29

6.2K 459 2
                                    

"Maaf." Alrick menatapnya dengan penuh ketulusan Adiva bisa melihat dari manik mata laki-laki itu. Alrick membawa satu bucket bunga aster. Darimana laki-laki itu tau Adiva menyukai bunga aster padahal ia tak pernah memberi tau siapapun tentang bunga favoritnya, kecuali Kenzi. Tidak mungki juga Kenzi yang memberitau. "Pretty, please forgive me."

Adiva tersenyum kecil menatap Alrick. "Minta maaf buat apa?"

"Maaf karena gue ngecewain lo, gue gak bisa nepatin janji gue tentang gue yang akan selalu ada di samping lo. I'm so sorry." sebenarnya bukan ini yang Adiva mau, bukan meminta maaf di depan umum. Menghubunginya dan menanyakan kabarnya pun sudah cukup tanpa harus meminta maaf. Entah bagaimana seluruh rasa benci dan kesal Adiva bisa luluh begitu saja saat menatap mata Alrick.

Dan Adiva tidak mengerti kenapa Alrick selalu mempunyai rahasia yang berarti sebuah jawaban bagi Adiva. Dan Alrick selalu bisa membuatnya tersenyum setelah ia menangis. Bahkan ia ingin menangis sekarang, bukan karena ia sedih tapi karena ia terlalu bahagia.

"Apology accepted." senyum yang tadinya getir kini mengembang menjadi bahagia. Adiva menerima bunga aster itu dan mendapatkan pelukan hangat dari Alrick. Tanpa mempedulikan sekitar Adiva membalas pelukan Alrick.

"I promise I'll not repeat again."

"Don't promise but try to be better."

Tepat saat itu juga bel masuk berbunyi. Dan momen yang menghentikan detak jantungnya itu harus berhenti dan membiarkan jantungnya berdetak kembali. Adiva melepas pelukannya pada Alrick, begitu pun sebaliknya.

Kerumunan orang yang memperhatikannya pun ikut bubar, Maura sepertinya masih ingin bersama Kia, mereka masih asik berbincang. Adiva kembali ke kelasnya dengan perasaan yang sangat bahagia.

Adiva duduk di bangku kosong paling belakang dengan laptopnya. Sudah lebih dari 20 menit tak ada guru yang masuk, tiba-tiba saja Karin dan Shara masuk dan berteriak bahwa Ms. Darin hari ini tidak masuk.

Adiva hanya menghiraukan kedua orang itu dan memasang headphone pada telinganya. Adiva membuka aplikasi skype-nya, tadinya ia ingin menghubungi Kenzi hanya sekedar bercerita atau mengganggu laki-laki itu. Tapi Kenzi sedang tidak aktif, sejak dua hari yang lalu Kenzi tidak bisa di hubungi. Adiva menurunkan headphone-nya di atas pundak dan menelfon Kenzi.

Ponsel Kenzi tidak aktif, Adiva kembali mengulang untuk menelfon Kenzi. Tapi hasilnya tetap saja nihil. Sejak kemarin Kenzi tidak bisa ia hubungi.

Dan sepertinya sedikit jalan bisa ia gunakan. Tara sedang on skype. Adiva segera menghubungi Tara. Setelah tersambung terdapat Tara dengan seragam sekolahnya di tempat yang cukup luas. Ya Adiva tau itu dimana. Rooftop.

"Hai Div!" sapa Tara begitu wajahnya muncul. "Ada apa?"

"Enggak, gue cuma mau nanya sama lo, dari kemaren Kenzi gak bisa gue hubungin. Lo bisa ngehubungin dia gak?"

Tara menggeleng. "Enggak, gue udah coba ngehubungin nyokap bokapnya. Tapi gak ada hasil. Semua ponselnya mati."

"Gue yakin pasti terjadi sesuatu."

"Gue gak mau berpikir gitu, gue harap Kenzi cuma bercanda."

"Semoga."

"Jadi gimana Tar? Kita gak mungkin terus berpura-pura seakan kita gak kenal." sebuah suara berhasil membuat Tara menoleh dan terkejut. "Apaan sih melotot gitu, gak jelas lo."

Tara kembali menatap layar laptop dan tersenyum kecil. "Tunggu sebentar ya Div, matiin dulu juga gapapa."

"Oke."

Samar-samar Adiva bisa mendengar penbicaraan Tara dengan seseorang yang sepertinya laki-laki. Suara itu terdengan berat.

"Bisa gak sih ngomongnya jangan terlalu keras? Nanti ketauan gimana?" suara Tara yang kesal terdengar samar.

"Kedengeran apa sih? Kita tuh udah di rooftop, mau di denger siapa? Istirahat udah selesai. Gak mungkin ada yang kesini."

"Gue lagi video call Bas."

Bas?

Selanjutnya pembicaraan mereka tak terdengar lagi. Lagi pula Adiva tidak akan ikut campur urusan mereka, terlalu banyak drama di hidupnya. Dan dia tidak ingin menambah drama lagi.

Tak lama kemudian wajah Tara sudah kembali muncul. "Maaf, lama. Ada sedikit masalah. Jadi, gue gak tau pasti kayak gimana, yang jelas Kenzi itu anak tunggal—"

"Gue tau dia anak tunggal."

"Bukan itu maksud gue."

"Jadi?"

"Gak ada orang lain yang bisa gue hubungin selain orang tuanya." Adiva mengangguk mengerti. "Mungkin kalau ada kabar gue akan ngehubungin lo. See you."

"See you."

Adiva menghembuskan nafasnya pelan. Tak ada banyak hal yang bisa ia lakukan, lebih baik ia tidur. Dan tidak mungkin juga Adiva tidur dalam keadaan kelas yg sungguh berisik. Tapi apa boleh buat ia sudah sangat mengantuk.

Belum sempat ia tertidur seorang guru piket masuk ke dalam kelasnya. Sungguh menyebalkan!

"Kerjakan LKS kalian," wanita itu melihat LKS milik siswa yang duduk paling depan. "Halaman 37."

Adiva hanya menghiraukannya pasti guru yang mengajarnya hari ini pun tak akan menyanyakan soal LKS dan cenderung menggunakan buku paket.

•••••

[A/N] hai! Maap ya updatenya lama, lagi males buka wattpad. Tunggu konflik selanjutnya :v

A.A.R [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang