Tiga Puluh Enam

308K 17.8K 1.1K
                                    

"Gue pesimis sebuah hubungan bisa terbangun hanya dengan fondasi kepercayaan. Hubungan tanpa status itu rentan."

*

Atas instruksi Radit lewat BBM, istirahat siang itu Aldi dan ketiga temannya berkumpul di gudang belakang sekolah. Tempat favorit Radit menghabiskan waktunya untuk merokok sambil duduk menyandar pada tumpukan meja tua yang sudah tak terpakai.

"Rokok lagi, rokok mulu, rokok terus, rokok aja sampe mampus!" cibir Andre seraya duduk di sebelah Radit.

Sebenarnya Andre sudah sangat muak melihat kelakuan Radit akhir-akhir ini yang intensitas merokoknya malah lebih sering dari biasanya. Andre tahu Radit sedang ada masalah, tapi cowok itu selalu menghindar tiap kali Andre menanyakan perihal masalahnya.

"Lo mau kena masalah lagi sama Pak Sholeh? Udah tau tuh satpam tukang ngadu ke guru BP."

"Ya elah, Vin. Nggak ketauan ini," jawab Radit santai.

Kepulan asap keluar setiap kali cowok itu membuka mulutnya. "Ya udahlah terserah lo. Capek bilanginnya. Batu!" Vino menyerah. Lebih memilih berbaring di atas meja. Makan hati berlama-lama menghadapi Radit yang keras kepala.

"Eh, Nyet! Udah jadian lo ama Letta?" tanya Radit pada Aldi yang sejak tadi belum terdengar suaranya. Cowok itu duduk di depan Radit, terus tersenyum memandangi layar handphone yang ada di genggamannya, menghiraukan tiga orang yang sejak tadi melototinya menunggu jawaban.

"...."

"...."

"...."

Merasa tak diacuhkan, Andre berdecak. Tangannya bergerak menepuk handphone tempat perhatian Aldi kini berpusat. "Jawab, Nyet! Ditungguin juga."

Aldi mendengus sebelum mendongak menatap Radit. Tak langsung menjawab, Aldi malah terlihat berpikir. "Kalau orang tanya, gue emang nggak pacaran, tapi gue sama dia lebih dari sekadar sahabat."

"HTS." Radit mangut-mangut. "Gue pikir gara-gara tahun baruan kemaren bakal ada kemajuan."

"Nggak masalah kok. Lagi pula...," ada jeda sebelum Aldi melanjutkan ucapannya. "Sekarang status itu udah nggak penting bukan? Cukup begini aja, percaya dan ngerti sama perasaan satu sama lain. Kan yang diliat dari suatu hubungan bukan statusnya, tapi gimana cara dua orang itu ngejalaninnya."

"Gue pesimis sebuah hubungan bisa terbangun hanya dengan fondasi kepercayaan. Hubungan tanpa status itu rentan," ujar Vino seraya melipat kedua tangan menjadi bantalan untuk kepalanya. "Dulu gue hampir kehilangan Kezia gara-gara hubungan macam itu. Kita nggak ada status, jadi sungkan ngutarain apa yang nggak kita sukai dari pasangan. Malah akhirnya dipendem sendiri. Sampai suatu hari tiba-tiba dia ngejauh tanpa gue tau apa penyebabnya. Intinya, hubungan yang begitu kurang ada rasa keterbukaan, dan itu nggak bagus buat suatu hubungan."

Radit mengangguk setuju. Cowok itu lalu mengisap rokoknya dalam-dalam, mengembuskannya dalam sekali helaan panjang. "Kalau menurut gue malah mustahil. Jelas kalau suatu kepemilikan itu penting. Perumpamaannya begini, burung bakalan terbang kalau nggak dimasukin ke dalam sangkar. Sama aja kayak hubungan. Harus ada sesuatu yang mengikat, ngejaga seseorang biar nggak lari ke mana-mana."

Dengan gerakan cepat Vino bangkit, terduduk di atas meja yang tadi ditidurinya. "Nah!" katanya mengagetkan, seolah ada ide brilian di dalam otaknya. "Mungkin lo harus bercinta sama Letta. Biar dia mikir-mikir sebelum ninggalin lo. Letta 'kan masih perawan."

Aldi mengernyit. Wajahnya seolah berkata, 'Gue nggak salah denger 'kan?'

"Jangan dengerin Vino, Di. Dia sesat!" sela Andre.

"Cih! Gue 'kan cuma ngasih solusi. Itu juga 'kan salah satu cara buat berkomitmen."

"Pikiran lo kuno. Gue kalau jadi Letta, walaupun udah bercinta sama Aldi pun gue bakal ninggalin Aldi kalau Aldi-nya nyakitin, atau kalau gue nemu yang lebih baik dari Aldi. Pada dasarnya, nggak ada yang bener-bener mengikat. Orang udah nikah aja bisa selingkuh. Kalau menurut gue sih, jalanin aja yang sekarang, biarin aja mengalir, nggak usah dipusingin. Kalau jodoh nggak akan ke mana."

"Iya, lagi pula..." Aldi tertunduk. Menatap kembali chat BBM Letta pada layar ponselnya. "Gue percaya sama Letta kok."

***

Pelajaran olahraga baru saja selesai. Masih dengan seragam olahraga yang melekat di tubuhnya, Letta berjalan gontai menghampiri kursi panjang yang ada di pinggir koridor. Cewek itu terduduk lemas menghadap ke lapangan basket yang masih ramai dengan anak kelasnya yang terlihat sedang berlatih shooting dengan Raihan, salah satu tim inti basket yang kebetulan sekelas dengannya.

Jangan tanya kenapa Letta malah duduk dan lebih memilih menonton dari kejauhan. Dirinya sudah lelah lahir-batin duniaakhirat berurusan dengan yang namanya passing, dribbling, dan shooting.

"Nggak ada gunanya belajar gituan. Gue 'kan kalau udah gede mau jadi..." Istrinya Aldi. Istrinya Aldi? Letta menggeleng cepat. "Aduh gue mikirin apa sih?!"

Dari tengah lapangan, Letta dapat melihat Aldi melambai ke arahnya. Sambil tersenyum lebar, cowok itu berlari menghampirinya.

"Nggak latihan lagi?" tanyanya begitu tiba di hadapan Letta. Letta menggeser posisi duduknya, membiarkan Aldi mengisi bagian yang kosong di sebelahnya.

"Pengambilan nilai praktik olahraga 'kan dua minggu lagi," tambah Aldi.

"Jangan diingetin deh. Bikin sebel aja," gerutu Letta.

Aldi terkekeh. "Maaf."

Cowok itu menyodorkan sebotol air kemasan ke arahnya. "Nih minum! Pasti capek deh dari tadi lompat-lompat mulu."

Dengan cepat Letta meraih botol minuman itu, membukanya, lalu menghabiskannya dalam satu kali tegukan. Satu kata yang dapat mendefinisikan: buas. Aldi menggeleng prihatin. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celana training-nya.

"Ini jadwal bimbel gue selama seminggu." Cowok itu menyodorkan selembar kertas putih yang isinya tulisan ceker ayam ke arah Letta.

Menoleh sebentar, Letta lalu melempar botol yang tadi baru habis diminumnya ke arah tempat sampah. Dekat sekali, hanya berjarak satu meter di depannya, tapi lemparannya meleset sangat jauh hingga membuat gadis itu tertunduk malu. Aldi terbahak, menepuk-nepuk punggung Letta tak santai.

"Lo bener-bener harus belajar ngelempar, Let," kata Aldi di tengah tawanya.

Letta buru-buru mengalihkan perhatian Aldi pada kertas yang tadi disodorkan cowok itu. "Coba gue liat jadwal bimbel lo."

"Senin... Selasa... Kamis... Jumat... Sabtu... Minggu? Eh? Minggu? MINGGU, DI?! Manusia macam apa yang ngambil

bimbel hari Minggu?! Dari pagi sampai sore pula."

Aldi nyengir. "Kenapa? Takut kangen ya?"

"Hih! Narsistik." Letta memukul bahu Aldi pelan. Cewek itu lalu mengalihkan pandangannya ke depan, menatap lapangan basket yang masih ramai.

"Lo nggak ada ikut bimbel atau les gitu, Let?" tanya Aldi memecah keheningan.

Letta menggeleng. "Ngapain? Biar tambah pusing? Nggak deh. Makasih. Gue sudah cukup tersiksa dengan pelajaran tambahan dan pendalaman materi."

"Lo emang lulus mau kuliah di mana?"

Letta terlihat berpikir. "Sekolah fashion. Kayaknya jadi desainer seru deh."

Aldi kembali terbahak mendengar jawaban Letta. "Lo? Mau jadi desainer? HAHAHAHAHHA. Lo gambar garis lurus aja masih keriting, Let!"

Letta mendelik dan...

Plaaakkk!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Aldi. Letta langsung bangkit meninggalkan Aldi yang mematung di sana.

"Kena lagi," kata Aldi seraya mengusap bekas tamparan Letta di pipinya. Cowok itu lantas ikut bangkit menyusul Letta yang sudah berjalan lebih dulu di depannya.

"Eh, Let! Tungguin! Gue bercanda doang kok. Dih, baper banget sih."

"Bodo amat! Ngomong sama pantat!" Tanpa menoleh, Letta mengangkat jari tengahnya tinggi ke udara.

I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang