Suara keras tak sengaja Adiva dengar dari dalam pintu yang tepat berada di hadapannya. Adiva ragu untuk membuka pintu itu, ia takut. Kakaknya memang sulit untuk menerima kenyataan, hanya pandai berpura-pura, seperti dirinya. Adiva juga akan memberi kabar duka pada Ayahnya. Pasalnya, seluruh keluarga besarnya sudah tau tentang berita ini namun tak ada yang mengabari Ayahnya.
Dengan berat hati Adiva menekan nomor Ayahnya. "Ha-halo, Yah?"
"Halo anak Ayah! Ada apa? Kangen ya sama Ayah? Gimana Ale dan Luna?"
"Mereka baik. Ada hal penting yang harus Adiva sampein ke Ayah, bisa kita ketemu? Kita bicara empat mata."
"Bisa, kebetulan jadwal kerja Ayah gak begitu padat. Mau ketemu dimana?"
"Di taman deket komplek rumah."
"Oke, sampai ketemu anak Ayah!"
"Sampai ketemu juga, Yah."
Adiva menarik nafasnya berat. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan Ayahnya setelah hari pernikahan Ayahnya, mereka juga tidak banyak bicara saat itu, hanya bertukar sapa saja. Yang Adiva harus lakukan saat ini adalah menguatkan dirinya.
Adiva melewati ruang kerja Mamanya, ada suara isak tangis yang bisa Adiva dengar dan suara Aunty-nya bicara dengan Mamanya. Lagi-lagi Adiva harus menarik nafasnya dengan berat. Ia memakai mobil milik Ale utuk pergi ke taman, tak banyak waktu yang ditempuh, hanya lima menit.
Taman sudah terlihat di matanya, ia hanya perlu menunggu Ayahnya sambil duduk di bangku taman. Kantor Ayahnya juga tak terlalu jauh dari sini, jadi Adiva tak perlu menunggu lama. Seorang pria berbadan tegap memakai jas kerjanya tersenyum sumringah menatap Adiva.
"Kamu mau bicara apa sama Ayah?" tanyanya seraya duduk di samping Adiva.
Adiva menarik naasnya kuat-kuat. "Mugkin ini bukan berita bagus dan ini pasti buat Ayah terkejut."
Ayahnya mengernyit. "Apa itu?"
"Lu-Luna meninggal." jawabnya. Adiva tidak tau apa yang ia dapat dari reaksi Ayahnya. Ayahnya hanya tertegun saat mendengar berita itu.
"Kenapa?" spontan kata-kata itu keluar dari mulut Ayahnya.
"Luna depresi, Yah." jawabnya pelan. "Adiva mau ngajak Ayah ke makam Luna." Ayahnya mengangguk.
Mereka beriringan menuju pemakaman Luna. Adiva sudah tidak peduli dengan perasaannya yang benar-benar hancur, tujuannya hanyalah memberi kabar Ayahnya. Makam Luna tetap sama, masih disertai kembang di atas gundukan tanah. Ayahnya membaca do'a di samping makam Luna, kalau Adiva berfikir keluarganya akan membaik ia salah. Sampai kapan pun keluarganya tak akan utuh kembali, tak akan ada kehangatan di rumahnya.
Setelah semua selesai tak banyak yang Ayahnya tanyakan, mereka kembali ke tujuan masing-masing. Ayah ke kantor dan Adiva ke rumahnya. Di rumahnya, Aunty Amel tengah duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam. Aunty Amel mengisyaratkan agar Adiva duduk di sampingnya.
"Kayaknya, Mama kamu butuh liburan. Aunty gak bisa biarin dia berlama-lama di rumah ini. Besok Mama kamu akan liburan ke London, Aunty yang akan urus kerjaan Mama kamu. Jadi, mulai besok Aunty sibuk dan mungkin Aunty akan pulang malam selama Mama kamu liburan, soal Ale sebentar lagi dia skripsi kamu harus bisa hibur dia, tolong. Dia hampir aja depresi, barang-barang di kamarnya pecah semua. Dan cuma kamu yang bisa tenangin dia.
"Disini cuma kamu yang bisa bantu Aunty." ujar Aunty Amel. Adiva bisa mengerti, ia tidak akan membiarkan keluarganya yang tersisa ini hancur. Ia tidak akan lari dari masalahnya. "Aunty juga gak bisa mastiin berapa lama Mama kamu liburan, setahun mungkin?"
Adiva menuju kamar Ale dan membuka pintu kamarnya, suara pecahan barang sudah tidak terdengar seperti sebelum Adiva menemui Ayahnya. Laki-laki itu sedang duduk di lantai menyandar pada ranjangnya, memijit pelipisnya, gertakan giginya yang saling beradu bisa Adiva tebak kalau dia marah.
"Kak," ucapnya pelan. "Adiva tau ini berat. Adiva ngerasain apa yang Kakak rasain, jadi pengganti Ayah emang gak mudah buat Kakak. Adiva ngerti. Tapi Kakak harus bisa ngendaliin diri Kakak sendiri. Kalau Kakak terus kayak gini, siapa yang jagain Adiva? Sekarang Adiva cuma punya Mama, Aunty dan Kakak. Adiva takut kehilangan Kak Ale, Adiva gak mau keluarga kecil yang Adiva punya bener-bener hancur.
"Kita harus bangkit, gak selamanya kita harus terpuruk, kita harus mulai hidup baru. Hidup yang lebih baik, yang lebih bahagia. Luna dan Kak Arin udah bahagia, kenapa kita enggak? Kalau ini berat buat Kakak, kita bisa jalanin bareng. Kalau kita kuat, kita gak akan jatuh. Kakak inget apa yang selalu Mama omongin? Tuhan gak akan kasih hambanya ujian yang gak bisa kita lampaui."
Sebuah senyum tercetak di bibir Ale, betapa beruntungnya ia mempunyai Adik seperti Adiva dan Adiva yang melihat senyuman itu ikut tersenyum. Ia memeluk Kakaknya.
"Makasih." hanya kata itu yang terucap dari mulut Ale. "I'm very lucky. Gue bakal jagain Adek gue satu-satunya, I promise."
Ucapan itu membuat senyum Adiva semaki lebar.
"Ingat, kita bukan orang yang lemah."
Tuhan, jagalah Kakak dan keluarganya.
•••••
[A/A] Hai cimit-cimitku! Lama ya gue gak update, gue lagi sibuk dan banyak tugas ini-itu belum lagi agak nge-stuck gitu. Doain aja otak gue lancar, se lancar cinta gue ke doi.
Oke VOMMENTS ya kalian! I lava u
KAMU SEDANG MEMBACA
A.A.R [Completed]
Fiksi Remaja[#42 in Teen Fiction 29 Desember 2016] "Nama gue Alrick Achazia Radhifa." "Nama gue Adiva Ayska Rafandra." "Inisial nama kita sama jangan-jangan kita jo..." "Mblo." "Sorry, gue gak jomblo gue udah punya pacar." Singkat cerita setelah perkenalan itu...