Enam

566K 21.1K 822
                                    

Letta merasakan tubuhnya terguncang-guncang. Ingin sekali  membuka mata, tapi rasa lelah di sekujur tubuhnya membuatnya  mengurungkan niat itu. Sampai tiba-tiba, ia rasakan sesuatu  menghantam kepalanya dengan keras.

Bbrruugggg...

"Aww!" matanya refleks terbuka, hal pertama yang ia lihat  adalah wajah Aldi. Letta mengumpulkan segenap kesadarannya,  lalu mendapati dirinya sedang melayang dalam gendongan cowok  itu. Aldi tertawa melihat wajah kesakitan Letta karena kepalanya  menghantam pintu mobil miliknya.

"Turunin gue! Turunin sekarang!" Letta meronta-ronta.  Untuk kali ini Aldi menurut saja, lalu melepaskan dekapannya  pada tubuh gadis itu.

Brruuugggg...

Letta langsung terempas ke bawah, jatuh dengan posisi  terduduk. Rasa nyeri langsung menjalar dengan cepat pada area  bokongnya. Letta meringis kesakitan.

"Bego! Kenapa pake acara jatuhin gue segala sih! Aduhh sakit,"  rengek Letta, mengusap bokongnya yang kini terasa cenat-cenut.

"Lo 'kan minta turunin tadi," ujar Aldi. Tidak ada rasa  bersalah sama sekali di wajahnya.

"Turuninnya pelan-pelan!" bentak Letta.

"Ya elah. Ya udah, bangun cepet! Pewe banget duduk di  bawah," ujar Aldi santai.

Letta mencoba berdiri, tapi tak berhasil. Kakinya sakit sekali.  Sepertinya keseleo akibat jatuh tadi.

"Sakit...." Letta kembali meringis sambil memegang kakinya. Tiba-tiba Aldi mengangkat tubuh Letta dan mendudukinya di  kursi samping kemudi. Aldi berlari mengitari mobilnya, lalu duduk  di sebelah gadis itu. Ia meraih kaki Letta dan meletakkannya di  atas pahanya. Letta terlonjak.

"Awww.. Lo mau ngapain sih?" ujarnya begitu Aldi menyentuh  pergelangan kakinya yang sakit.

"Udah, diem aja." Aldi memijat pelan pergelangan kaki Letta. "Sakit, Di. Pelan-pelan ih!" Letta terus meringis kesakitan. "Lo bisa jalan?" tanya Aldi, namun Letta hanya menggeleng. 

Aldi menarik napas panjang. Entah kenapa ia jadi sering berurusan  dengan gadis ini. Menyebalkan rasanya.

Letta merasa lebih baik. Entahlah, mengetahui ia saat ini  bersama Aldi memang jauh lebih baik dibanding mengingat  kejadian yang ia alami beberapa waktu yang lalu. Ia tak sanggup  membayangkannya, mengingatnya saja membuatnya bergidik ngeri.  Wait! Jadi tadi? Aldi yang nyelamatin gue? pikirnya.

Drrrttt... Drrttttt...

Handphone Aldi bergetar. Aldi meraihnya dari dalam saku  celana jeans-nya.

"Kenapa, Dit?" tanyanya.

"Lo di mana? Tega lo ninggalin gue sama Andre berduaan  kayak maho!" ujar Radit di seberang sana.

"Gue tiba-tiba ada urusan penting. Emang Vino ke mana?"

"Au. Udah di kasur kali sama Kezia," jawab Radit sekenanya.

"Ya udah. Lo ajak Andre aja ke kasur, hahahaha...."

"Sial!" Radit langsung memutuskan sambungan telepon  begitu saja.

Aldi melirik jam pada display handphone-nya, sudah pukul  dua pagi. Biasanya jam segini dia masih asyik clubbing, bukan  malah ngurusin Nenek Lampir yang kakinya pincang kayak begini.

"Ya udah, sekarang lo gue anter pulang aja deh. Di mana  rumah lo?" ujar Aldi.

"Tapi mobil gue—"

"Udah gampang. Nanti gue titip ke temen gue, dia yang  punya club ini," potong Aldi.

***

I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang