Empat Puluh Enam

208K 7.7K 572
                                    

"Gue nggak boleh egois dengan terus bahagia, tapi dia nggak. Gue nggak boleh ngancurin kebahagiaan dia hanya karena gue pingin bahagia sama dia."

*

Sudah tiga puluh menit Karin berada di Volks Cafe. Duduk gelisah bersama dengan mata yang terus menatap ke arah pintu masuk. Tak bisa diam, jemarinya terus mengetuk meja kayu, sedang sebelah tangannya menadah dagu. Bibirnya menghela napas kasar. Merasa usahanya nihil. Orang yang ditunggunya tak akan datang. Ya, nggak akan datang. Mustahil.

Gadis itu mengedarkan matanya, menikmati setiap detail dari ornamen kafe. Menawan. Karin menyukainya. Interior dengan konsep modern dan serba cokelat itulah yang awalnya menarik perhatiannya dari balik jendela besar yang membentang hampir dari setengah dinding bangunan itu. Pada dinding-dindingnya menggantung beberapa pajangan kayu yang senada dengan lantai kafe. Vintage dan terasa nyaman untuk berlama-lama menghabiskan waktu di tempat ini.

Ting!

Suara dentingan dari lonceng murahan yang tergantung di atas pintu masuk membuat Karin refleks mendongak. Matanya menangkap sosok cowok dengan kaus hitam berlapis sweter merah muncul dari balik pintu kayu itu. Karin tersenyum.

"Aldi!" panggilnya. Tangannya terlambai dengan senyum yang terus terpampang di wajahnya.

"To the point aja, ngapain lo nyuruh gue kemari!"

Karin berdecak. Songong! "Emang nggak bisa ya balas sapaan gue dulu?"

Aldi menghela napas. "Ya udah. Hai!" katanya dengan nada datar. Cowok itu melambaikan tangannya di udara. Karin tersenyum puas.

"Hmm... Lo mau minum apa?" tanya Karin. Tangan kanannya melayang, memanggil salah seorang waiter yang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk.

"Moccalatte," kata Aldi. Karin mengangguk, lalu menyebutkan pesanannya pada waiter di sebelahnya. Selang beberapa menit, waiter itu pun kembali dengan menenteng nampan berwarna cokelat berisi pesanan mereka.

Aldi menghirup uap yang menyembul dari kopinya sebelum kopi itu bertemu dengan lidah. Ia mengecap, merasakan dalam-dalam rasa yang timbul pada indra perasanya. Terasa manis dengan sedikit rasa pahit di dalamnya. Seperti wanita di hadapannya. Manis tapi menorehkan rasa pahit pada lembaran masa lalunya.

Aldi meletakkan cangkirnya, menimbulkan bunyi gemeletuk yang dihasilkan dari tertabraknya benda keramik itu dengan tadahnya. Mengalihkan pandangannya ke depan, menatap Karin yang tertunduk seraya menyeruput hot chocolate pada cangkir putih yang ada di genggamannya. Gadis itu lalu mendongak. Tatapan mereka tertubruk. Mata hitam Karin menatap Aldi dengan sorot lugu. Mata itu... masih sama sejak terakhir kali Aldi melihatnya. Bedanya dulu ada butiran air menghias di sana.

Aldi duduk di pinggiran ranjang membelakangi gadis yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. Seperti biasa gadis itu selalu masuk tanpa ketuk pintu terlebih dahulu. Dan untuk kali ini, hal itu amat menyebalkan untuknya.

"Di."

Aldi selalu menyukai cara gadis itu mengucap namanya. Tapi, Aldi tak pernah menyukai kata-kata yang selanjutnya...

"Aku udah mutusin buat nerima beasiswa akselerasi di Australia," ucapnya bergetar. Terdengar jelas ada keraguan di sana.

"Besok aku berangkat," ucapnya lagi.

Aldi tetap diam. Bergeming. Matanya terus menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Larut dengan berbagai macam pikiran yang kini berkecamuk di otaknya. Pikiran itu terus memprotes hatinya. Hatinya yang ingin sekali berbalik, menoleh, lalu mengucap kata jangan pergi. Tapi logika memang lebih kuat pada dasarnya.

I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang