Bab 4

465 35 0
                                    

Aku menggigil kedinginan. Sekarang pukul 16.00, suhu kota ini menurun. Aku berjalan di trotoar jalan.

Banyak orang yang berjalan juga di jalan itu. Ada yang sedang menelpon kerabatnya, ada yang sedang mendengarkan musik, ada yang berjalan sambil makan, dsb.

Aku berjalan memasuki salah satu minimarket di dekat apartemenku. Aku lapar, mungkin aku akan membeli mie instan kesukaanku dan makan di minimarket.

Tidak banyak orang yang mengunjungi minimarket ini, padahal tempatnya cukup strategis.

Aku memilih-milih mie instan yang akan kubeli. *cekrek* Terdengar suara kamera. Stalker?

Aku melirik ke arah kanan melalui ekor mataku. Tidak ada orang. Kucoba melirik ke arah kiri, tidak ada orang.

Aku memilih mie instan dengan cepat dan memasukkannya ke keranjang belanjaku. Mungkin aku akan merubah rencanaku, aku tidak akan makan di minimarket.

Aku melangkahkan kakiku dengan cepat ke arah kasir. Ada suara langkah kaki yang perlahan mengikutiku dari belakang. "Tenang, itu suara langkah kaki pengunjung lain." Aku berusaha menenangkan diri.

*Cekrek* Darimana arah suara itu? Aku menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri, mencari si stalker. Wajahku pucat pasi.

Seseorang tiba-tiba menabrakku yang sedang kebingungan. "Oi, jangan menghalangi jalan!" Ia berkata dengan kasar.

Aku kebingungan, lelaki yang menabrakku kira-kira tingginya 180 cm, sedangkan tinggiku 165 cm. Aku mendongak menatapnya. Wajahnya tampan dan badannya sedikit berotot. Ia menggunakan baju hitam yang senada dengan warna jaket dan celananya.

"Maaf." Kataku singkat dan berbalik menuju kasir. Dimana stalker itu? Apakah pria ini? Tapi aku tidak melihatnya membawa kamera.

Aku menatap ke arah tempat makan di pojok minimarket, terlihat beberapa pengunjung sedang makan di meja yang disediakan dan ada pengunjung yang sedang sekedar menulis catatan.

Tidak ada tempat bagiku untuk makan di sini. "Sebaiknya aku makan di rumah saja." Aku bergumam. Aku membayar belanjaanku dan melangkahkan kakiku ke luar minimarket.

Aku berjalan menuju apartemenku. Sebenarnya aku bisa saja menggunakan jalan yang ramai, tapi itu akan memakan waktu yang lama. Aku lebih suka menggunakan jalan sempit dan gelap, meskipun terdapat beberapa resiko.

Aku ingin segera sampai ke rumah dan tidur. Aku malas melewati jalan memutar. Biarkan saja aku berjalan di jalan gelap dan sempit ini.

Aku mendengar suara langkah kakiku sendiri menggema di jalan sempit itu. Aku berhenti sejenak, menguap. *is it too late now to say sorry* ringtone ponselku cukup untuk membuatku terkejut. Aku menatap layar ponselku. "Nomor tidak dikenal."

Dengan takut-takut aku mengangkatnya. "Hallo?"

"Menolehlah ke belakang." Suara orang itu samar-samar.

Aku ragu untuk menoleh pada awalnya, tapi kuberanikan diri untuk menoleh.

Seketika segalanya gelap. Apalagi ini?

🍀🍀🍀

Di suatu pegunungan yang indah, terdapat rumah besar bermodel rumah adat Jepang berdiri. Di sekitar rumah itu terdapat kuil yang masih bersih dan terawat.

Di depan kuil itu berdiri seorang pria yang menggunakan pakaian adat Jepang berwarna biru tua. Matanya menerawang ke langit yang biru. Beberapa orang bertopeng putih dan menggunakan pakaian adat jepang berwarna hitam berdiri di balik punggungnya.

Kemudian, mereka berjongkok satu kaki dan menundukkan kepala. Salah satu dari orang-orang bertopeng itu kemudian berbicara, "Nona telah diculik, tuan."

Pria itu tersenyum."Aku sudah merasakan ketakutannya." Ia kemudian membalikkan tubuhnya. "Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan, bukan?"

"Siap, kami akan melaksanakannya." Mereka serempak menjawab, kemudian berlari bagai bayangan hitam ke arah hutan.

Pria itu tersenyum dan berkata, "Tunggu aku."

🍀🍀🍀

Aku tersadar, aku berada di sebuah tempat yang gelap. Hanya ada satu sumber cahaya yaitu sebuah jendela kecil. Aku duduk di atas kursi kayu, tanganku diikat dan mulutku dibekap. Aku tidak tahu aku berada dimana dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini.

Aku menatap lantai tempat ini. Lantai ini seperti telah digambari sesuatu. Aku melihat sekeliling tempat kududuk. Di sekitarku telah diberikan lingkaran yang bertulisakan huruf-huruf tak dikenal.

Seseorang berjubah hitam datang menghampiriku, tapi ia tidak berani menginjak atau pun memasuki lingkaran di sekelilingku.

"Kini telah tiba bagimu untuk bangkit! Bangkitlah dan berkati kami!" Ia berteriak dengan antusias.

Beberapa orang yang berpakaian sama dengan orang yang tadi ikut mengelilingiku, "Bangkitlah dan berkati kami! Bangkitlah dan berkati kami!" Mereka ikut bersorak dan mengulangi kalimat itu terus menerus.

Diiringi teriakan orang-orang itu, si orang yang datang pertama tadi berkata, "Dengan darah murni pengikutmu dan darah murni musuhmu," ia melemparkan tubuh seorang gadis ke arahku. Gadis itu, teman dudukku di kampus. Mataku melebar. Apakah ia masih hidup? Aku ketakutan. "Kami membangkitkanmu wahai kegelapan!"

Lingkaran yang mengelilingiku seketika menyala. Huruf-huruf tak dikenal di sekitarnya juga ikut menyala. Apalagi ini? Aku menjerit, meskipun aku tahu suaraku tak akan didengar.

Aku menutup mataku.

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang