Aku terbaring di tempat tidurku yang mewah. Tubuhku terasa pegal. Aku sudah mengendarai sapu terbang selama lima jam. Aku menutup mataku perlahan, tiba-tiba muncul di benakku bayang Juno dan Gerry. Mereka belum pulang hingga saat ini.
Pertempuran kami dan penerus keluarga Louvour itu akan menjadi berita heboh, apalagi kami mengeluarkan monster batu.
Aku menyentuh keningku. Kepalaku terasa berat. "Ibu pasti akan memarahiku." Aku meringis. "Tapi, setidaknya kami berhasil membawa Emma ke asrama Odisea." Aku bergumam kecil, entah hal apa yang akan kami lakukan bersama nantinya.
Aku mengenang masa kecilku bersama Emma, aku ingat kami sering bermain bersama dan mencari belut di sawah. Tapi, hingga saat ini ia belum mengingat masa lalunya.
Aku berusaha duduk di tempat tidurku, lalu mengambil album foto yang terletak di atas meja kecilku. Aku membukanya perlahan, di halaman pertama terpampang jelas wajah Emma saat masih kecil. Ia tetap cantik seperti saat ini, tapi pada saat itu rambut hitamnya yang berkilau menambah kecantikannya. Aku tersenyum pahit.
Aku membalikkan lembar demi lembar album itu, hanya wajah Emma yang berada di dalamnya. Aku menatap salah satu foto yang berada di halaman kelima album itu.
Terpampang wajah seorang anak laki-laki berambut hitam dan Emma sedang duduk di tengah taman bunga. Emma terlihat sedang melukai anak itu dengan tentakelnya yang berwarna hitam, namun aneh, anak itu tetap tersenyum.
Aku memukuk tembok dan meneteskan air mataku. "Kenapa harus dia? Bukan aku?" Aku geram. Mengapa di antara beribu orang, harus anak itu yang menjadi pilihannya? Aku menangis. Aku selalu cengeng jika menyangkut hal tentang Emma.
*tok tok*
"Masuk." Kataku sambil menghapus air mataku. Seharusnya aku tidak membuka album itu lagi.
Seorang pria berjubah kuning kecoklatan masuk ke ruanganku. "Nona Emma sebentar lagi akan menghadap Madam Selena."
Berita itu singkat, padat, dan jelas, tapi cukup untuk mengguncangku. Apakah ibu ingin segera memberi tahu kebenarannya? Seharusnya ia tidak gegabah seperti ini. Aku menggigit bibir bawahku.
"Batalkan semua acaraku hari ini! Aku akan menghadap ibu." Aku memerintahkan pria itu.
"Siap, tuan." Ia membungkuk lalu keluar dari kamarku.
"Arghhh!" Aku berteriak. Geram. Seketika listrik keluar dari tubuhku dan menyambar apapun yang berada di dekatnya, hingga kamarku saat ini menjadi gosong. Aku selalu seperti ini jika sedang kesal.
"Tuan muda pasti sedang kesal." Terdengar bisikan dari pelayan-pelayan yang baru saja melewati kamarku.
"Iya, sepertinya kita harus merenovasi kamarnya lagi." Pelayan yang lain menjawab.
Aku mengacak-acak rambut coklatku. Geram. Terkadang aku berpikir, seandainya warna rambutku hitam mungkin Emma akan memilihku.
Aku segera bangun dari tempat tidurku, menggunakan jubah kebesaranku, dan melangkahkan kakiku ke ruangan pribadi ibu. Aku akan mencegahnya bertemu dengan Emma. Emma masih belum siap untuk bertemu dengan ibu ataupun mengetahui kebenaran.
Aku berjalan melewati lorong-lorong yang bernuansa Yunani kuno. Aku mendengus kesal, seharusnya ibu meminta persetujuanku terlebih dahulu.
*Who can say where the road goes?
Where the day flows?
Only time
And who can say if your love grows
As your heart chose?
Only time*Suara nyanyian seorang wanita. Aku sangat mengenal suara ini. Aku menolehkan wajahku ke arah suara, berusaha mencari si pemilik suara.
Wanita itu menyadarinya dan menoleh ke arahku. Aku berlarian ke arahnya. Iya, dia adalah ibuku. Madam Selena.
"Kau sedang mencariku, kan?" Ia berhenti bernyanyi dan melirikku. "Aku tahu apa yang kau inginkan, Emilio." Ia berkata lagi.
"Kalau kau sudah tahu tolong jangan meneruskan perbuatanmu."
"Shadow dan pasukan surga itu sedang menuju kemari. Ibu rasa Grimore juga akan bergerak."
"Shadow? Bagaimana bisa? Belum saatnya bagi mereka untuk menampakkan diri."
"Entahlah, ibu hanya merasakan getaran energi milik mereka. Pekat dan gelap." Ibu melangkahkan kakinya mendekatiku. Ia menyentuh wajahku. "Apakah kau baru saja menangisi takdirmu?"
"Aku menyesal mengajak orang itu ke mansion Leuvour." Aku berkata pelan.
"Aku rasa sudah waktunya bagimu untuk melupakan obsesimu, berhentilah menguntitnya dan lupakanlah dia. Adikmu sudah memilikinya."
"Ini cinta, bukan obsesi. Aku tidak menguntitnya, aku hanya mengaguminya dari kejauhan." Aku menelan ludahku. "Dan satu hal lagi, adikku hanya dijadikan pelayannya."
Ibu hanya tertawa kecil. "Terserah padamu. Tapi, jika kau bertemu dengan adikmu aku ingin ka-"
"Aku akan membunuhnya dan menjadi penggantinya." Aku memotong kalimat ibu dan berbalik badan, meninggalkan ibu di taman bunga itu.
---------------
Terimakasih telah membaca novel saya! Ikuti terus kelanjutannya! 😊😊😊-oreo

KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER
Romance#bahasaindonesia Pernahkah kalian bermimpi tentang seseorang? Mungkin kalian akan menganggap orang itu hanya imajinasi kalian saja. Tetapi, bagaimana kalau kalian memimpikan orang yang sama secara terus-menerus. Novel ini mengisahkan tentang Emma...