Dua Puluh Delapan

376K 18.3K 1.7K
                                    

"Kalau aja ada cara lain buat ngobrol sama lo selain dengan gangguin lo, pasti udah gue lakuin, Let."

*

Siang ini langit cukup cerah, membuat Letta dapat melihat keindahan Pulau Sumba dari balik jendela pesawat. Setelah satu setengah jam transit dari bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, akhirnya mereka berenam tiba di Bandara Tambolaka, Nusa Tenggara Timur.

Lucu adalah kesan pertama saat Letta melihat bangunan bandara itu. Atapnya tidak biasa, menjulang tumpul layaknya atap rumah adat kebanyakan.

Semoga gue nggak diajak ke daerah pedalaman deh ya, batinnya. Letta jadi takut liburannya kali ini akan menyusahkan, tidak ada sinyal, makanan yang aneh, banyak nyamuk, dan masih banyak lagi hal-hal menakutkan di benaknya. Letta punya trauma dengan daerah yang terpencil, mungkin ini terdengar berlebihan tapi begitulah kenyataannya. Hal itu dirasakannya dulu saat mengikuti bakti sosial dari sekolahnya. Terbiasa hidup enak lalu tiba-tiba harus hidup dengan keterbatasan selama dua minggu membuatnya sangat tertekan.

"Muka lo tegang amat, Bu," ujar Kezia begitu mereka turun dari pesawat.

"Ah, masa sih?" Kezia mengangguk.

"Eh, cewek-cewek! Jangan pada diem di situ. Ambil koper gih!" teriak Radit yang sudah jauh di depan mereka. Keduanya mengangguk, lalu berlari kecil mengimbangi langkah lebar keempat cowok itu.

Mobil jemputan dari resort sudah tiba saat mereka keluar dari bandara. Letta lagi-lagi terpaksa harus duduk bersebelahan dengan Aldi di dalam minibus karena Vino terlalu memonopoli Kezia darinya. Setiap waktu Kezia selalu harus berada di sebelah cowok itu. Persis kayak emak-emak takut kehilangan anaknya di pasar, gerutunya dalam hati.

Perjalananya cukup panjang, mereka harus menempuh waktu tiga jam untuk bisa sampai ke tempat tujuan mereka yang sampai sekarang pun tidak diketahuinya. Letta melirik ke luar, matanya langsung berbinar begitu melihat deretan pepohonan, rangkaian pegunungan, dan bukit-bukit kapur yang curam di luar sana.

Mood-nya naik seketika.

"Tutup tuh mulutnya. Awas laler masuk!" celetuk Aldi.

"Ganggu aja sih kerjaan lo!" desis Letta.

"Kalau aja ada cara lain buat ngobrol sama lo selain dengan gangguin lo, pasti udah gue lakuin, Let."

Letta sempat tertegun sedetik, namun setelah itu langsung mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela. Tak mau Aldi melihat semu yang memulas pipinya.

Dead air. Mereka terdiam. Hanya terdengar suara Andre sepanjang perjalanan.

"Kiri... Kanan... Ku lihat saja... Banyak pohon... Eh?" Andre terlihat berpikir. "Dit, itu pohon apaan namanya?" Andre menunjuk salah satu pohon di luar sana.

"Harus banget ya nama pohonnya diganti juga?" gerutu Radit.

"Gue nggak mau nyanyian gue penuh dengan dusta, Dit."

"SARAP LO, AH!"

"Dari dulu gue nggak pernah ngerti jalan pikiran lo, Ndre," kata Aldi. Andre memutar badannya ke belakang. Menatap Aldi dengan tangan menopang dagunya.

"Ah masa sih? Kamu nggak ngerti jalan pikiran aku, tapi kamu selalu ada di pikiran aku. Gimana cara ke sananya?"

Aldi bergidik ngeri. "Jijik! Gombal lo salah tempat, bego!" katanya.

"Ya udah gombalin yang di sebelah lo aja gimana?" kata Andre seraya menaik-turunkan alisnya ke arah Letta. Aldi lantas mendelik, menatapnya tajam. Namun tiba-tiba air wajahnya berubah, Aldi tersenyum miring.

"Kalo yang ini mah susah, Ndre. Galak banget. Singa aja takut sama dia."

Letta melotot, menyikut pinggang Aldi hingga membuat cowok itu meringis tertahan.

"Tuh 'kan, Ndre. Gue bilang juga apa. Galak," katanya sebelum dihadiahi sikutan kedua oleh Letta.

"Widihh! Gue suka gaya lo. High five dulu, Let!" Andre melayangkan tangannya ke arah Letta dan langsung disambut baik oleh gadis itu.

"Kita sekutu ya sekarang, Let!" kata Andre. Letta mengangguk, lalu mengacungkan ibu jarinya.

"Gue ngerasa ada kesenjangan di sini," gerutu Aldi, lalu tawa seisi mobil pecah.

Sejak saat itu, gunung es di antara mereka perlahan mencair.

***

Setelah menempuh perjalanan tiga jam dari bandara, akhirnya mereka tiba di sebuah resort. Lebih layak disebut real estate karena semua bangunan yang ada di sana terlihat mewah walau kesan tradisional sangat kental di dalamnya.

Dengan ditemani seorang pekerja resort, mereka berjalan kaki sedikit untuk dapat sampai ke resort yang katanya sudah Radit sewakan untuk mereka selama satu minggu. Sepanjang jalan, Letta disuguhi oleh pemandangan yang tak biasa. Ia melewati banyak bungalo dan rumah pohon yang rata-rata mempunyai taman dan kolam renang yang luas di setiap bangunannya. Letta taksir harga di tempat ini bisa menghabiskan paling tidak lima sampai sepuluh juta untuk permalamnya.

"Sampai!" kata Radit begitu mereka memasuki pekarangan rumah pohon yang menghadap persis ke arah laut. Pantas saja sejak tadi Letta seperti mendengar suara debur ombak dari kejauhan.

"Ini apa nggak kegedean buat kita berenam, Dit?" tanya Andre menatap tiga rumah pohon di depannya. Dari bawah dapat terlihat jelas ada jembatan kayu yang menyambungkan ketiga rumah pohon itu. Menarik!

"Nggak kok. Gue udah perhitungkan semuanya. Letta sama Kezia di tree house yang tengah, gue sama Vino di tree house yang kanan, dan lo ama Yayang Aldi lo itu di tree house yang kiri ya," jelas Radit.

"Enak aja. Gue sama Kezia sekamarlah."

"Nggak boleh!" bentak Letta dengan tangannya membentuk silang di depan dada. Matanya melotot, membuat aura mencekam semakin kuat keluar dari dirinya.

Vino menelan ludah melihat ekspresi sadis yang tercetak di wajah Letta. "Buset! Serem juga ya, Di."

"Kan! Gue bilang juga apa, Vin. Udah galak, jutek, serem, bego lagi."

"ALDI!!!!!!!" Letta menarik telinga Aldi keras-keras hingga benda itu tampak kemarahan.

"Hadawww!!!"

"Lo bilang apa tadi? Fitnah aja bisanya! Fitnah tuh lebih kejam daripada nggak ngefitnah tau nggak!"

Radit, Andre, Vino, dan Kezia saling bertatapan begitu mendengar perkataan Letta.

"Eh, kayaknya si Letta emang beneran bego deh, Dit," bisik Andre.

Radit mengangguk setuju. "Iya, Ndre."

***

Letta berbaring. Matanya tertuju pada langit-langit. Atapnya terbuat dari semacam anyaman, tak ada plafon di sana. Hanya ada beberapa balok kayu yang menjadi fondasi dari bangunan itu. Baginya itu indah. Semua yang ada di kamarnya identik dengan kayu. Tak ada tembok. Dinding kamarnya terbuat dari kaca dan beberapa gorden berwarna putih melapisinya.

Tuk! Tuk!

Letta menoleh, mendapati Aldi berdiri di depan pintu kaca kamarnya. Mau ngapain tuh anak malem-malem gini? pikirnya.

"Mau ikut ke bawah? Kita pada mau barbeque-an," ucap Aldi begitu Letta membukakan pintu.

"Jam segini? Nggak kemaleman?"

"Alim banget. Biasanya juga lo pulang pagi."

Letta berdecak. "Ih! Bukan gitu. Tapi 'kan malam ini... Hmm... Dingin," kata Letta dengan suara pelan.

"Mau gue peluk?" tanya Aldi seraya menyunggingkan cengiran kudanya. Letta langsung mendelik.

Aldi tertawa sambil menurunkan resleting sweternya. "Bercanda," katanya sambil menyampirkan sweter itu di kedua bahu Letta. Gadis itu langsung tertunduk. Wajahnya mendadak memanas karena perlakuan Aldi itu.

"Yuk!"

Letta mengangguk, lalu mengekori Aldi menuruni tangga rumah pohon itu menuju kolam renang yang ada di bawahnya.

I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang