"Div! Adiva! Diva!" suara panggilan itu membuat Adiva terbangun, ia melihat sekeliling tapi tak ada siapapun, Maura dan Nata masih tertidur dengan nyenyak. Suara itu kembali terdengar. "Adiva! Bangun woy."
Tak ada seorang pun, mungkinkah itu suara hantu? Tapi tidak mungkin. Menurut author ini cerita TeenFict bukan Horror. "Lo siapa?"
"Buka pintu balkonnya woy! Dingin tau!" ucap suara itu lagi. Adiva mendekat ke arah pintu, seorang cowok dengan jaket abu-abu.
Adiva melotot menatap cowok itu. "Alrick? Lo ngapain disini? Lewat pintu depan bisa kali, kamar kita kan sebelahan."
"Gue loncat dari balkon." ucapnya sambil menyengir.
Adiva mendengus geli. "Ngapain sih kurang kerjaan."
"Mau ngajak lo jalan-jalan. Yuk."
"Kemana? Belum pada bangun, gue belum ganti baju." Adiva melihat dirinya yang masih memakai kaos oblong dan celana pendek seperti kemarin.
"Biarin, gue jni ngajak lo bukan mereka. Pake jaket lo buruan." Adiva segera meraih jaket putih yang berada di atas kopernya dan keluar dari kamar. Sekarang ia sudah berada di dalam mobil bersama Alrick.
"Mau kemana sih?" tanya Adiva penasaran. Tentu saja ia penasaran, sekarang waktu masih menunjukkan pukul 5:25 pagi dan Alrick mengajaknya pergi.
Alrick tersenyum misterius. "Liat aja, yang jelas lo bakal suka."
"Lo jangan senyum kayak gitu lagi." ucap Adiva pelan tapi masih dapat Alrick dengar. "Lo keliatan kayak pedopil."
Alrick tertawa lepas mendengar ucapan Adiva, memangnya wajah tampan yang dimilikinya terlihat seperti seorang pedopil? Baginya tidak, bahkan Sesilia selalu berkata bahwa Alrick sangat tampan.
"Udah sampe nih." ucap Alrick. Sebuah pantai sudah terlihat.
"Kita mau ngapain?" tanya Adiva bingung.
Alrick hanya menyunggingkan senyum yang misterius dan keluar dari mobil. Adiva hanya diam mengikuti Alrick. Alrick duduk di atas hamparan pasir yang dingin di tambah dengan udara laut yang menusuk kulitnya.
Tiga tahun yang lalu, saat semua keluarga Adiva utuh ia ingin sekali liburan besama keluarganya ke pantai. Kak Arin, Luna dan Ayahnya, ketiga orang itulah yang Adiva ingin miliki kembali di kehidupannya tapi sayangnya semua itu tidak mungkin.
Tanpa ia sadari air matanya sudah jatuh dengan sempurna di pipinya, tentu hal itu membuat Alrick bingung pada Adiva.
"Lo kenapa?" tanya Alrick cemas begitu melihat Adiva menangis.
Dengan cepat Adiva menggeleng dan menghapus air matanya yang terus berjatuhan. "Gapapa."
"Bohong, gue tau lo sedih. Cerita sama gue ada apa."
"Gu-gue ka-ngen Kak Arin, Luna sama A-yah. Ta-pi 'kan gak mung-kin gue bisa bareng mereka lagi." Adiva mencoba menghentikan tangisnya.
"Kak Arin?"
"Kak Arin itu Kakak pertama gue, dia udah meninggal karna kecelakaan. Jadi, waktu itu dia dapet tugas di kampus agak malem gitu, terus dari kampus dia makan bareng temen-temennya dan dia gak bawa mobil, dia pulang sekitar jam 11 atau setengah dua belas, awalnya dia di ajak pulang bareng temennya tapi Kak Arin nolak, katanya dia di jemput sama Kak Ale.
"Karna jarak dari rumah ke restoran jauh jadi lumayan lama. Lak Arin SMS Kak Ale katanya dia nunggu di deket supermaket yang gak jauh dari restoran itu, tapi pas Kak Arin lagi nyebrang ada mobil yang jalannya kenceng dan nabrak Kak Arin, si pengendara itu mabok. Tapi pas ketangkep siapa pelakunya Ayah dan Mama ngebebasin dia gitu aja, cuma karena alasan si pelaku masih di bawah umur dan kasihan orang tuanya.
"Apa mereka gak kasihan sama diri mereka masing-masing? Mereka baru aja kehilangan anak mereka dan mereka ngebebasin pelaku itu? Gue ngerasa orang tua gue gak punya hati. Harusnya penjahat itu udah berada di penjara anak-anak. Dan beberapa hari setelah itu Mama dan Ayah jadi sering berantem dan akhirnya mereka cerai, Ayah nikah lagi dan Luna gak terima, Luna depresi dan Luna bunuh diri, Kak Ale juga hampir depresi, Mama mungkin udah depresi ringan dan dia harus diliburkan ke London dan Aunty Amel ngurusin pekerjaan Mama sampe harus tinggal di apartment deket kantor Mama dan kebetulan deket kampus Kak Ale.
"And then, gue tinggal sendiri di rumah, keluarga gue hilang satu-persatu dengan alasan yang berbeda-beda. Gue sangat mengasihani hidup gue ini, kadang gue juga membencinya. Kenapa tuhan menciptakan gue cuma untuk di sakitin?"
Adiva menarik nafasnya yang berat. Alrick di sampingnya hanya tersenyum pahit. "Gue turut sedih atas cerita lo. Tapi, perlu lo tau, Tuhan memberikan sebuah cobaan pada hamba-nya supaya hamba-nya bisa bertahan dan membuktikan bahwa mereka kuat. Semakin banyak cobaan, semakin kuat-lah kita. Jadi, lo gak boleh benci sama diri lo, seharusnya lo bangga karena lo kuat. Adiva yang gue kenal bukan Adiva yang cengeng, tapi Adiva yang selalu tersenyum kapanpun dan dimanapun.
Sebuah senyum sedikit merekah di wajah Adiva.
"Lagian ya Va, gue ngajak lo kesini bukan buat bikin lo baper, gue disini mau ngajak lo liat itu." Alrick menunjuk matahari yang baru saja terbit. Bahkan, Adiva tak sadar di hadapannya ada sebuah matahari yang terbit, ia terlalu sibuk mengurusi rasa sakitnya.
"Sunrise?"
"Cinta gue untuk lo itu kayak sunrise. Akan selalu terbit setiap hari, meskipun akan tenggelam tetapi akan terbit kembali."
Dan mungkin Adiva sedikit merasakan suatu gejolak yang aneh di jantungnya.
•••••
[A/N] happy valentine ya untuk yang merayakan. Gue sih enggak, lah gue jomblo mau ngerayain sama siapa?

KAMU SEDANG MEMBACA
A.A.R [Completed]
Fiksi Remaja[#42 in Teen Fiction 29 Desember 2016] "Nama gue Alrick Achazia Radhifa." "Nama gue Adiva Ayska Rafandra." "Inisial nama kita sama jangan-jangan kita jo..." "Mblo." "Sorry, gue gak jomblo gue udah punya pacar." Singkat cerita setelah perkenalan itu...