Letta celingukan saat memasuki stadion basket yang dikatakan Raka beberapa hari yang lalu. Stadion itu sudah sangat ramai ketika ia tiba di sana. Deretan bangku plastik yang terletak di tribun kanan dan kirinya hampir terisi penuh. Di tengah lapangan, dua tim berlarian. Pertandingan sepertinya sudah berjalan sejak tadi karena perolehan skor pada papan digital di seberangnya sudah menunjukkan perolehan angka yang lumayan banyak.
71-97. SMA Trandana memimpin dengan skor cukup jauh. Letta menemukan Raka berdiri di atas garis three point, ancang-ancang menerima operan bola dari teman satu timnya. Baju kutung berwarna putih emas dengan nomor punggung dua belas itu berkibar saat tubuhnya melayang di udara—seperti terbang. Bola yang dilemparnya menggelinding di sekitar ring keranjang. Cukup lama sampai akhirnya menerobos masuk dan terpantul beberapa kali di atas lantai semen. Sedetik kemudian, penonton riuh. Bersorak atas kemenangan tim sekolahnya.
"Lah? Udah selesai? Baru juga sampe. Duduk aja belom." Letta menghela napas. Masih memandangi Raka yang kini dikerubungi teman-temannya.
"Letta!" panggilan itu serta merta membawa pandangan Letta turun menuju tribun sebelah kanan. Tepat di pinggir lapangan, Kezia melambai. Gadis itu masih mengenakan seragam cheerleaders lengkap dengan sepasang pom-pom yang digenggamnya. Wajah dan tangannya berkilau karena hiasan kelap-kelip berwarna emas yang sengaja ditorehkan di sana. Kezia cantik.
"Sini!"
Letta mengangguk, lalu berjalan turun menuju lapangan. "Lo di sini juga? Kok nggak bilang sih kalau mau ke sini? Kan bisa bareng tadi," ujar Kezia begitu Letta tiba di hadapannya. Sebenarnya Letta juga tidak tahu sedang ada turnamen basket di tempat ini. Ia hanya menuruti perintah Raka untuk datang mengambil tasnya yang kemarin tertinggal.
"Gue pikir lo hari ini pergi sama Vino." Letta beralasan. Tapi memang benar, beberapa minggu belakangan ini cewek itu sering terlihat hangout bareng Vino. Ya, Letta tahu itu dari beberapa foto yang di-upload Kezia di Instagram-nya. Foto yang juga sempat membuat seisi sekolahnya heboh. Kezia belum sempat menceritakan bagaimana kelanjutan hubungan mereka. Tapi dari foto-foto itu, Letta sudah bisa menebak sejauh mana.
"Tuh Vino." Kezia menunjuk ke arah cowok itu dengan dagunya. Vino duduk di bangku tribun tak jauh dari tempat mereka berdiri. Merasa diperhatikan, cowok itu lalu tersenyum, bangkit dan berjalan ke arah mereka.
"Abis ini gue sama dia mau ke Plaza Senayan. Mau ikut?" ajak Kezia.
Letta mengernyit. Ogah! Bisa jadi kambing congek gue! "Nggak deh. Mending gue nonton film di bioskop sendirian kayak jomblo yang nggak ada kerjaan daripada ikut kalian berdua jalan."
"Hayuk! Kayaknya ada film bagus di bioskop." Tiba-tiba seseorang dari arah belakangnya menimpali.
Letta menoleh. Wajahnya merona, terkejut karena ajakan itu datang dari Raka. Cowok itu entah sejak kapan berada di sana. Kezia mengedipkan sebelah matanya. Sebelum meninggalkan Letta, gadis itu sempat berbisik di telinganya, "Good luck, Let!"
***
Aldi menuangkan sebotol Chivas ke dalam shotglass, menghabiskannya dalam satu kali teguk. Entah ini sudah tegukan ke berapa, tapi ia masih sadar. Ya, yang dia tahu dirinya masih sadar.
Ingatan itu datang, kembali lagi menghantamkan penyesalan yang teramat sangat ke dalam dirinya. Merobohkan pertahanan yang susah payah ia bangun sejak perempuan itu pergi. Aldi tak pernah protes pada keadaannya sekarang, itu memang murni kesalahannya membiarkan gadis itu berlalu. Salahnya lebih menurut pada ego sialan ketimbang jerit kecil di hatinya. Dan sekarang, pikirannya kacau. Harusnya dulu dia nggak gue biarin pergi.
Kali ini, ia meneguk Chivas yang ada di atas meja langsung dari botolnya. Kepala yang tadinya berat menjadi ringan, bahkan rasanya seluruh tubuhnya melayang, semua bebannya menguap dalam sekejap.
"Woy, Nyet!!" teriak Andre begitu muncul dari bawah tangga. Di belakangnya ada Radit.
"Wow! Pesta sendirian kagak ngajak-ngajak!" ujar Andre begitu melihat botol Chivas terhampar di meja.
"Tumben," celetuk Radit.
Mereka lalu duduk di sebelah Aldi. Aldi masih diam saja dengan sambil terus meneguk botol yang ada di tangannya. "Weeess! Slow, Bro." Radit buru-buru merebut botol yang sedang diteguk Aldi. Ia langsung menyingkirkan benda itu jauh-jauh. "Lo kenapa?" tanya Radit. Tangannya mengguncang pundak Aldi. Tapi tak ada jawaban sama sekali, Aldi tetap diam. "Woy! Jawab gue, Nyet!" Radit yang kesal lalu menampar pipi Aldi dengan keras. Aldi hampir terjatuh dari duduknya, tapi sudah ditahan lebih dahulu oleh Andre.
"Dit, lo ngapain sih?" ujar Andre resah.
"Lo nggak bisa lihat gimana keadaan Aldi sekarang?!" Radit melototinya. Andre mengalihkan pandangannya ke arah Aldi, tersadar. Laki-laki itu sudah sangat mabuk dan terlihat sangat payah.
"Lo kenapa, Di?" tanyanya. Aldi menggeleng, lalu menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan tangannya di atas meja.
"Karin...," lirihnya. Andre yang mendengar itu langsung memasang wajah horor.
"Siapa, Dre?" tanya Radit setelah melihat perubahan ekspresi yang sangat jelas di wajah Andre.
"Nanti gue ceritain, sekarang kita bawa Aldi pulang dulu." Radit menaikkan sebelah alisnya mendengar perkataan Andre. "Rumahnya? Nggak salah lo?"
"Oh, sorry! Apartemen lo!"
Andre lupa kalau sekarang Aldi dalam keadaan mabuk berat, yang artinya sama saja bunuh diri jika membawanya pulang ke rumahnya. Bisa diamuk bokapnya nanti, pikir Andre.
"Yuk! Angkat," ujar Radit. Mereka lalu membopong Aldi dan segera keluar dari Vinclub menuju apartemen milik Radit.
***
"Nonton empat film di bioskop dalam sehari itu rekor terbaru gue," kata Letta begitu pintu lift menuju parkiran terbuka. Kosong. Keduanya lalu masuk.
"Thanks ya buat hari ini." Letta tersenyum menatap Raka yang kini bersandar pada dinding lift di sebelahnya "Harusnya gue yang bilang makasih. Gue tahu kali kalau nggak semua film yang kita tonton tadi itu lo suka," kata Raka. Letta membenarkan. Film horor. Letta paling benci film horor. Apalagi jika filmnya seperti tadi, banyak tusukan di mana-mana, banyak darah berceceran, banyak yang mati mengenaskan, tapi setannya nggak muncul sampai filmnya selesai. Film macam apa itu?!
"Tapi yang penting... lo seneng 'kan?" Kali ini Raka tersenyum. Letta mengangguk mantap, lalu ikut tersenyum. "Banget!" Tak lama, pintu lift di depan mereka terbuka. Keduanya
keluar, berjalan beriringan. Menyisir deretan mobil-mobil di sisi kanan dan kirinya.
Raka memandang wajah Letta. Sejak tadi, senyum si pemilik bibir pink itu tak juga surut. Seakan memang sudah didesain menyatu di wajah oval miliknya. Raka senang melihat senyumnya, mendengar suara tawanya, hal yang terasa baru di hidup Raka. Ia sadar, ada sesuatu dalam diri Letta yang menarik untuk Raka selami lebih dalam.
Tangannya tiba-tiba saja menangkap tangan Letta yang terayun bebas di udara, membuat langkah keduanya mendadak terhenti.
Letta menunduk menatap tak percaya genggaman Raka pada jemarinya.
"Kalo gue suka sama lo gimana?" kata Raka tiba-tiba.
Letta sontak mendongak, terdiam menatap Raka bagai orang dungu. Otak Letta yang minim perlu beberapa saat untuk mencerna arti dari kalimat yang Raka ungkapkan. Pertanyaan atau pernyataan. Letta kebingungan, di satu sisi dadanya berdegub sangat kencang.
"Kalau gue juga suka sama lo gimana?" Letta melemparkan kembali pertanyaan Raka.
Saat itu, senyum di bibir Raka terbit.
"Gue anggap itu artinya, ya, gue mau banget jadi pacarnya Raka si cowok paling keren seantero bumi, ganteng dan jago maen basket."
Letta tak bisa menahan tawa untuk yang satu itu. Keduanya melanjutkan perjalanannya menuju mobil dengan tangan yang masih tertaut satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours
RomantizmLetta sangat membenci Aldi, cowok mesum, manipulative, dan sok keren di sekolah, yang jelas bukan tipikal cowok impian Letta. Tapi berbeda dengan Aldi, Letta adalah impiannya. Perjodohan paksanya dengan Letta menjadi rumit ketika Letta mulai berpac...