"—pembunuh."
"Adik gue bukan pembunuh! Jaga bicara lo."
Adiva tersenyum kecut tanpa ada yang tau. "Iya, dia bukan pembunuh. Tapi PHO, tukang nikung."
"Buktinya apa? Kalo ngomong jangan fitnah." Alrick mencak-mencak sendiri berdebat dengan Adiva yang santai.
Adiva berdecak kesal. "Ryan itu selingkuh sama Adik lo, dari Luna."
"Ryan duluan yang ngedeketin Adik gue, bukan salah Tania."
"Ya, bukan salah Adik lo. Cuma dia bego, udah tau Ryan punya pacar, masih mau aja di deketin. Di jadiin yang kedua lagi. Murahan, eh?"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi Adiva. Bukan Alrick, tapi Adiknya. Adiknya yang baru datang.
"Lo kalo ngomong dijaga. Gue bukan cewek murahan, Ryan yang ngedeketin gue duluan. Bukan gue."
"Tangan lo yang di jaga, gak usah sok jagoan mainan fisik." cetus Maura yang ikut kesal melihat gadis yang tiba-tiba datang dan menampar Adiva.
Adiva justru terkekeh. "Di jadiin kekasih gelap? Dan lo mau kan? Murahan bukan itu namanya? Sampe bikin orang lain depresi. Luna meninggal emang takdir, tapi gue gak rela kalau lo penyebabnya. Adik gue gak pantes pergi karena orang seperti lo."
"Udah, cukup. Malu-maluin, disini kantin." Alrick berusaha melerai Tania dan Adiva.
Adiva menatap Alrick tajam, meskipun ada rasa tidak sanggup untuk menatap mata itu, Adiva memaksakannya. "Baru sadar disini kantin? Dari tadi bukannya lo sama Adik lo yang teriak-teriak? Gue ngomong santai, gak ngehabisin suara. Dan gue gak main fisik."
"Lo anjing yang bikin gue naik darah." tandas Tania.
"Oh, ya? Terus? Gue peduli?" Adiva mengeluarkan wajah menyebalkannya. Membuat Tania menjambak rambut Adiva. Tapi, Adiva tetap tak membalas dan hanya meringis pelan, bahkan tanpa ada sedikit suara. Ia sudah terbiasa sejak dulu. Sampai akhirnya Alrick, Maura dan Kia yang melepaskan tangan Tania dari rambut Adiva.
Maura pun kesal menjambak rambut Tania hingga gadis itu meringis sakit lalu melepaskannya kembali. "Tuh, rasanya ngejambak rambut orang."
Tania pun membalas jambakkan Maura. "Gak udah ikutan lo, njing."
"Lepas!" sentak Kia pada Tania. Tetap saja, tangannya tak mau lepas dari rambut Maura.
"Gue gak akan ngebiarin sahabat gue disakitin sama siapapun, you fight her you fight me. Sekali lo nyakitin dia, gue yang akan seribu kali nyakitin lo." cetus Maura hingga Fira melepaskan jambakannya.
"Kalo dia enggak ngatain gue PHO juga gue gak bakal kayak gini,"
"Ngerasa ya gue katain PHO?" cibir Adiva. "Harusnya lo sadar, tanpa gue kasih tau."
Tania menjambak rambut Adiva lagi, untuk kedua kalinya. Adiva tetap tak membalas jambakkan Tania. "Udah selesai belum jambaknya?"
Bukannya terlepas, jambakkan di tangan Fira semakin kuat.
"TANIA! Denger, lepasin! Gak berguna jambak-jambak orang. Masalahnya enggak akan selesai." sentak Alrick hingga membuat Tania diam.
Tania berdecak kesal dan mulai mencak-mencak. "Kakak belain dia? Mentang-mentang Kak Alrick suka sama dia, Kakak mau aja nurut apa kata dia."
"Kakak gak belain dia, Tania, denger dong. Kalau kamu kayak gini yang ada kamu masuk BK, dapet poin, gak naik kelas. Mau?"
"Eh, bogel, lo dengerin dong omongan Kakak lo, budek apa gimana sih lo?"
"Udah Ra, gue masih tau diri kok, ini bukan tempat buat berantem. Tania, karma does exist. Tunggu tanggal mainnya." Adiva berjalan keluar kantin sambil menguncir rambutnya dan Maura mengikutinya seraya menatap Tania kesal.
Maura mengeluarkan smirk jahatnya dan berbisik pelan pada telinga Tania. "Ngaca lo, sadar diri jangan cuma bisa anjing-anjingin orang doang tapi lo sendiri kayak anjing, jangan mentang-mentang lo cantik bisa munafik. Sok polos taunya psikopat. Najis." Tania bergeram menatap Maura dan Adiva.
Lebih baik Adiva pulang kalau ke sekolah hanya untuk membolos di rooftop. Ya, Adiva sekarang berada di rooftop sekolah, sendiri. Tentunya Maura tidak akan ikut, Adiva tidak akan membiarkan gadis itu terlibat dalam masalahnya, apalagi sampai membolos seperti dirinya.
Kenapa Adiva selalu salah dalam merasakan jatuh cinta, andai saja perasaannya dapat ia atur Adiva tidak akan membiarkan perasaannya jatuh pada orang yang salah.
Adiva duduk dan menangkup kedua kakinya lalu menundukkan kepalanya, ia menangis sepuasnya disana. Tanpa ada yang tau rasa sakitnya. Adiva tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang selain menangis, walau sebenarnya ia tau tangisnya tak akan membuat semuanya kembali membaik tapi setidaknya tangis bisa melegakan rasa yang mengganjal di hatinya. Andaikan Kenzi berada disini, pasti Kenzi akan setia memeluknya erat sampai Adiva tertidur.
Kadang semua orang yang di cintai harus pergi dan membiarkan kita untuk berjuang sendiri merasakan sakit, itulah kejamnya kehidupan.
Adiva juga merindukan Mamanya. Apa kabar Mamanya itu? Masih ingatkan ia dengan anak perempuannya? Adiva rindu Mamanya. Ayah? Adiva yakin kalau Ayahnya sudah bahagia dengan Nenek Sihir itu.
Adiva menghapus air matanya dan berdiri di pinggir rooftop, masih ada tembok sepinggang yang menyangga rooftop. Adiva menatap bangunan-bangunan di hadapan sekolahnya, entah kantor, mall atau gedung-gedung lainnya.
Adiva menelpon Ale, ia ingin pulang, penampilannya sudah benar-benar berantakan dan tidak mungkin ia harus belajar, lebih baik ia pulang.
"Halo,"
"Kenapa? Kok lo bisa nelfon sih? Bukannya masih belajar ya?"
"Panjang ceritanya, intinya lo jemput gue sekarang. Lima belas menit lagi lo harus udah sampe di belakang sekolah gue."
"Iya Tuan Putri, gue otw."
Adiva mematikan ponselnya dan segera turun ke bawah. Sebuah tembok besar sudah berada di hadapannya, untungnya ada sebuah tangga yang bisa ia gunakan untuk melewati tembok itu.
Setelah sampai di balik tembok Adiva harus menunggu beberapa menit sampai Ale datang, Adiva memanjat sebuah pohon agar tidak ada seorang guru atau satpam yang melihatnya. Tak lama mobil yang ia tunggu-tunggu itu datang, Adiva berlari dan masuk ke dalam mobil.
"Lo berdiri dimana? Kok gak keliatan?" tanya Ale saat melihat Adiva masuk tergesa-gesa ke dalam mobil.
"Di atas pohon."
"Kayak monyet."
•••••
[A/N] Oke, sebelumnya maaf update lama banget, kayaknya gue minta maaf mulu ya (?) kan belum lebaran, tapi yaudah sih, minta maaf duluan kan lebih baik—ngasyi lu dil—dan kayaknya di part ini drama banget ya, intinya part ini gue dedikasikan untuk musuh-musuh gue. SG dan J dkk. Tangkyu, silahkan vote and comments.
KAMU SEDANG MEMBACA
A.A.R [Completed]
Teen Fiction[#42 in Teen Fiction 29 Desember 2016] "Nama gue Alrick Achazia Radhifa." "Nama gue Adiva Ayska Rafandra." "Inisial nama kita sama jangan-jangan kita jo..." "Mblo." "Sorry, gue gak jomblo gue udah punya pacar." Singkat cerita setelah perkenalan itu...