Bab 19

156 18 1
                                    

Pria itu menggendong Emma dan berjalan ke arahku. Di belakangnya Emilio terjatuh dan hanya bisa menganga. Ia membeku di tempatnya. Kemudian, pria itu menyerahkan Emma kepadaku.

"Jaga Emma untukku." Pria itu bersuara lembut.

Aku hanya bisa mengangguk kecil dan menatap Emma. Tubuh Emma telah kembali ke tubuh semulanya. Dadaku terasa sakit mengingat masa lalu. Aku perlahan memindahkan tubuh Emma ke pelukanku.

Pria itu mendekatkan kepalanya ke tubuhku. "Bawa Emma ke tempat dengan perlindungan super ketat. Aku akan mencari pelaku di balik kejadian ini." Ia berbisik.

Aku hanya melebarkan mataku. "Iya, aku akan menjaganya." Aku ikut berbisik.

Pria itu kemudian memundurkan kepalanya sedikit dan mengambil korek apinya. Ia menyalakan korek api itu.

Bayangan pria itu kemudian membesar dan membentuk kubah besar yang mengelilinginya. Kubah itu menjadi bola dan terbang ke langit, lalu menghilang.

Aku membalikkan tubuhku, meninggalkan Emilio yang masih membeku di tempatnya. Aku menggendong Emma meninggalkan tempat itu.

Setiap langkahku, aku mendengar suara hembusan nafas Emma tepat di dadaku. Sangat lemah. Tangan kirinya terdapat tato salib keluarga Leuvour dan tangan kanannya penuh dengan luka. Miris.

Letak Odisea ini berada di atas bukit. Banyak rintangan yang harus dilalui untuk mencapai tempat ini, tapi aku bisa mencapainya dengan mudah karena tadi aku memanggil malaikat.

Aku menyandarkan Emma di salah satu pohon besar di dekat kami. Lalu, aku mengiris ibu jari tangan kananku. "Datanglah Pamvent!"

Pamvent datang dan langsung menghormat. "Gunakan pusaka suci ke-4 keluarga Leuvour." Aku memerintahkannya sambil berusaha duduk tepat di sebelah Emma.

"Baik." Dari tubuh Pamvent keluar cahaya putih kebiruan. Ia kemudian mengaktifkan lingkaran sihir. Lingkaran sihir terbentuk tepat di tanah tempatnya berdiri.

""Aku, pelayan setia keluarga Leuvour, Pamvent, memanggil pusaka ke-4 keluarga Leuvour. Rorinto!" Pamvent berkata dengan lantang.

Seketika muncul sebuah kereta kuda dengan roda emas. Kereta itu ditarik oleh seekor kuda putih bersayap dan di lehernya dikalungkan lambang keluarga kami. Aku menaikkan Emma ke atas kereta kuda itu.

"Jalankan keretanya!" Aku memerintahkan Pamvent. Pamvent duduk di kursi kusir dan mulai mengendalikan kuda bersayap itu. Rorinto--nama kereta ini--terbang. Dengan begini kami bisa sampai ke rumah dengan lebih cepat.

Aku memindahkan kepala Emma dengan lembut ke lengan kananku agar ia menjadi lebih nyaman. Tangan kananku memegangi pundaknya. Aku dapat merasakan tulangnya. Kurus dan rentan. Seakan mudah rapuh.

Dulu aku tidak bisa menyentuhnya seperti ini. Hanya pria itu yang selalu memeluknya. Aku menggigit bibir bawahku. Kalau ia mengingat lagi masa lalu maka rencana yang sudah sejak lama dipersiapkan akan hancur.

"Tuan, kita sudah sampai." Pamvent membangunkanku dari lamunanku.

Aku mengendong Emma dan memasuki rumahku. Ayah sudah duduk di sofa yang berada di pinggir ruang tamu. Ia menungguku.

"Kau tahu apa yang telah kau lakukan, kan?" Ia berkata dengan suara serak.

"Aku tak punya pilihan lain." Aku menjawabnya dengan nada datar dan wajah datar. "Aku akan membaringkan Emma di kamarku setelah itu kita bisa berbicara." Aku mendahuluinya dan berjalan ke kamarku.

Kamarku berada di lantai dua rumahku. Aku menggendong Emma dan membaringkannya di tempat tidurku. Ia tertidur pulas. Aku kemudian mengiris jari kelingking tangan kananku. "Datanglah Lucia!"

"Ada apa, tuanku?" Ia menghormat.

"Ganti baju Emma." Kataku singkat, padat, dan jelas, lalu meninggalkan ruangan.

Aku menuruni tangga dan berjalan menuju ruang tamu. Ayah masih duduk di sofa itu. Menungguku. Ia menatapku dengan tatapan sayu. Aku terduduk di depannya.

"Kalau keluarga pendeta yang lain melihatmu tadi maka habislah kau. Uhuk!" Ia berkata dengan nada kejam.

"Seperti yang telah aku katakan tadi, aku tak punya pilihan lain."

"Kau memanggil empat malaikat sekaligus. Hanya pendeta yang berumur 40 tahun dan setia menyembah langit lah yang bisa memiliki kekuatan seperti itu."

Memang dari kecil aku bisa memanggil banyak malaikat sekaligus. Saat aku masih berumur 6 tahun aku sudah bisa memanggil kelima pelayanku sekaligus. Biasanya anak seumuranku hanya bisa memanggil 2 pelayan dan itu pun sudah memerlukan energi yang banyak.

"Kau berbeda. Itu yang membuatmu istimewa. Kalau sampai keluarga Levarda atau Solano mengetahui ini maka mereka tidak akan diam saja."

"Aku tahu itu." Keluarga Levarda dan Solano itu memang sering berebut kekuasaan dengan keluarga kami. Keluarga kami memiliki berbagai hak istimewa di gereja karena kakek moyangku adalah orang yang pertama kali menyembah langit, sehingga kami sebagai keturunannya mendapat hak istimewa.

Biasanya akan ada turnamen tertentu yang diadakan bagi setiap keluarga kaum pendeta. Pemenangnya akan mendapatkan beberapa hak istimewa dari gereja.

Turnamen itu adalah semacam adu keahlian sihir roh atau pengetahuan tentang gereja. Apabila Solano dan Levarda mengetahui kekuatanku yang istimewa ini maka mereka akan mencelakaiku sebelum turnamen dimulai. Aku bisa mengerti sedikit kekhawatiran ayah.

"Jaga dirimu baik-baik dan jaga Emma baik-baik." Ia berkata sambil berusaha berdiri.

Aku tanpa diminta, membantunya berdiri. "Apakah kau masih berniat menikahi Emma?" Ia bertanya. Pertanyaan ini terakhir kudengar saat aku masih berumur 12 tahun.

"Ya, aku sudah menguatkan hatiku." Aku menjawab dengan tegas. Aku tidak ingin kejadian di masa lalu terulang. Penyesalan yang menusuk hatiku hingga saat ini.

Ayah hanya tersenyum, lalu ia menepuk punggungku dengan lembut. Aku membantunya berjalan menaiki tangga sambil berbincang-bincang dengannya. Ini pertama kalinya ayah berbicara panjang lebar denganku.

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang