Kayu nisan dengan nama Aluna Melody Rafandra, sudah lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal wafat. Makam Luna tepat bersebelahan dengan Makam Kak Arin, Adiva menatap makam dengan nama Arinara Lyara Rafandra, dua orang yang dicintainya harus pergi.
Luna meninggal karena ada pembuluh nadinya yang pecah dan saat itu Luna kehabisan darah. Itulah alasan Luna pergi. Alrick, cowok itu bersamanya sejak semalam, menghentikan tangisnya, memeluknya.
Maura datang dengan mata yang sembab, Maura sangat dekat dengan Luna, wajar kalau Maura terkejut mendengarnya. "Div, sorry kalau gue banyak salah sama Luna. Turut berduka cita ya." ucap Maura yang datang dengan suara yang akan menangis. "Gue kangen banget sama Luna." pandangan Maura di arahkan pada makam Luna. "Lun, Kak Maura dateng. Kita udah gak bisa curhat lagi ya, padahal gue kangen banget sama lo Lun,"
Adiva yang mendengar ucapan pelan Maura kembali menjatuhkan air matanya, matanya sudah begitu sembab hingga ia harus memakai kacamata hitam. Makam Luna sudah mulai sepi, Mama dan Auntynya sudah pulang. Mamanya bisa pingsan kalau terlalu lama disini. Dan Maura sepertinya harus berangkat sekolah, dia sudah memakai seragam.
"Gue pamit ya, Div. Nanti absent lo. Gue yang kabarin." ucapnya.
Maura menuju mobilnya dan pergi meninggalkan pemakaman. Adiva masih menatap makam Luna, air matanya kembali mengalir, Alrick bisa melihatnya. "Gue ke mobil sebentar ya, ambil payung, jaga-jaga kalo hujan."
Langit tampak mendung, sesuai dengan perasaan Adiva, mulai hari ini hidupnya akan terus berubah. Pedih itu terus menyiksa, apa Adiva tidak boleh merasakan sedikit saja kebahagiaan?
"Kak Adiv," panggil seseorang yang sangat Adiva kenal. Dia Ryan, mantan pacar Luna. Tapi Ryan datang dengan dua orang gadis, salah satu gadis itu adalah Yerra sahabat Luna, Adiva hanya menyambut mereka dengan senyuman hangat.
"Hai Yan," Adiva bisa melihat Ryan dan Yerra menangis di pemakaman Luna. Dan kata yang Adiva dengar dari mulut Ryan hanyalah 'Sorry, Lun' mungkin Luna sudah memaafkan Ryan, atau mungkin tak akan pernah memaafkan cowok itu.
"Kak, maafin Yerra ya kalo banyak salah sama Luna, Yerra belum bisa jadi sahabat yang baik buat Luna, Yerra gak bisa jagain Luna." isak tangisnya begitu memilukan untuk Adiva. "Yerra sayang sama Luna, Yerra gak mau kehilangan Luna, Kak."
"Yer, denger Kak Diva. Luna udah bahagia disana, kita disini cukup doain dia aja. Luna bahagia kalau kita disini bisa ikhlas." Yerra mengangguk.
Dan gadis di sampingnya bisa Adiva tebak, dia adalah pacar Ryan yang sekarang, selingkuhannya dulu. Lebih baik Adiva pulang dari pada berlama-lama disini, bisa saja Adiva mencelakai gadis itu dan lebih baik dia pulang. Adiva tersenyum. "Yan, Yer, Kakak pulang dulu ya. Udah mau hujan. Makasih udah jagain Luna selama tiga tahun."
Mata mereka yang merah menatap Adiva lalu mengangguk. Adiva berjalan keluar dari pemakaman, tampak Alrick yang baru ingin kembali menatapnya heran. Adiva melapas kacamatanya dan duduk di dalam mobil, berkali-kali ia mengusap air matanya, menangis lagi. Alrick mengelus rambut dan punggung Adiva. "Everything will be alright."
"Everything isn't fine."
Alrick menarik nafasnya berat, ia menyanyikan sedikit lirik lagu dari Shawn Mendes. "Sometimes it all gets too much ... But you gotta realize that soon the fog will clear up ... And you don't have to be afraid because we're all the same ... And we know that sometimes it all gets a little too much."
"I'm fine, gue bahagia karena Adik gue bahagia. It's all gonna be okay. Gue bisa, lo tenang aja." Adiva menarik nafasnya yang berat, walau masih ada sesak yang mengganjal. Dia tidak peduli. Dia bisa melakukannya. Adiva menunjukkan cengiran khasnya. "Yuk pulang."
Alrick melajukan mobilnya ke rumah Adiva, Adiva tertidur. Wajahnya menunjukkan rasa lelahnya, batin yang terluka karena goresan luka yang semu. Kalau boleh Alrick berdoa, ia akan meminta pada Tuhan bahwa perempuan di sampingnya bisa merasakan sedikit kebahagiaannya yang hilang. Sedikit saja.
Alrick ingat bagaimana ia bertemu dengan Luna pertama kalinya, Luna sosok yang periang, persis seperti Adiva. Jarang orang atau mugkin tidak ada yang bisa menebak sakitnya hidup mereka, kecuali orang terdekat.
She would always tell herself she could do this
She would use no help it would be just fine
But when it got hard she would lose her focus
So take my hand and we'll be alright•••••
KAMU SEDANG MEMBACA
A.A.R [Completed]
Teen Fiction[#42 in Teen Fiction 29 Desember 2016] "Nama gue Alrick Achazia Radhifa." "Nama gue Adiva Ayska Rafandra." "Inisial nama kita sama jangan-jangan kita jo..." "Mblo." "Sorry, gue gak jomblo gue udah punya pacar." Singkat cerita setelah perkenalan itu...