Bab 27

158 14 0
                                    

Aku terbangun di sebuah mobil. Aroma mobil ini dan dekorasinya, sepertinya aku mengenalnya. Mobil Emilio.

"Kau sudah sadar?" Emilio menatapku. Sepertinya ia khawatir.

"Emi? Bagaimana aku bisa berada di sini?" Tenggorokanku kering. Suaraku serak.

"Sepertinya kau kelelahan dan tak sadarkan diri."

"Tapi, tadi aku berada di rumah Dylan." Sekarang suaraku hampir tak terdengar.

"Minumlah ini dulu." Ia menyodorkan  sebotol air yang telah dibuka tutupnya.

Aku mulai meminumnya. Aku memang membutuhkan air sejak tadi.

"Apakah aku belum memberi tahumu, kalau aku bersaudara dengan Dylan?" Emilio berkata dengan hati-hati.

Aku menyemburkan air yang ada di mulutku. "Apa?!"

"Yah, aku tahu ini agak mengejutkan, tapi itu kenyataannya. Dylan adalah kakak angkatku."

Padahal mereka hanya saudara angkat, tapi keduanya benar-benar tampan. Apa kata mahasiswi lain jika aku dekat dengan mereka? Aku berusaha menenangkan diri.

Aku menoleh ke arah kaca. Tempat ini aku mengenalnya. Rumah kakek! Aku menatap Emilio sambil tersenyum. "Terimakasih sudah mengantarkanku ke rumah kakek!"

Belum saja Emilio menjawab perkataanku, aku langsung melompat keluar mobil. Aku terlalu antusias untuk bertemu kakek.

Aku berlarian menuju rumah itu. Emilio sepertinya juga dengan terburu-buru mengikutiku. Terlihat rumah adat Jepang berdiri kokoh, seorang pria tua berdiri di depannya sambil menyirami pohon tomat yang berada di depan rumah.

"Kakek!" Aku berteriak sambil berlari.

Kakek hanya memandangiku. Dari mimik wajahnya terlihat ia sedang kebingungan dan agak terkejut. Aku baru sadar tubuhku sudah berubah dari sebelumnya entah mengapa. Pantas saja ia tidak mengenaliku.

Di belakang kakek berdiri seorang pria muda berumur sekitar 20-an. Ia menggunakan baju adat Jepang dengan perpaduan warna hitam dan putih. Rambut hitam pria itu mengkilat dan tertata rapi.

Pria itu tersenyum kepadaku, matanya berbinar. Senang? Entah apa yang dapat menggambarkannya. Aku hanya berlari ke arah kakek.

"Kau sudah kembali?" Kakek berkata dengan lembut sambil mengelus rambutku. Kemudian ia menatap Emilio yang mengikutiku dari belakang. "Tolong segera tinggalkan tempat ini, kau tahu kan tempat ini tanah privasi?"

"Kakek mengenal Emi?" Aku bertanya kepadanya.

"Gantilah bajumu dulu, aku tidak ingin orang yang menginjak tanah ini menggunakan pakaian seperti itu."

Aku menundukkan tubuhku kepada Emilio untuk berterimakasih kepadanya. Kakek memang seperti itu dari dulu, ia tidak mengizinkan orang lain masuk ke pekarangan kami. Tapi, mengapa ia mengizinkan pria berambut hitam itu masuk ke tanah ini?

Emilio hanya tersenyum dan berbalik pergi meninggalkan kami. Aku juga berbalik dan berjalan menuju rumah. Kakek masih sibuk meyirami tanaman tomat kami.

Di kamarku hanya ada pakaian adat Jepang, aku memang diharuskan untuk menggunakan pakian adat Jepang di tempat ini. Padahal pakaian itu membuatku sulit berjalan.

Aku memilih pakian adat Jepang berwarna putih dengan corak bunga berwarna merah. Aku memandang kesekelilingku, kamarku masih tertata seperti dulu.

Aku meninggalkan kamarku dan menuju ke ruang keluarga. Kakek sudah menungguku di sana dan pria berambut hitam itu menuangkannya teh. "Duduklah." Kakek berkata sambil menatapku.

Aku duduk tepat di depan kakek. "Aku-"

"Tenang saja, aku tidak terkejut dengan perubahanmu. Mungkin akan ada banyak pertanyaan memenuhi benakmu, tapi seiring berjalannya waktu kau akan tahu jawabannya."

Hah? Apa-apaan itu? Bagaimana bisa aku mengerti apa yang terjadi padaku? Tubuhku tiba-tiba berubah, aku bertemu penyihir, ah sudahlah. Aku hanya terdiam. "Yah, aku rasa aku butuh waktu untuk banyak berpikir."

Kakek hanya tersenyum. "Aku harus beristirahat. Kau bisa berjalan-jalan ke hutan atau pekarangan."

Aku mengangguk dan membantu kakek berdiri. Langit hari ini berwarna biru cerah, sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku mencari jamur di hutan.

Aku segera keluar dari rumah dan berjalan menuju hutan. Aku menghirup udara di hutan ini, segar. Terbebas dari keramaian kota.

🍀🍀🍀

"Tuan, kau tidak perlu melakukan hal semacam itu." Aku berlutut di hadapan pria itu.

"Biarkan aku berbuat seenakku kali ini saja, Dekard. Biarkan aku berpura-pura menjadi pelayanmu. Lagipula, ini juga rumahmu." Pria tampan yang menggunakan baju adat Jepang berwarna hitam-putih itu menatapku dengan lembut.

"Tapi, tuan aku-"

Pria itu membalikkan tubuhnya. "Dekard, kau bukan lagi pelayanku. Aku masih ingat ketika kau muda dan melayaniku." Pria itu tersenyum kecil.

"Umurmu sudah mencapai batasnya, kau bukan lagi pelayanku. Jadi, biarkan aku melakukan yang aku inginkan." Pria itu menatapku.

Tatapannya masih lembut seperti dulu, wajah tampannya masih seperti dulu. Aku hanya pelayan yang menua, tapi ia tak lapuk oleh waktu.

"Hei Dekard, aku sudah memutuskan untuk bunuh diri jika keluarga Leuvour akan membunuh anak perempuannya. Tapi, anak itu sekarang sudah besar. Sudah beratus-ratus tahun berlalu, penantianku tidak sia-sia."

Aku menangis, seberapa banyak beban yang tuanku telah tanggung dengan pundaknya yang rapuh. Ia terus menunggu dan menunggu, kini ia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Pelayan apa yang tidak terharu melihatnya.

"Kau bisa membiarkanku berpura-pura menjadi pelayanmu, kan?" Ia menatapku.

Sepertinya hanya ini yang bisa aku lakukan untuk tuanku. "Ya, tentu saja, tuan." Aku bersujud di hadapannya.

Ia tertawa. "Berhentilah seperti itu. Sekarang aku yang menjadi pelayanmu."

Aku menghapus air mataku, kemudian berusaha untuk berdiri. Tubuhku sudah menua, bahkan untuk berdiri saja sangat sulit.

"Aku akan pergi mencari Emma." Ia berjalan keluar ruangan. Mencari Emma. Mencari seseorang yang sangat berharga baginya.

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang