Bab 2

776 36 0
                                    

"Ayo kita pergi membeli permen sekarang!" Wajah anak itu samar-samar.

"Kenapa?" Bibirku seperti terkontrol untuk mengucapkannya.

"Eh? Bukankah kau bilang kau mau menikah denganku jika aku membelikanmu permen?" Anak itu tersenyum. Senyumnya sangat hangat. Ia menggenggam tanganku. Kami berlarian di jalan yang penuh cahaya.

*kring kring*
Aku terbangun. Mimpi macam apa itu? Aku melirik ke arah jam wekerku yang terus berdering. Mataku melebar. "Sh*t! Aku terlambat!"

Aku langsung mandi dan menggosok gigi. Kusisir rambutku dan mengikatnya dengan acak-acakan. Sekarang aku menyesali mengambil jadwal pagi. "Arghh!"

Aku berlari menuruni tangga dengan super cepat. Kakiku masih pegal karena kejadian kemarin, sekarang aku harus berlari menuruni tangga lagi? Sudahlah, apa gunanya mengeluh?

Ada seorang pria menggunakan baju putih dan topi hitam di depanku. "Awasss!!" Aku tidak bisa mengerem lariku. Mau tidak mau, aku menabrak pria itu. "Maaf!" Aku melanjutkan lariku tanpa merasa bersalah.

Pria itu, tatapannya seperti tatapan orang yang haus darah. Posturnya sama seperti orang yang waktu itu. Tidak. Posturnya berbeda. Orang ini bukan orang yang waktu itu. Postur badannya lebih besar.

Aku menghentikan lariku. Aku menatapnya lagi. Ia masih berada di posisi tempat kami bertabrakan. Ia menatapku dengan tatapan aneh.

Kami saling betatapan, dimana aku pernah melihat orang ini? Kami bertatapan cukup lama. Tubuhku membeku. Mataku masih menatapnya.

Ia berjalan mendekatiku, alisnya robek dan ada bekas jahitan di sekitar pergelangan tangannya.

*is it too late now to say sorry* ponselku terus berdering. Aku masih membeku di tempatku, pria itu semakin mendekat ke arahku. Tangan berototnya sedikit lagi akan menggapaiku, tapi aku masih membeku di tempatku. Aku takut.

"Emma!" Suara Dylan. Sedang apa ia di sini?

Seorang pria dengan topi hitam dan masker berlari ke arah pria berotot itu dan mendorongnya menjauh dariku.

"Dylan?" Kemudian aku tak sadarkan diri.

🍀🍀🍀

Aku membuka mataku perlahan. Lampu yang sangat mewah berada di tengah2 ruangan. Langit-langit ruangan ini berwarna merah dengan ukiran klasik ala kerajaan.

"Kau sudah sadar?" Suara lembut pria ini, Dylan?

"Dylan?" Suaraku serak. Tenggorokanku kering.

Dylan menyentuh keningku, "Jangan khawatir, sekarang kau aman." Ia tersenyum.

"Apa yang terjadi? Aku dimana?" Mataku menerawang ke sekelilingku.

"Tenang, kau hanya tak sadarkan diri sebentar saja. Ada seorang stalker yang mengikutimu. Tempat ini rumahku. Jangan takut." Ia mengelus kepalaku dengan lembut.

Stalker? Orang yang tadi? Kalau begitu, orang yang kemarin dan orang yang di minimarket? Stalker juga? Kepalaku berdenyut.

"Emma? Kau baik-baik saja?"

"Hm? Iya." Aku mengangkat tubuhku, berusaha untuk duduk.

Dylan tiba-tiba memelukku dengan erat. "Jangan khawatir, aku ada di sisimu."

Aku baru menyadari, aku sekarang sedang duduk di ranjang yang ada di rumah Dylan dan dipeluk oleh Dylan. Wajahku pasti memanas.

"Oh iya, tadi aku sudah meminta tolong pada Lin untuk menandatangani absenmu."

Aku juga baru sadar aku tidak kuliah hari ini.

"Dylan?"

"Hm?"

"Bisakah kau berhenti memelukku? Aku agak kesulitan bernafas." Tentu saja aku kesulitan bernafas. Aku dipeluk erat oleh seorang idola di kampus.

"Apakah aku memelukmu terlalu erat?" Dylan melepaskan pelukannya sambil menatapku dengan tatapan bersalah. "Maafkan aku."

"Ha? I-ini bukan salahmu." Aku menundukkan kepalaku, menyembunyikan wajahku yang memerah.

"Sebaiknya kita pergi makan siang, ini sudah siang dan kau belum makan pagi."

Bagaimana bisa ia tahu aku belum makan pagi dan bagaimana bisa ia tahu jadwal kuliahku hari ini?

Aku tidak ingin curiga pada Dylan, ia tidak mungkin kan orang yang di minimarket atau orang yang kemarin mengejarku.

Tunggu dulu, kalau kupikir-pikir, tadi seseorang yang menggunakan topi hitam dan masker mendorong stalker itu dan pada saat itu aku mendengar Dylan memanggil namaku.

Tunggu dulu, ini tidak mungkin. Aku bahkan tidak ingat postur tubuh pria yang tadi. Tidak mungkin itu Dylan. Instingku berkata itu bukan Dylan. Lalu siapa?

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang