Liburan sekaligus tugas penelitian Karin di Indonesia mendadak kacau balau karena urusan hati. Sepertinya ia akan di sini lebih lama dari jadwal yang sudah dibuatnya. Setidaknya sampai masalahnya selesai. Karin sadar betul kepergiannya meninggalkan banyak masalah, namun kedatangannya ternyata malah membuat masalah semakin berbelit. Alih-alih ingin memperbaiki hubungannya, ia justru merusak hubungan orang lain dengan kecerobohannya.
Raka memang tidak marah padanya, tapi dari sorot matanya, Karin bisa tahu ada kekecewaan yang besar terpendam di sana. Andai saja hari itu dia tidak mabuk, kejadian seperti itu nggak akan terjadi. Karin terus merutuki kebodohan datang ke club malam itu.
"Rak, malam ini aku mau ke Millennium." Karin meraih stiletto hitam yang baru ia beli di Forever 21 dua hari lalu. "Mau ikut ga?" tanyanya seraya memasangkan stiletto pada kaki mungilnya. Sepatu itu sangat pas bersanding dengan mini dress hitam yang dikenakannya.
"Keluar malam mulu," sahut Raka yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Karin berdiri, lalu membalikkan badannya menghadap Raka. Kini posisinya sejajar dengan Raka berkat heels 10 cm yang ada pada stiletto-nya.
"Hahaha... aku udah terbiasa kayak begini di Aussie. Kalau aku liat-liat, kamu sekarang jadi jarang keluar malem ya. Dulu 'kan setiap hari kerjaan kamu party doang." Karin terkekeh, namun Raka malah menatapnya tajam.
"Dua tahun dapat mengubah segalanya, Rin."
Perkataan itu sedikit-banyak berhasil menohok perasaan Karin. Semuanya emang udah berubah, pikirnya. Karin menggigit bibir bawah mencoba menahan emosi serta air mata yang sudah hampir merebak jatuh ke pelupuk.
"Jadi mau ikut nggak?" tanyanya seraya membalikkan badan. Membelakangi Raka guna menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca.
Raka menggeleng. "Nggak deh. Mau di rumah aja." Setelahnya Karin langsung berhambur pergi.
"Ya udah. Aku pergi dulu. Bye!"
Sampai di dalam lift, akhirnya segala yang sejak tadi tertahan dapat segera ia keluarkan. Air mata itu akhirnya berlinang, menetes lalu menghilang di ujung pipinya.
Karin kesal. Perasaan memang selalu memegang kendali atas dirinya sendiri. Seperti dulu, walau sudah punya yang sempurna seperti Aldi, namun jika hati sudah berkata lain, ia hanya bisa pasrah mengikuti kehendak hatinya. Dan sekarang, rasa cintanya pada Raka seakan tertarik lagi ketika ia coba menepisnya.
Dua tahun dapat mengubah segalanya, Rin.
Tapi sayangnya perasaan aku nggak pernah berubah, Rak, batinnya.
***
"Tambah lagi!"
"Ini udah gelas yang ke lima loh." Bartender di hadapannya tersenyum, memperingati dengan nada yang dibuat agar terdengar sopan.
"Gue nggak mau tau! Kasih gue minuman lagi!" protes Karin pada cowok di depannya itu.
"Tapi lo udah terlalu mabuk, Sis."
Karin melotot. Cowok itu mengangkat bahunya.
"Oke" Ia mengambil botol, lalu menuangkannya untuk Karin.
Karin tersenyum girang, kemudian menenggak Chivas yang ada di genggamannya. Rasa panas langsung menjalar pada kerongkongannya, lalu terasa menyebar ke area perutnya. Setelah minuman itu habis, kepalanya langsung terasa pening. Badan Karin sekarang terasa lebih ringan. Masalahnya seakan terangkat, seluruh pikiran yang ada di kepalanya berangsur hilang. Namun, Karin mendadak hilang kendali atas dirinya sendiri. Kini kepalanya sudah tergeletak di meja bar dengan tangan kirinya yang menjadi bantalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours
RomanceLetta sangat membenci Aldi, cowok mesum, manipulative, dan sok keren di sekolah, yang jelas bukan tipikal cowok impian Letta. Tapi berbeda dengan Aldi, Letta adalah impiannya. Perjodohan paksanya dengan Letta menjadi rumit ketika Letta mulai berpac...