Alrick duduk di ruang makan bersama Tania, Mama dan Papanya. Nafsu makannya tidak terlalu baik setelah perdebatannya dengan Adiva tempo hari. Sesilia yang sedari tadi bingung menatap Alrick akhirnya bertanya.
"Kamu lagi ada masalah?" pertanyaan itu tidak digubris oleh Alrick. Laki-laki berumur 16 tahun itu justru melamun.
Tania menyenggol lengan Alrick. "Rik,"
Alrick tersadar dari lamunannya dan menghadap Tania. "Apaan sih?"
"Di tanya Mama." Alrick menoleh pada sang Mama. Sesilia menatap Alrick dengan tatapan bertanya.
"Aku gapapa. Aku ke atas dulu ya." Alrick bangkit duduknya dan menuju ke dalam kamarnya. Mamanya hanya menggeleng.
Alrick hanya memikirkan bagaimana keadaan Adiva sekarang, biasanya kalau Adiva memiliki masalah Alrick lah yang selalu beranda di sampingnya. Tapi sekarang, Alrick adalah masalah Adiva.
Alrick mendesah pelan, terlalu banyak yang ia pikirkan hingga dirinya tidak bisa berfikir jernih. "Argh...."
Alrick beralih mengambil gitarnya yang berada di samping meja belajarnya, jemarinya mulai menari di atas senar-senar gitar dan melantunkan sebuah nada.
I watch your troubled eyes as you rest,
And I fall in love with every breath.
Wonder if those eyes are really shut,
And am I the one you're dreaming of?Musiklah yang bisa melampiaskan rasa yang membendung di hatinya. Kadang, hanya musik yang mengerti perasaannya dan musik yang bisa mengontrol emosinya.
Cause underneath the darkness
There's a light that's trying so hard to be seen.
And I know this cause I notice
A little bit shining through the seams.And if this is what it takes,
Then let me be the one to bear the pain.
Oh if this is what it takes
I'll break down these walls that are in our way,
If this is what it takesGitarnya ia letakkan di sampingnya, Alrick tiduran di atas ranjangnya. Perasaannya sedikit lebih lega dari sebelumnya.
Tak lama setelah Alrick berdiam diri di kamar tanpa alasan, Sesilia masuk ke dalam kamarnya.
"Rick, bantu beresin barang-barang Papa di gudang ya, sekalian cari barang kamu yang sempet ilang, kayaknya waktu pindahan ada beberapa yang Mama pindahin ke gudang."
Alrick mengangguk dan menuruti perintah Mamanya. Ia berjalan menuju gudang rumahnya yang berada di sudut depan kanan rumahnya. Disana sudah ada Papanya dengan kardus-kardus besar berwarna coklat di sekitarnya.
"Kamu beresin kotak-kotak di sebelah sana ya." Papanya—Fandy menunjuk tumpukan kotak-kotak yang menumpuk di pojok ruangan. "Kamu bongkarin dulu, nanti di pisahin yang masih di pakai dan yang enggak."
"Yang enggak di pakai nanti di kemanain?" tanya Alrick saat membuka sebuah kotak yang ternyata miliknya.
Fandy menoleh. "Di kardus aja, semuanya kamu keluarin dulu nanti yang enggak di pakai kamu masukin lagi."
Alrick melakukan apa yang di perintahkan Fandy, empat kotak miliknya sudah ia bongkar dan ia pisahkan yang masih di gunakan atau tidak seperti yang di perintahkan Fandy. Tak banyak yang masih di pakai, hanya ada earphone beruangnya yang hilang, Play Station, dan sebuah rubik dengan warna yang tidak teratur.
"Udah nih, Pa." Alrick menunjukkan kardus-kardus coklat yang sdah kembali rapi.
"Kamu pindahin di garasi dulu aja, sekalian ya sama kardus Papa yang ini." jawab Fandy seraya menunjukkan dua buah kardus yang tersusun. Alrick melakukan perkataan Papanya dan memindahkan kotak-kotak itu ke garasi. Setelah ia meletakkan barang-barang miliknya yang masih terpakai di dalam kamarnya, Alrick kembali menuju gudang untuk meletakkan barang-barang milik Papanya di garasi.
Setelah selesai, Alrick bersantai di ruang tv dan menonton sebuah film keluarga. Sesilia duduk di sampingnya. "Tadi Rasya telfon Mama, katanya ponsel kamu beberapa hari ini enggak bisa di hubungin. Kamu telfon balik gih,"
Ngapain Rasya nelfon? pikirnya. Bukannya dia yang maksa gue putus?
"Enggak ah, Alrick kan udah putus sama Rasya."
Sesilia tampak terkejut mendengar jawaban Alrick. "Kapan putusnya?"
"Udah lama banget, Ma." Sesilia hanya mengangguk-angguk mendengarnya. "Lagian ngapain juga berhubungan sama mantan."
"Ih gak boleh gitu ah, biarpun udah mantan, jangan musuhan. Lagian Rasya baik kok sama kamu. Udah sana telfon."
Alrick mendengus kesal. "Nanti aja, Alrick mau nonton."
"Jangan gitu ah."
"Mama,"
"Alrick."
"Iya, Alrick telfon Rasya."
Alrick bangkit dari kamarnya dan mengambil ponselnya di dalam kamar. Ada lima panggilan tidak terjawab dalam ponselnya. Sepenting itu sampai nelfon kayak gini?
Tiga kali nada sambung yang terdengar dan akhirnya suara di sebrang sana menyahut. "Halo?"
"Halo."
"Ada apa Rick?"
"Harusnya gue yang nanya gitu, udah deh to the point aja, ngapain lo nelfon gue?"
"Jutek banget sih. Gue cuma mau nanya besok lo ada acara gak?"
Perasaan Alrick mulai gelisah, apa yang akan Rasya lakukan?
"Enggak, emang kenapa?"
"Gue di Jakarta." Skakmat! "Besok gue pengen ketemu lo, di Cafe Fellas yang di deket sekolah lo, jam 10 pagi."
"Lo ngapain ke Jakarta?"
"Pengen ketemu lo."
"Oh. Udah ya gue banyak tugas."
Alrick langsung mematikan ponselnya secara sepihak, bisa Alrick bayangkan bahwa Rasya akan cemberut dengan sikapnya. Alrick masih paham betul kalau Rasya tidak suka di perlakukan dengan cuek. Terlebih lagi, sejak dulu Alrick tak pernah melakukan hal seperti yang ia lakukan beberapa detik lalu, ia selalu peduli dengan Rasya.
Okay, jangan pikirkan Rasya. Dia sudah bukan siapa-siapa bagi Alrick. Hatinya sudah terlanjur patah dan jatuh pada Adiva.
•••••
[A/N] lama ya ga update wkwkw, jadi hari ini gue lagi baik karna temen gue ultah, jadi gue ngepost part ini (?) gue tau itu gak nyambung. Gue udah nulis sampe part 30 dan part 29nya salah, salah alur. Jadi gue ulang, sekian. Mungkin kalo ngomong gue-lo lebih enak ya daripada aku-kamu. Makasih. Btw, happy birthday ARA!
KAMU SEDANG MEMBACA
A.A.R [Completed]
Fiksi Remaja[#42 in Teen Fiction 29 Desember 2016] "Nama gue Alrick Achazia Radhifa." "Nama gue Adiva Ayska Rafandra." "Inisial nama kita sama jangan-jangan kita jo..." "Mblo." "Sorry, gue gak jomblo gue udah punya pacar." Singkat cerita setelah perkenalan itu...