut aja, gapapa. Ayo. Penting."

"Penting apa sih?"

"Yaudah ikut aja."

Adiva tetap kekeuh pada keputusannya. "Enggak mau."

"Adiva."

"Aunty."

Aunty Amel berkacak pinggang dan menatapnya.

"Oke, Adiva ikut."

Adiva bangkit dengan jantung yang berdebar cepat, ia takut dan belum siap untuk bertemu Alrick, mungkin juga tak akan pernah siap.

Keduanya menatap Adiva, gadis itu menunduk untuk menghindari kontak mata pada kedua orang yang berada di ruang tamunya.

"Adiva," Fandy angkat bicara. "Ayah mau nanya sama kamu."

Adiva tak bergeming dengan nafas yang teratur.

"Adiva,"

Panggilan namanya terdengar sekali lagi. Ia mengangkat sedikit wajahnya, sepasang mata Fandy sedang menatapnya.

"Kamu punya hubungan yang lebih dari teman dengan Alrick, kan?" tanyanya.

Adiva tidak tau ia harus menjawab apa, ya atau tidak keduanya akan memicu pertebatan.

"A ... Ak—"

"Ayah tau, Alrick udah ceritain semuanya." potong Ayahnya. Dengan cepat Adiva melirik Alrick dengan tatapan tajam. Susah payah Adiva mengumpulkan keberanian itu untuk menatap laki-laki di hadapannya. Ada kilatan sedih, marah, putus asa, dan tidak punya tujuan. Persis seperti matanya. Tatapan teduh yang selalu Adiva lihat kala menatap Alrick, namun sejak malam itu tatapan yang seharusnya tetap sama, kini berubah menjadi tatapan kosong. Jangan salahkan Adiva, jangan juga salahkan takdir. Tidak ada yang salah, memang seharusnya begitu.

"Kalian pacaran?" tanya Fandy lagi. Adiva menggeleng.

"Enggak." sepatah kata itu keluar dari mulut Alrick dengan nada yang sama seperti malam itu.

"Kenapa?"

Hening, tak ada yang menjawab. Beberapa detik berlalu, semuanya diam.

"Saya tidak akan berpacaran dengan seseorang yang membunuh Kakak Saya." jawab Adiva cepat. Ayahnya terkejut mendengar jawaban itu.

"Maksud kamu apa?"

"Ayah jangan pura-pura gak tau, dia orang yang nabrak Kak Arin malam itu, malam yang seharusnya berlanjut dengan kehidupan bahagia. Tapi sejak malam itu, semua berubah. Kehidupan Adiva berubah gelap. Karna dia. Adiva emang lancang, tapi mau gimana lagi. Membiarkan semua rasa sakit itu berlanjut? Adiva gak mau, Adiva ingin semuanya selesai. Apa Ayah pernah ngerasain, orang yang paling Ayah percaya, orang yang Ayah cinta dan Ayah sayang ternyata bagai bumerang untuk Ayah sendiri. Orang yang membuat Ayah bangkit tapi juga yang menyakiti dalam diam. Adiva mau semuanya selesai."

Semua kekesalannya kini berujung menjadi tangis. Tangisan tanpa suara, air mata yang berkali-kali jatuh ia biarkan begitu saja. Percuma, kalau ia tepis air mata itu, tangisnya tak akan pernah selesai.

"Saya ingin hidup saya bahagia, itu saja."

Semuanya tetap diam, Adiva dapat mendengar deruan nafas di sampingnya tak teratur. Bergetar. Aunty Amel menangis.

Dengan cepat Adiva menepis air matanya, ia berusaha setegar mungkin. "Adiva udah punya keputusan."

Tiga orang yang ada di ruangan itu menoleh. Aunty Amel yang sejak tadi membisu akhirnya bersuara, tampak cemas. "Keputusan? Keputusan apa?"

"Adiva mau lanjutin kuliah di London, tinggal dan nemenin Mama disana. Adiva kangen sama Mama Adiva." jawabnya.

Tidak ada yang menyetujui atau melarangnya, semuanya diam. Hening.

Ia tidak tau, keputusan ini yang terbaik atau tidak. Intinya, Adiva ingin melarikan diri dari masalahnya.

"Permisi," Adiva bangkit dan berjalan ke arah kamarnya.

Membiarkan semuanya berjalan, ia tak akan peduli sakit atau tidaknya. Intinya, Adiva tidak bisa bertahan lama dengan masalahnya.

Dia harus pergi.

•••••

[A/N] Eh besok ukk ya

Yaampun

Gue malah apdet

Kan gue pinter banget

Doain ya ukk gua lancar, cakep nilainya biar enak di pandang kayak muka adiva

Amin.

A.A.R [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang