Alrick memarkirkan motor ninja hitam di garasi rumahnya. Tanpa basa-basi Alrick menuju kamarnya. Terlihat Fira dan Sesilia yang sedang asik tertawa menonton siaran televisi di ruang keluarga sampai tidak menyadari kalau sang Kakak sudah pulang. Mama dan Adiknya memang selalu kompak, berbeda dengan Alrick yang sedari dulu selalu dengan Papanya yang sudah meninggal empat yang lalu.
Bosan; satu kata yang Alrick rasakan setiap pulang sekolah. Alrick melihat kontak di ponselnya, tertera sebuah nama yang akhir-akhir ini bersamanya. Adiva, gadis itu kerap kali selalu terlihat bersama Alrick semenjak percakapan di Cafe minggu lalu. Mereka yang biasanya beradu mulut setiap bertemu kini masih bertukar sapa walau tak jarang mereka beradu mulut.
"Halo, Va." sapanya.
"Halo, Rick. Kenapa?"
Saat mendengar jawaban Alrick tersenyum. "Ketemuan yuk, gue bete nih di rumah."
"Yuk, sekarang?"
"Iya, bisa gak?" tanya Alrick.
"Bisa, tapi jemput ya."
"Sip."
Alrick menekan tombol merah di ponselnya, sejurus kemudian Alrick berganti baju dan menuju rumah Adiva.
"Mau kemana?" tanya Sesil yang masih asik menonton tv.
"Main." jawabnya singkat.
Sesil mengangguk. "Sama siapa?"
"Diva."
"Pacar?"
"Temen."
Sesil hanya terkekeh geli. "Siapa sih? Ajak kesini dong."
"Baru juga putus lu Bang sama Kak Rasya, usah mau jadian lagi aja." celetuk Tania. "Tapi ajak kesini leh ugha."
"Ih, enggak ah, orang cuma ketemu sebentar doang." ucap Alrick.
"Yaudah deh, sana. Hati-hati ya." ucap Sesil. Setelah berpamitan Alrick mengeluarkan motornya dari garasi dan menuju rumah Adiva.
Motornya sudah memasuki jalan Aster, terlihat rumah bertingkat dengan cat biru muda dan pagar berwarna putih. Adiva sudah siap di teras rumahnya dengan kaos dan skinny jeans milknya.
"Aunty! Adiva pergi dulu ya!" teriaknya dari depan rumah.
"Gue gak masuk dulu nih?" tanya Alrick seraya menyengir.
Adiva menggeleng lalu duduk di atas motor Alrick. "Males ah, Aunty Amel ribet kalo ketemu lo. Udah yuk."
Alrick hanya mengangguk mengerti dan melajukan motornya, kalau sore seperti ini Alrick lebih senang bermain di taman atau tempat bermain dari pada ke mall atau semacamnya. Menurutnya itu membosankan dan hanya membuat kepala Alrick pusing.
"Disini aja yuk." Alrick menghentikan motornya. Sebuah taman yang cukup luas dengan ilalang yang tumbuh tinggi dan di balik ilalang-ilalang yang tinggi itu ada sebuah danau. Seperti tempat wisata tapi tidak terlalu ramai, lebih banyak anak kecil.
"Udah lama deh gak kesini." ucap Adiva.
"Lo pernah kesini?" tanya Alrick.
Adiva mengangguk senang seperti mengingat memori tentangnya. "Dulu, gue masih SMP, keluarga gue masih bener-bener utuh, sebelum si nenek sihir ngerebut kebahagiaan gue."
"Nenek sihir?"
"Nenek sihir itu Nyokap Tiri gue, di depan dia aja gue baik, ikhlas kalo dia jadi ibu tiri gue. Aslinya, benci banget gue sama dia." jelasnya. "Semacam muka dua."
"Loh, bukannya Nyokap-Bokap lo cerai dulu ya? Baru Bokap lo nikah lagi." tanya Alrick.
Adiva menatap Alrick. "Iya, Bokap ketahuan selingkuh sama istri barunya, mulai dari situ Mama sama Ayah jadi sering berantem. Sebenernya istri baru ayah gue nggak salah banget. Karena dia taunya bokap nyokap gue udah pisah. Dan akhirnya Mama gugat cerai Ayah. Sebenernya, ini cuma gue yang nggak mau sadar kalau semuanya udah beda." Mata Adiva sudah mulai berair, dengan cepat ia menghapusnya. Suara Adiva lirih. "Gue janji, enggak akan nangis gara-gara Mama sama Ayah."
"Kadang melepaskan lebih baik dari pada mempertahankan." ucap Alrick pelan. "Dan kadang kehilangan memang berat."
"Dulu gue punya Kakak cewek." ucap Adiva. "Tapi dia udah meninggal, setahun yang lalu."
Alrick menatap perempuan di sampingnya. Sungguh, Alrick tidak menyangka Adiva yang biasanya ceria dan sangat tegar bisa menyimpan masa lalu yang amat menyakitkan.
"Kak Arin, Kakak kesayangan gue, dia yang paling ngerti gue. Sayangnya, dia harus kecelakaan dan pergi ninggalin gue gitu aja." suaranya gemetar. "Kalo aja orang sialan itu gak nabrak Kak Arin, pasti sampe sekarang Kak Arin masih ada. Kadang gue benci hidup gue." tangisnya pecah.
Alrick memeluk Adiva seraya menenangkannya. "Gak boleh gitu, Kakak lo meninggal itu takdir, mungkin aja hidupnya bakal susah kalau dia masih hidup, makanya Tuhan sayang sama dia dan ambil dia lebih awal."
Adiva menghentikan tangisnya namun hasilnya nihil, air matanya tetap mengalir. "Semenjak Kak Arin meninggal, Mama sama Ayah gak pernah akur. Gue juga gak ngerti kenapa Ayah ngebebasin pelaku penabrak Kak Arin? Cuma karna alasan pelakunya masih di bawah umur. Tapi 'kan bisa kalau orang itu di bawa ke penjara anak-anak." tangisnya tetap tidak berhenti, Adiva memeluk Alrick erat. "Gue ... kangen Kak Arin."
"Suatu saat lo pasti akan ketemu dia lagi, kok. Tenang aja. Kalo misalnya lo pengen curhat ke gue aja." ucap Alrick dan membalas pelukan Adiva. Berbeda saat mereka berdebat. Kali ini mereka dipertemukan seperti saling menyayangi.
"Gue cuma kangen sama keluarga gue, sekarang Mama sibuk kerja. Lo tau? Gue gak berasa punya orang tua." Adiva masih terisak.
Alrick merenggangkan pelukannya dan menatap Adiva, wajahnya tampak seperti Adiva yang tidak menyeramkan, cantik. Alrick menghapus air mata Adiva. "Udah ya nangisnya, masih ada gue, Maura, kalo perlu Kia sama Nath. I'm here."
Adiva mengangguk seperti anak kecil. "Gue laper."
•••••
[A/N] mulmed: kiri Maura dan kanan Adiva. Siap-siap untuk part selanjutnya ya! Ini malming ya? Cie jones, partnya gagal ya buat malming. Jangan lupa Vommets

KAMU SEDANG MEMBACA
A.A.R [Completed]
Teen Fiction[#42 in Teen Fiction 29 Desember 2016] "Nama gue Alrick Achazia Radhifa." "Nama gue Adiva Ayska Rafandra." "Inisial nama kita sama jangan-jangan kita jo..." "Mblo." "Sorry, gue gak jomblo gue udah punya pacar." Singkat cerita setelah perkenalan itu...