Delapan

471K 19.7K 940
                                    

Letta celingukan saat memasuki stadion basket yang dikatakan  Raka beberapa hari yang lalu. Stadion itu sudah sangat ramai  ketika ia tiba di sana. Deretan bangku plastik yang terletak di  tribun kanan dan kirinya hampir terisi penuh. Di tengah lapangan,  dua tim berlarian. Pertandingan sepertinya sudah berjalan sejak  tadi karena perolehan skor pada papan digital di seberangnya  sudah menunjukkan perolehan angka yang lumayan banyak.

71-97. SMA Trandana memimpin dengan skor cukup jauh. Letta menemukan Raka berdiri di atas garis three point,  ancang-ancang menerima operan bola dari teman satu timnya. Baju  kutung berwarna putih emas dengan nomor punggung dua belas  itu berkibar saat tubuhnya melayang di udara—seperti terbang.  Bola yang dilemparnya menggelinding di sekitar ring keranjang.  Cukup lama sampai akhirnya menerobos masuk dan terpantul beberapa kali di atas lantai semen. Sedetik kemudian, penonton  riuh. Bersorak atas kemenangan tim sekolahnya.

"Lah? Udah selesai? Baru juga sampe. Duduk aja belom."  Letta menghela napas. Masih memandangi Raka yang kini  dikerubungi teman-temannya.

"Letta!" panggilan itu serta merta membawa pandangan Letta  turun menuju tribun sebelah kanan. Tepat di pinggir lapangan,  Kezia melambai. Gadis itu masih mengenakan seragam cheerleaders  lengkap dengan sepasang pom-pom yang digenggamnya. Wajah  dan tangannya berkilau karena hiasan kelap-kelip berwarna emas  yang sengaja ditorehkan di sana. Kezia cantik. 

"Sini!"

Letta mengangguk, lalu berjalan turun menuju lapangan. "Lo di sini juga? Kok nggak bilang sih kalau mau ke sini?  Kan bisa bareng tadi," ujar Kezia begitu Letta tiba di hadapannya. Sebenarnya Letta juga tidak tahu sedang ada turnamen basket  di tempat ini. Ia hanya menuruti perintah Raka untuk datang  mengambil tasnya yang kemarin tertinggal. 

"Gue pikir lo hari ini pergi sama Vino." Letta beralasan.  Tapi memang benar, beberapa minggu belakangan ini cewek  itu sering terlihat hangout bareng Vino. Ya, Letta tahu itu dari  beberapa foto yang di-upload Kezia di Instagram-nya. Foto yang  juga sempat membuat seisi sekolahnya heboh. Kezia belum sempat  menceritakan bagaimana kelanjutan hubungan mereka. Tapi dari  foto-foto itu, Letta sudah bisa menebak sejauh mana.

"Tuh Vino." Kezia menunjuk ke arah cowok itu dengan  dagunya. Vino duduk di bangku tribun tak jauh dari tempat  mereka berdiri. Merasa diperhatikan, cowok itu lalu tersenyum,  bangkit dan berjalan ke arah mereka.

"Abis ini gue sama dia mau ke Plaza Senayan. Mau ikut?"  ajak Kezia.

Letta mengernyit. Ogah! Bisa jadi kambing congek gue! "Nggak deh. Mending gue nonton film di bioskop sendirian  kayak jomblo yang nggak ada kerjaan daripada ikut kalian  berdua jalan."

"Hayuk! Kayaknya ada film bagus di bioskop." Tiba-tiba  seseorang dari arah belakangnya menimpali.

Letta menoleh. Wajahnya merona, terkejut karena ajakan itu  datang dari Raka. Cowok itu entah sejak kapan berada di sana. Kezia mengedipkan sebelah matanya. Sebelum meninggalkan  Letta, gadis itu sempat berbisik di telinganya, "Good luck, Let!"

***

Aldi menuangkan sebotol Chivas ke dalam shotglass,  menghabiskannya dalam satu kali teguk. Entah ini sudah tegukan  ke berapa, tapi ia masih sadar. Ya, yang dia tahu dirinya masih  sadar. 

Ingatan itu datang, kembali lagi menghantamkan penyesalan  yang teramat sangat ke dalam dirinya. Merobohkan pertahanan  yang susah payah ia bangun sejak perempuan itu pergi. Aldi tak  pernah protes pada keadaannya sekarang, itu memang murni  kesalahannya membiarkan gadis itu berlalu. Salahnya lebih menurut  pada ego sialan ketimbang jerit kecil di hatinya. Dan sekarang,  pikirannya kacau. Harusnya dulu dia nggak gue biarin pergi.

Kali ini, ia meneguk Chivas yang ada di atas meja langsung  dari botolnya. Kepala yang tadinya berat menjadi ringan, bahkan  rasanya seluruh tubuhnya melayang, semua bebannya menguap  dalam sekejap.

"Woy, Nyet!!" teriak Andre begitu muncul dari bawah tangga.  Di belakangnya ada Radit.

"Wow! Pesta sendirian kagak ngajak-ngajak!" ujar Andre  begitu melihat botol Chivas terhampar di meja.

"Tumben," celetuk Radit. 

Mereka lalu duduk di sebelah Aldi. Aldi masih diam saja  dengan sambil terus meneguk botol yang ada di tangannya. "Weeess! Slow, Bro." Radit buru-buru merebut botol yang  sedang diteguk Aldi. Ia langsung menyingkirkan benda itu jauh-jauh. "Lo kenapa?" tanya Radit. Tangannya mengguncang pundak  Aldi. Tapi tak ada jawaban sama sekali, Aldi tetap diam. "Woy! Jawab gue, Nyet!" Radit yang kesal lalu menampar  pipi Aldi dengan keras. Aldi hampir terjatuh dari duduknya, tapi  sudah ditahan lebih dahulu oleh Andre.

"Dit, lo ngapain sih?" ujar Andre resah.

"Lo nggak bisa lihat gimana keadaan Aldi sekarang?!" Radit  melototinya. Andre mengalihkan pandangannya ke arah Aldi,  tersadar. Laki-laki itu sudah sangat mabuk dan terlihat sangat  payah. 

"Lo kenapa, Di?" tanyanya. Aldi menggeleng, lalu  menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan tangannya di atas  meja.

"Karin...," lirihnya. Andre yang mendengar itu langsung  memasang wajah horor.

"Siapa, Dre?" tanya Radit setelah melihat perubahan ekspresi  yang sangat jelas di wajah Andre.

"Nanti gue ceritain, sekarang kita bawa Aldi pulang dulu."  Radit menaikkan sebelah alisnya mendengar perkataan Andre.  "Rumahnya? Nggak salah lo?" 

"Oh, sorry! Apartemen lo!" 

Andre lupa kalau sekarang Aldi dalam keadaan mabuk berat,  yang artinya sama saja bunuh diri jika membawanya pulang ke  rumahnya. Bisa diamuk bokapnya nanti, pikir Andre.

"Yuk! Angkat," ujar Radit. Mereka lalu membopong Aldi  dan segera keluar dari Vinclub menuju apartemen milik Radit.

***

"Nonton empat film di bioskop dalam sehari itu rekor terbaru  gue," kata Letta begitu pintu lift menuju parkiran terbuka. Kosong.  Keduanya lalu masuk. 

"Thanks ya buat hari ini." Letta tersenyum menatap Raka  yang kini bersandar pada dinding lift di sebelahnya "Harusnya gue yang bilang makasih. Gue tahu kali kalau  nggak semua film yang kita tonton tadi itu lo suka," kata Raka. Letta membenarkan. Film horor. Letta paling benci film horor.  Apalagi jika filmnya seperti tadi, banyak tusukan di mana-mana,  banyak darah berceceran, banyak yang mati mengenaskan, tapi  setannya nggak muncul sampai filmnya selesai. Film macam apa  itu?!

"Tapi yang penting... lo seneng 'kan?" Kali ini Raka tersenyum. Letta mengangguk mantap, lalu ikut tersenyum. "Banget!"  Tak lama, pintu lift di depan mereka terbuka. Keduanya 

keluar, berjalan beriringan. Menyisir deretan mobil-mobil di sisi  kanan dan kirinya.

Raka memandang wajah Letta. Sejak tadi, senyum si pemilik  bibir pink itu tak juga surut. Seakan memang sudah didesain  menyatu di wajah oval miliknya. Raka senang melihat senyumnya,  mendengar suara tawanya, hal yang terasa baru di hidup Raka.  Ia sadar, ada sesuatu dalam diri Letta yang menarik untuk Raka  selami lebih dalam. 

Tangannya tiba-tiba saja menangkap tangan Letta yang terayun  bebas di udara, membuat langkah keduanya mendadak terhenti.

Letta menunduk menatap tak percaya genggaman Raka pada  jemarinya.

"Kalo gue suka sama lo  gimana?" kata Raka tiba-tiba.

Letta sontak mendongak, terdiam menatap Raka bagai orang dungu. Otak Letta yang minim perlu beberapa saat untuk mencerna arti dari kalimat yang Raka ungkapkan. Pertanyaan atau pernyataan. Letta kebingungan, di satu sisi dadanya berdegub sangat kencang.

"Kalau gue juga suka sama lo gimana?" Letta melemparkan kembali pertanyaan Raka.

Saat itu, senyum di bibir Raka terbit.

"Gue anggap itu artinya, ya, gue mau banget jadi pacarnya  Raka si cowok paling keren seantero bumi, ganteng dan jago maen basket."

Letta tak bisa menahan tawa untuk yang satu itu. Keduanya melanjutkan perjalanannya menuju mobil dengan tangan yang  masih tertaut satu sama lain.

I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang