Bab 22

129 18 0
                                    

"Bagaimana dengan kegiatan sekolahmu?" Ayah dan aku masih berbincang-bincang.

"Hmm, kegiatannya banyak dan seru." Aku tertawa kecil. Ini pertama kalinya aku dan ayah berbincang selama ini.

"Aaaaaa!" Terdengar suara seorang gadis menjerit. Emma. Suara Emma!Aku langsung bergegas ke kamarku dan meninggalkan ayah sendiri. Ayah hanya menggelengkan kepalanya. Apalagi yang terjadi dengan Emma?

Aku masuk ke kamarku. Tak ada seorangpun. "Gamiel, tolong aku." Terdengar suara kecil Emma. Aku menengok ke arah suara. Ruang persembunyian? Bagaimana bisa ia masuk ke ruang persembunyian itu?

"Emma? Emma! Sadarlah!" Aku berteriak. Emma sudah tak sadarkan diri dan terbaring di lantai ruangan rahasiaku. Tubuhnya dipenuhi luka bakar berebentuk salib.

Kepalaku penat. Ini mengingatkanku kepada masa kecilku. Apakah ia sudah mengingat sesuatu tentang iblis atau semacamnya? Lukanya muncul lagi seperti saat kami kecil dulu.

Bagaimana ini? Haruskah aku melakukan pembersihan sekarang? Aku menyayat ibu jari tangan kananku. "Datanglah Pamvent!"

"Ada apa, Tuan?"

"Panggil pendeta-pendeta di gereja terdekat. Aku akan mengadakan pembersihan." Aku memerintahkannya sambil menggendong Emma.

Tapi kalau aku memanggil pendeta-pendeta itu, mereka akan tahu bahwa keluarga kami menyembunyikan Emma. Aku menggigit bibirku dan membaringkan Emma di tempat tidurku.

"Baiklah, Tua-"

"Pamvent! Tunggu!" Aku memanggilnya. Aku rasa aku harus berpikir dua kali untuk memanggil pendeta-pendeta itu. Pamvent menghentikan langkahnya dan menoleh.

"Jangan panggil pendeta itu." Aku memijat jidatku. "Panggil Selena." Itu keputusan terakhir. Akan lebih aman jika Selena yang menyembuhkan Emma.

"Selena?" Pamvent menaikkan satu alisnya.

"Emm, maksudku Ibu. Panggil Ibu angkatku sekarang."

"Baik, Tuan!" Pamvent hilang bagai cahaya.

Aku masih menggigit bibir bawahku. Waktuku untuk melaksanakan rencanaku sangat terbatas dan waktuku untuk bersama Emma tinggal sedikit lagi.

🍀🍀🍀

Aku kembali ke kastil Leuvour bersama anakku, Emilio. Sudah lama kami tidak kembali ke rumah ini. Aku tahu betul bahwa aku kembali bukan karena merindukan tempat ini atau semacamnya.

Aku kembali karena ingin meminta bantuan kaum pendeta untuk membantu kami membangun kastil Odisea. Aku sudah membuang harga diriku sebagai penyihir untuk meminta bantuan kaum pendeta. Tidak, aku tidak akan meminta bantuan mereka. Aku akan meminta pertanggung jawaban mereka.

Penerus keluarga Leuvour itu yang terlebih dahulu menghancurkan Odisea. Wajar saja bagiku untuk meminta pertanggung jawaban mereka.

"Maafkan aku." Emilio berkata dengan suara kecil yang hampir tidak terdengar.

"Ini bukan salahmu. Bukan kau yang menghancurkan Odisea." Aku menatapnya dengan tatapan lembut.

Ia hanya menunduk. "Tidak, bu. Ini salahku." Ia menggigit bibir bawahnya. "Aku yang menculik Emma dan membawanya ke Odisea dan aku juga yang memancing amarah kak Dylan."

Aku hanya terdiam. Sekarang harus bagaimana? Kami memasuki kastil itu. Ruang tamu itu masih tertata seperti dulu, tidak ada yang berubah. Tiba-tiba cahaya terang bergerak dengan cepat seperti akan menyambar kami.

Cahaya itu berhenti. Roh. Pelayan. "Madam Selena, aku baru saja akan mencarimu." Pelayan itu menghormat. "Namaku Pamvent, pelayan setia Tuan Dylan. Tuanku ingin bertemu dengan Anda. Ia sedang menunggu di kamarnya."

Aku hanya menganga. Ada apa sampai Dylan ingin bertemu denganku. Biasanya ia selalu menolak untuk bertemu denganku. "Tunjukkan aku jalan ke kamarnya."

"Baiklah, silahkan ikuti aku." Pelayan itu menghormat dan membalikkan tubuhnya. Ia berjalan ke arah kamar Tuannya dan kami hanya mengikutinya dari belakang.

Aku berdiri di depan kamar Dylan bersama Emilio. Seharusnya aku tidak mengajak Emilio ke tempat ini, tapi biarlah. "Ada apa kau mencariku?" Aku berkata.

Dylan sudah berdiri di dekat jendela kamarnya. Ia menatapku lurus, lalu mengalihkan pandangannya ke arah tempat tidurnya. Seorang gadis berambut hitam terbaring lemah. Emma. Tubuhnya dipenuhi luka-luka berbentuk salib.

"Apakah kau tahu apa yang diperbuat Odisea kepada Emma?" Dylan bersuara. Suaranya parau.

"Apa yang dilakukan?" Aku menjawabnya dengan nada kebingungan.

"Apakah anakmu itu tidak mengatakan apapun?" Dylan berbicara dengan nada merendahkan sekaligus sedih.

Aku hanya menatap Emilio. Mata Emilio masih menatap Emma lekat. "Aku...belum mengatakannya." Ia berkata dengan ragu.

"Apakah harus orang di luar Odisea yang memberi tahu para tetua Odisea?!" Dylan membentak Emilio.

"Bagaimana aku bisa mengatakannya? Ha? Bagaimana?!" Emilio balas membentak.

Aku mendekati Emma yang masih terbaring lemas di tempat tidur Dylan. Ia sudah kembali ke wujudnya yang semula dan sebentar lagi ia akan bangkit. "Kita bisa membicarakan itu nanti, sekarang lebih baik kau katakan padaku, bantuan apa yang dapat aku berikan kepada Emma?"

"Sembuhkan dia. Gunakan ramuan atau apapun untuk mengadakan pembersihan." Dylan memijat keningnya. Ia pasti sangat pusing.

Aku mengelus wajah Emma perlahan. Tiba-tiba luka-luka salibnya bercahaya, bagai membakar tubuh Emma lagi.

"Apakah kau gila?! Kau tahu apa yang dahulu terjadi dan kau masih menyentuh kulitnya?!" Dylan berteriak.

Aku yang bodoh. Aku sudah tahu kalau aku menyentuh kulitnya maka aku akan terkena kutukuan, tapi tubuh Emma dulu telah diberikan segel. Jadi, setiap ada seseorang yang menyentuh kulitnya maka kutukan itu tidak akan menyerang orang itu tetapi akan melukai Emma.

Aku menggigit bibir bawahku. Kalau sudah sampai pada fase ini aku tidak akan bisa menyembuhkan Emma. "Aku rasa aku tidak bisa menyembuhkannya." Aku berkata dengan suara yang kecil, amat kecil.

Dylan mengacak-acak rambutnya. "Bagaimana bisa kau tidak bisa menyembuhkan anakmu sendiri?!" Ia berteriak dengan nada frustasi.

Aku hanya terdiam. Tidak tahu lagi. Aku sudah terlalu banyak menyakiti Emma, bagaimana bisa aku menyakitinya lagi?

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang