"Ken, emang cewek yang lo suka siapa?"
"Maura."
Suara percakapannya dengan Kenzi masih bisa ia ingat jelas, bagaimana Kenzi menyukai sahabatnya sendiri—Maura. Adiva tidak mungkin membenci Maura yang sudah menjadi sahabat dan teman curhatnya hampir 2 tahun ke belakang. Adiva sekarang benar-benar bingung harus bagaimana, kalau saja Adiva tidak bertanya siapa gadis yang Kenzi suka pasti tidak akan serumit ini. Dan dia akan menjalankan takdir yang seharusnya.
Adiva menunggu Maura yang sedari tadi belum juga terlihat. Adiva memutuskan untuk pergi ke kantin sebelum gadis itu datang. Entah ada angin darimana Maura berada di kantin lengkap dengan ranselnya dan bicara bersama Kia.
Adiva mendekati Maura namun gadis itu terkejut dan bungkam, seperti merahasiakan sesuatu. "Lo kenapa Mau? Kok gak langsung ke kelas?"
"Ta-tadi gue la-laper makanya gu-gue langsung kes-sini." wajah Maura tampak kalap dengan suaranya yang tergagap.
Adiva semakin bingung di buatnya. "Lo lagi ada masalah, ya? Cerita ke gue."
"Jadi tuh samalem Ma—aw! Sakit bego," Kia memegang kakinya. Adiva semakin yakin kalau ada sesuatu yang Maura sembunyikan.
"Semalem kenapa? Jangan buat gue penasaan," ucap Adiva. "Jelasin."
Kia yang tampak geregetan dengan Maura angkat bicara. "Gue aja deh yang jelasin."
"Jangan!" sergah Maura melotot menatap Kia. "Gue aja," Adiva mentap Maura. "Semalem ada yang nge-chat gue."
"Kenzi?" wajah Maura semakin kalap dan Kia yang tampak terkejut, berbeda dengan Adiva yang santai lalu terkekeh. "Dia suka lo? Gue udah tau, Mau. Kemarin sore dia ngomong sama gue, jadi lo gimana? Lo suka dia juga?"
Maura sudah sedikit tenang, tapi tetap saja Maura masih terkejut. "Tapi gue gak mau lo sa—"
"Gue gapapa," potong Adiva. "Gue bisa cari yang lain."
"Tapi gue gak suka Kenzi," wajah Maura terlihat putus asa. "Gue suka ...."
"Siapa?" tanya Kia penasaran.
Bukannya menjawab Maura justru panik dan bingung. "Gue suka ... Alrick."
Adiva melotot menatap Maura. "Lo suka cowok tengil itu?"
Maura menjadi terlihat ragu. "Gak ada yang salah 'kan?"
"Gak," jawab Adiva. "Gak salah lagi. Lo lebih baik suka Kenzi, gapapa gue ikhlas asal jangan cowok menggelikan itu."
"Woy!" yang dibicarakan datang lalu duduk di samping Adiva dengan santainya.
"Ngapain lo disini?" sungut Adiva kesal. "Di hukum ya lo tukang bolos?"
"Ngaca lo," nada bicara Alrick menjadi sewot.
Adiva pun ikut sewot. "Eh lo yang ngaca, tukang bolos, mecahin ponsel orang sembarangan gak mau minta maaf lagi."
"Lo songong, bikin nilai sikap gue C."
"Biar lo sadar, lo songong."
"Lo yang songong,"
"Lo."
"Lo."
"Eh nenek baru lahir juga tau kalo lo gak songong nilai sikap lo gak bakal C." Adiva berdiri dari duduknya dan menunjuk Alrick.
"Gigi lu bendul, kalo kemaren gue gak nganterin lo pulang motor gue gak bakal mogok." Alrick ikut berdiri.
"Tai kucing, lo yang maksa."
"Beol kuda, dari pada lo sampe malem di sekolahan."
"Eh dua monyet berbulu serigala, diem dikit bisa gak sih?" Kia mencoba melerai kedua temannya itu.
Alrick dan Adiva melotot menatap Kia dan bicara serentak. "Lo yang diem."
Tidak berguna juga sepertinya jika melerai kedua temannya itu. Bagaikan ada petir yang tersambung pada kedua dahi mereka. Dan sepertinya hanya bunyi bel yang bisa melerai adu mulut mereka.
Adiva menatap Alrick tajam. "Urusan kita belum selesai."
Yang ditatap tajam pun berbalik menatap dengan tatapan menantang. "Siapa takut,"
•••••
[A/N] Maaf ya ini pendek banget, emang segitu doang sih hehe. Jangan lupa vomments ya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A.A.R [Completed]
Fiksi Remaja[#42 in Teen Fiction 29 Desember 2016] "Nama gue Alrick Achazia Radhifa." "Nama gue Adiva Ayska Rafandra." "Inisial nama kita sama jangan-jangan kita jo..." "Mblo." "Sorry, gue gak jomblo gue udah punya pacar." Singkat cerita setelah perkenalan itu...