[A/N] POKOKNYA HARUS BACA PART INI SAMBIL DENGERIN LAGU ADELE - ALL I ASK GAK MAU TAU HARUS SAMBIL DENGERIN LAGU ITU. TITIK.
P. s. Kalo punya lagunya dengerin dari musik aja yaa :)
•••••
"Ayah?" Adiva menatapnya bingung.
"Kamu ngapain disini?" tanya Ayahnya—Fandy.
"Adiva lagi dinner sama Kak Ale dan Aunty Amel."
Fandy hanya mengangguk. "Hari ini kamu cantik. Umur kamu sudah 18 tahun, Anak Ayah sudah besar rupanya."
Adiva hanya tersenyum. Ia merindukan hangatnya kasih sayang pria itu, pria yang mendidik dan menyayanginya sejak kecil.
"Papa, sekalian pesenin aku cumi goreng tepung sama latté ya." seorang laki-laki sepantarnya menghampiri Fandy.
"Papa?" Adiva terbelalak saat menyadari siapa laki-laki itu.
Laki-laki yang dicintainya, disayangnya dan dirindukannya. Namanya yang membuat jantung Adiva berdebar kala mendengar nama itu, darahnya yang berdesir cepat saat menatap matanya, yang membuatnya salah tingkah dan tersenyum setiap malam. Laki-laki yang merubah hari kelamnya menjadi hari yang penuh warna, yang membawanya bahagia tanpa mengenal penderitaan.
Meski kadang lelaki itu bisa menjadi sebuah duri yang menancap pada kulitnya namun juga bagai tameng di setiap langkahnya, menguatkannya untuk tetap berjalan tanpa terjatuh, meski ia akan jatuh dan terluka, tetapi laki-laki itu akan senang hati berubah menjadi penawar segalanya, segala kesakitan yang membuatnya rapuh tentang kejamnya dunia.
Akhirnya Adiva mengerti kenapa empat bulan kebelakang laki-laki itu menjauhinya.
Alrick adalah saudara tirinya.
Empat kata yang berhasil mencabik-cabik hatinya.
"Gue bisa jelasin Div." ucapnya kalap.
Adiva berusaha keras untuk tidak menangis, tetapi gadis mana yang tidak akan menangis kalau tau laki-laki yang dicintainya menyimpan seribu jawaban yang ia butuhkan. Dan semua jawaban itu mengecewakan dan sungguh menyakitkan.
"Gue gak butuh penjelasan lo." Adiva menghapus air matanya dengan kasar, berjalan keluar restoran hingga membuat Fandy bingung dengan kedua anaknya.
Hujan.
Gadis itu tetap berlari menyusuri trotoar jalan dengan perasaan dan hatinya yang hancur lebur, berlari untuk melampiaskan semua kekesalan pada hidupnya dan dunia. Dunia yang tak pernah adil untuknya. Air mata yang tak kuat lagi membendung pada kelopak matanya kini jatuh menyatu dengan derasnya air hujan yang membasahi wajahnya. Melunturkan dandanan cantiknya. Adiva menangis tanpa ada yang mengerti perasaannya. Semua orang yang hanya mengetahui wajah cerianya tanpa tau kesulitannya berpura-pura.
Siapa yang pernah menyangka bahwa seseorang yang ia percaya, sayang dan cinta adalah penghancur kehidupannya, seseorang yang ia benci tanpa tau wujudnya.
"Div! Ini gak seperti yang lo liat." Alrick masih mengikutinya. Apa yang perlu ia kejar? Mengejar kesalahan?
"Apa yang gak gue liat? Gue liat semuanya, gue denger, Rick. Lo manggil Ayah gue dengan sebutan Papa. Dan lo bilang gak seperti apa yang gue liat? Bullshit tau gak?! Gue gak butuh lo, gue gak perlu lo kejar." tangisnya semakin menjadi, hatinya benar-benar hancur.
Semua yang Adiva pikir hari ini adalah hari terbaik hancur begitu saja. Ini adalah hari terburuk di kehidupannya, hari ulang tahun terburuk sepanjang hidupnya.
Adiva bersandar pada tembok yang berada di atas trotoar jalan, melepas sepasang flat shoes-nya dan melempar ke sembarang arah. "Sakit. Lo gak ngerti, lo ngejauhin gue gitu aja lalu tiba-tiba datang tapi dengan kejutan yang luar biasa. Amazing. Lo emang penuh kejutan."
"Lo pikir gue mau kayak gini? Enggak Adiva. Gue ngejauhin lo, karna gue gak mau semakin deket gue sama lo, semakin gue nyakitin lo. Gue gak akan nyakitin orang yang gue sayang. Terutama lo." Alrick menekankan dua kata terakhir dalam kalimatnya.
Adiva terpaku pada kata-kata itu. Sepuluh kata terakhir pada ucapan Alrick membisukan mulutnya. Tubuhnya merosot hingga terduduk dan bersandar pada tembok.
"Gue capek. Cuma lo yang bisa bikin gue bangkit. Cuma lo yang ada untuk nuntun gue pergi dari kegelapan. Tapi sekarang, lo termasuk orang yang gue benci, orang yang gue kecewain. Gue marah sama diri gue, gue benci, kenapa gue harus lahir di dunia? Kenapa harus ada gue? Untuk apa? Hanya untuk menikmati kejamnya kehidupan?" ucapannya begitu lirih terdengar sangat sangat putus asa. Sebelumnya, Adiva tak pernah berucap seperti itu, hanya menyimpannya di dalam hati. Tapi kali ini, sakitnya ia lampiaskan.
"Gue benci hidup gue."
Adiva menoleh pada Alrick. Laki-laki itu menunduk dan menangis, menjambak rambutnya dan melampiaskan kekesalannya. Suara erangan kekesalan ia lampiaskan, sama seperti Adiva. Putus asa.
"Harusnya lo bersyukur, Nyokap lo masih ada, Adik lo baik-baik aja. Tapi enggak dengan gue. Gue anak broken home, Kakak pertama gue meninggal, Adik gue bunuh diri, Nyokap gue kabur ke luar negeri, Kakak kedua gue hampir depresi, Aunty gue sibuk ngurusin kerjaan Nyokap gue yang berantakan. Siapa yang ada di sisi gue? Gue capek harus pura-pura seakan gak ada apa-apa. Gue bukan robot yang enggak punya hati, yang gak bisa ngerasain sedih atau senang. Gue manusia biasa. Gue punya hati, gue bisa ngerasain perasaan seperti manusia, gue gak bisa bersandiwara terus menerus. Sekarang, cuma penyesalan dan rasa sakit yang tersisa di hidup gue."
Alrick bangkit dan duduk di sampingnya, Alrick memeluknya.
"Nangis sepuas lo, keluarin semua uneg-uneg lo. Jangan biarin semua rasa itu menetap di hati lo. Jangan sisakan sisa rasa itu, karna gue gak akan membiarkan semua itu menghancurkan lo."
Adiva menangis menuruti kata laki-laki itu. "Gue benci sama Nyokap lo, gue benci sama Adik lo tapi gue cinta sama lo."
Hujan tak kunjung berhenti, tetap deras pada jalan yang sepi hingga membuat tangisnya tak kunjung selesai, masih asik dengan air mata yang menetes tak kalah derasnya dengan air hujan. Bercampur menjadi satu.
"Gue benci hidup gue. Semuanya udah hancur, gak ada yang bisa gue pertahanin lagi. Semua gak akan berubah tanpa atau adanya gue disini. Untuk apa gue bertahan? Gak ada yang peduli, semua sibuk dengan diri masing-masing. Mengabaikan seseorang yang harusnya di pedulikan. Kenapa Tuhan gak ngebiarin gue bahagia? Kenapa hidup gue harus banyak teka-teki, gue mau jadi remaja normal seperti mereka. Bukan menjadi seseorang yang selalu memiliki kesakitan di setiap tatapannya.
"Lagi-lagi, gue jatuh cinta dengan orang yang salah. Seperti air yang mengikuti aliran sungai yang tenang, namun lama kelamaan aliran itu menuju sebuah air terjun, jatuh terhempas kedasar dan berombang-ambing setelah terjatuh. Membiarkan perasaan gue terhanyut ke dalam kebahagiaan yang semu.
"Kalau ini malam terakhir gue sama lo, biarin gue meluk lo." Adiva memeluk Alrick erat, seakan tidak ingin kehilangannya, kehilangan satu orang kesayangannya lagi. Ia belum siap untuk menjalani hari barunya, hari yang tak pernah di bayangkan olehnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A.A.R [Completed]
Fiksi Remaja[#42 in Teen Fiction 29 Desember 2016] "Nama gue Alrick Achazia Radhifa." "Nama gue Adiva Ayska Rafandra." "Inisial nama kita sama jangan-jangan kita jo..." "Mblo." "Sorry, gue gak jomblo gue udah punya pacar." Singkat cerita setelah perkenalan itu...