Empat Puluh

306K 16.9K 913
                                    

Kalau saja dulu tak ada yang namanya perjanjian, lalu jatuh cinta secara perlahan, Aldi nggak akan sepusing ini memikirkan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Letta nanti.

*

"Bisa makin ancur pergaulan kamu di sana. Papa nggak suka nanti kamu kayak Raka. Liat aja dia sekarang, udah berani nginepin cewek di apartemennya. Dia yang deket aja udah berani-berani begitu sekarang, apalagi kamu yang jauh nanti!"

"Masa bodo. Aldi udah nurutin Papa buat tunangan sama Letta, dan sekarang Papa harus nepatin janji Papa!"

Rafi baru saja ingin membuka suara lagi, namun anak tunggalnya itu sudah terlebih dahulu bangkit dan berjalan ke arah pintu. Merain gagang pintu, sebelum benar-benar keluar Aldi berbalik, menatap Rafi dengan tatapan tajam.

"Aldi udah nggak mau bahas ini lagi, Pa. Aldi pikir dulu kita udah deal sama perjanjian ini," ujar Aldi dingin. "Udah ya. Nggak enak sama Letta nunggu lama di dapur."

Aldi keluar dari ruangan itu sambil membanting pintu. Wajahnya tampak kemerahan, efek menahan kesal bercampur amarah yang sejak tadi harusnya ia tumpahkan saja di hadapan Rafi—si sumber masalah. Kurang ajar memang menyebut papanya sendiri sebagai sumber masalah, namun kenyataannya seperti itu. Kalau saja dulu tak ada yang namanya perjanjian, lalu jatuh cinta secara perlahan, Aldi nggak akan sepusing ini memikirkan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Letta nanti.

Tak langsung menuju dapur, cowok itu kini bersandar pada tembok di sebelah pintu. Tangannya mengepal keras beberapa helai rambutnya seakan mencoba mencabut akar dari masalah yang kini dihadapinya. Namun, tak berefek apa-apa.

Ia kini tertunduk. Sibuk berpikir. Merasa dilema antara masa depan yang selama ini diidamkannya atau cinta yang baru ditemukannya.

Aldi kembali menegakan tubuhnya, tak lagi menyandar. Dengan jemari, ia menyisir poninya ke belakang. Masih dengan kepala tertunduk, cowok itu berbalik menuju dapur, dan saat mendongakkan kepala, Letta sudah berdiri di hadapannya. Gadis itu terlihat baru saja keluar dari dapur dengan dua piring nasi goreng di tangannya.

"Eh?" Aldi mendadak gugup. "Udah selesai masaknya?"

Letta mendekat. Gadis itu tersenyum lebar. "Udah dong. Kan udah gue bilang, 'Serahkan pada ahlinya.'"

Aldi mendengus geli mendengar racauan Letta. Tangannya bergerak naik mengusap lembut puncak kepala gadis itu. "Kita makan sambil nonton TV yuk!" ajaknya.

Aldi berjalan mendahului di depan tanpa menyadari perubahan ekspresi yang drastis dari gadis di belakangnya, senyum yang sejak tadi dilemparkannya lenyap.

***

Pandangan Letta terasa kabur karena air yang terus menggenangi ruang di matanya. Dengan tangan bergetar, ia menarik selimut, membalut tubuh mungilnya guna meredam isakan kecil yang sudah satu jam belum ada tanda-tanda akan berhenti.

Sepulang dari rumah Aldi, Letta langsung menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Tak mengganti seragam sekolah, bahkan melupakan fakta bahwa kini dirinya yang masih mengenakan sneakers naik ke atas tempat tidur. Masa bodo. Letta benar-benar kesal sampai tak mengindahkan hal itu. Gadis itu terus menangis hingga lelah, hingga isakan kecilnya tergantikan oleh deruan napas yang seakan tersendat. Terasa menyedihkan. Matanya kini terpejam, memaksakan dirinya untuk terlelap. Berharap ketika terbangun, ia akan lupa tentang segala hal kini berkecamuk dalam benaknya, menjalani hari-hari berikutnya seperti hari-hari sebelumnya. Namun, usahanya menghitung domba sia-sia. Seperti ada dinding yang membatasi, rasa kantuk yang biasanya muncul itu seakan terpental. Kalah dominan dengan rasa sakit yang ia rasakan kini.

I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang