Empat Puluh Empat

320K 13.4K 1.4K
                                    

Letta tak menyangka hari ini akan datang. Ujian nasional yang selama ini ia takutkan. Letta duduk gelisah. Mejanya berada tepat di depan meja guru karena namanya berada di absen paling pertama.

"Nanti pulang sekolah anterin gue yuk!"

"Ke mana?"

Letta menghela napas. Tak tahu dan tak mau tahu akan dibawa ke mana dirinya nanti oleh Aldi. Ke mana pun itu, Letta yakin segalanya tak akan berjalan dengan normal. Bukan ide bagus menerima ajakan Aldi, tapi Letta tak punya alasan yang cukup kuat selain menghindar dari cowok itu. Ya, menghindar. Letta cepat-cepat mengisi bulatan terakhir pada lembar jawaban kertas miliknya sebelum akhirnya bangkit dan mengambil tasnya di depan kelas. Selesai sudah. Ia pikir begitu. Namun, dugaannya salah.

"Mau ke mana? Kok buru-buru banget?"

Langkah Letta terhenti saat menuruni tangga ketika disela oleh suara Aldi di belakangnya. Ia menoleh, gelagapan. "Iya. Hmm... mau... ke toilet. Iya! Gue mau ke toilet dulu ya."

"Ya udah, gue tunggu di bangku panjang yang ada bawah ya," kata Aldi dengan senyum lembut.

Letta mengangguk. Tanpa berkata sepatah kata pun, cewek itu berjalan melewatinya. Tergesa, seakan ada yang mengejar. Padahal di sana hanya ada Aldi yang terus menatap punggungnya hingga menghilang di persimpangan koridor lantai dua.

Tak butuh waktu lama, Aldi kini terduduk lesu di atas bangku kayu panjang, menghadap ke lapangan basket sekolahnya. Termenung.

Lagi dan untuk kesekian kalinya selama beberapa hari belakangan ini, Letta seakan menghindar, dan Aldi masih tak tahu di mana letak kesalahan yang diperbuatnya. Letta tak mungkin berubah tanpa alasan. Pasti ada. Tapi seberapa sering dirinya mengoreksi diri, Aldi tak menemukan kesalahan apa pun. Tak ada satu pun dari perbuatannya yang pantas membuat gadis itu terluka hingga bersikap seperti sekarang ini.

Aldi selalu berusaha lembut, berusaha ada setiap Letta membutuhkannya, ia juga tak pernah dekat dengan gadis lain. Semua dilakukannya agar Letta senang, lalu di mana letak kesalahan yang diperbuatnya? Aldi mengacak-acak rambutnya gusar. Akhir-akhir ini Letta jadi sangat sulit dimengerti.

Ia memejamkan mata sejenak. Tangannya naik memijat pelipis yang sedikit pening karena terlalu memikirkan masalah ini. Dalam gelap, bayangan wajah Letta tiba-tiba muncul. Aldi ingat, tadi pagi sebelum turun dari mobil, gadis itu mengatakan dia baik-baik saja dengan sorot mata sendu dan senyuman yang terkesan kaku. Terlihat tak wajar. Tak ada keserasian antara jawaban dengan ekspresi yang muncul di wajah gadis itu.

Aldi menghela napas kasar. Matanya terbuka perlahan.

"Hayo! Mikir mesum ya!"

Cowok itu tersentak kaget begitu menemukan wajah Andre yang hanya berjarak lima senti dari wajahnya. Refleks, Aldi mendorong keras tubuh cowok itu, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya—yang mungkin diinginkan Andre.

"Lo ngapain sih? Bego amat!" bentak Aldi, keterkejutan masih terasa dalam nada bicaranya.

"Ya elah! Gue cuma negor. Di mana salahnya sih?!" Cowok itu mencebik sok unyu, lalu mengambil posisi duduk di sebelahnya.

"Otak lo tuh yang salah."

Andre sama sekali tak menggubris ucapan kasarnya. Cowok itu malah tersenyum.

"Nggak ada yang salah di otak gue, Di. Nggak, nggak di sana, tapi di sini." Andre menunjuk dadanya. Senyum yang tadi disunggingkannya dengan cepat menghilang, tersapu wajah murung yang kini melekat di wajah imutnya. Aldi tahu betul, ini pertanda jika sesi curhat sebentar lagi akan dimulai.

"Kenapa sih cewek suka seenaknya. Datang dan pergi sesuka mereka. Kemarin ke gue, sekarang ke dia, nanti ke sana, besok ke sini." Andre menghela napas gusar. "Ini hati apa puteran

I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang