Empat Puluh Tujuh

178K 7.1K 401
                                    

Sepertinya cowok itu tak berniat memberi jantung Letta waktu untuk beristirahat dari detakan yang terasa pilu karena bercampur rasa sesak. Jatuh cinta dan tersakiti secara bersamaan.

*

Letta berdiri mematung di depan cermin persegi panjang yang membingkai bayangan dirinya, menampilkan sosok wanita anggun bergaun tosca dengan rambut ikal yang sengaja dibiarkan tergerai. Namun sayang, wajah murungnya menjadikan sosok cantik itu terlihat menyedihkan.

Gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum, berusaha menguatkan hatinya, tapi perasaannya tak kunjung membaik. Letta benar-benar takut untuk semakin melangkah maju. Takut lagi-lagi akan dikecewakan--faktanya ia sudah dikecawakan. Dulu ada Aldi, tapi jika Aldi menyakitinya, ia punya siapa untuk bisa diandalkan? Tak akan ada yang bisa merangkulnya untuk bangkit secepat yang cowok itu pernah lakukan.

Tanpa sadar, air matanya jatuh. Letta menggigit bibir bagian bawahnya keras, menahan isakan yang sebenarnya ingin sekali ia keluarkan. Dadanya sesak seakan ada yang mendesak, terasa penuh oleh luapan-luapan emosi yang selalu keluar tiap kali dirinya memikirkan sosok Aldi. Selalu begitu. Memikirkannya, melihatnya, bahkan juga mendengar suaranya membuat perasaan menyakitkan menjala. Satu-satunya alasan mengapa akhir-akhir ini ia lebih memilih untuk menghindar.

Dengan hati-hati, Letta mengusap air mata yang sudah telanjur jatuh ke pipinya.

"Jangan nangis, nanti make-up-nya luntur," ujarnya pada diri sendiri. Kepalanya mendongak, menahan air yang memenuhi ruang di matanya agar tak lagi jatuh.

"Gue janji abis ini bakal bikin lo bahagia, Let," seru sebuah suara.

Letta menoleh, tersentak begitu mendapati Aldi sedang bersandar pada daun pintu yang ada di sebelahnya. Terlalu serius memikirkan banyak hal membuatnya tak menyadari kehadiran cowok itu. Padahal sudah lebih dari lima belas menit Aldi berdiri di sana. Statis. Hanya diam menatapnya dengan pandangan yang sulit dipahami.

Cowok itu mengenakan jas dengan dalaman kemeja putih. Tidak terlihat formal tanpa dasi yang melekat pada kerahnya, juga kancing bagian atas yang ia biarkan terbuka begitu saja. Letta tertegun beberapa detik melihat pemandangan yang membuatnya menahan napas.

Dead air.

Hening. Keduanya bergeming. Hanya mematung sambil terus saling menatap.

"Mukanya serius banget kayak lagi ngerjain soal UN," celetuk Aldi. Dari yang tadinya murung, wajah Letta langsung berubah kesal.

"Nggak usah cemberut. Gue janji bakal ngebahagiain lo abis ini."

Aldi tersenyum. Manis. Hingga dada Letta kembali terasa sesak karenanya. Sepertinya cowok itu tak berniat memberi jantung Letta waktu untuk beristirahat dari detakan yang terasa pilu karena bercampur rasa sesak. Jatuh cinta dan tersakiti secara bersamaan.

"Just wait and see, Baby!" kata cowok itu.

Aldi mengedipkan sebelah matanya. Dilemparkannya sebuah flower crown ke arah Letta sebelum keluar dari kamar itu.

"Dipakai ya!" katanya.

Letta mengangguk, merapikan rambutnya yang tergerai, dan memasangkan flower crown itu pada puncak kepalanya.

***

Ballroom yang cukup besar untuk sebuah acara pertunangan. Bertemakan forest, ruangan itu disulap hampir menyerupai hutan kecil. Dipenuhi dedaunan di tiap sudut dinding, juga rumput sintetis di bagian alasnya. Mengagumkan. Beberapa batang pohon melingkar menghias panggung, meja-meja, ada juga yang menjalar di sepanjang dinding, membuat para tamu tak sungkan berfoto di setiap sudut ruangan itu.

I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang