Bab 26

133 16 0
                                    

"Mudah saja menentukan pelakunya." Dylan berkata lagi. "Karena semua tetua Odisea hanya bisa mengendalikan satu elemen, maka cari saja tetua yang menggunakan sihir tanah atau tumbuhan."

Aku melipat kedua tanganku di dada. "Pendapatmu salah mengenai tetua Odisea hanya menguasai satu elemen. Semua tetua Odisea menggunakan paling banyak tiga elemen."

"Elemen tumbuhan dan tanah paling banyak digunakan, karena merupakan elemen dasar yang sudah diajarkan sedari kecil." Ibu menambahkannya.

Wajah Dylan tampak kesal. Aku tersenyum puas. "Lalu, mengapa kau hanya menguasai satu elemen? Kau salah satu tetua, kan?" Dylan menjawabku dengan nada yang benar-benar sombong.

Dylan itu memang manusia yang paling memiliki banyak akal. Ada saja celah yang ia temukan di setiap perkataanku. "Ya, aku pengecualian." Aku membuang harga diriku untuk menjawabnya.

Dylan kembali tersenyum licik. "Kalau begitu seharusnya kau mengganti kata 'semua' menjadi 'hampir semua'." Ia merendahkanku lagi.

Ibu hanya menatapku dengan pasrah, lalu menoleh ke arah Dylan. "Kau sudah tahu kondisi adikmu ini, tapi kau masih saja merendahkannya? Aku tahu sangat sulit untuk menganggap kami sebagai keluarga, tapi kalian sudah bersama-sama sejak lama, apakah kau masih belum bisa menerimanya?"

"Maaf, tapi yang lebih sering bersamaku itu bukan Emilio." Dylan menatap ibu dengan tajam.

"Apa maksudmu? Jelas-jelas Emilio yang selalu bermain bersamamu!" Ibu mulai berteriak.

Aku hanya bisa menggigit bibirku. Takut rahasia ini akan terungkap nantinya, aku tidak mau Dylan yang memberi tahu ibu rahasia ini.

"Aku mulai meragukan jabatanmu sebagai salah satu tetua Odisea."

"Bisakah kau berhenti merendahkan kami?" Aku mulai kesal dengan sikap Dylan. "Jangan selalu menganggap kaummu adalah kaum dengan kasta tertinggi."

Dylan membuang muka. "Aku bahkan tidak mengatakan kaumku memiliki kasta tertinggi. Apakah kau merasakan kaummu lebih rendah daripada kaum kami?" Dylan tersenyum. Aku tak suka melihat senyumnya.

Ibu memijat keningnya dan membalikkan tubuhnya. Mimik wajahnya seakan mengatakan 'Mengapa aku menikah dengan pria yang memiliki anak yang kurang ajar seperti ini?'

"Aku akan menyelidiki kasus ini lebih lanjut." Aku berusaha menaikkan derajatku dihadapannya.

"Tidak, tidak perlu. Kau itu tetua ke-10, kan? Kau tidak akan mendapatkan persetujuan untuk menyelidiki kasus semacam ini. Biar aku saja yang melakukannya." Dylan berusaha bangun dari tempat duduknya.

Sikap macam apalagi itu? Keterlaluan! "Hei, memangnya apa jabatanmu sampai kau berhak menyelidiki kasus ini, ha?"

"Apakah kau lupa kaummu menganggap kaumku derajatnya lebih tinggi? Apalagi aku merupakan anak angkat dari tetua ke-5. Pernikahan Selena dengan ayah bertujuan untuk mempererat hubungan kaumku dengan kaummu, kan? Mereka tidak mungkin menolak keinginanku." Kata Dylan dengan percaya diri.

Aku menganga dibuatnya. Percaya diri, banyak akal, dan kurang ajar sudah menjadi ciri khas Dylan. Aku heran mengapa banyak sekali wanita yang tergila-gila dengannya.

"Kalau begitu, Emilio kau bertugas untuk membawa Emma ke kediaman kakek. Ibu yakin kakek bisa melakukan sesuatu." Ibu menatapku.

Dylan terdiam. "Apa?!" Ia sepertinya sedang terkejut. "Kemana kalian akan membawa Emma? Kepada kakek siapa? Aku harus ikut!" Dylan panik dengan sendirinya.

Aku dan ibu hanya menganga melihatnya. Akan aku tambahkan di catatanku bahwa selain kurang ajar, Dylan itu juga mudah panik.

"Bukankah kau akan mengurus kasus? Lebih baik kau urus dulu kasus itu. Biar aku yang menangani Emma." Aku mulai mendekati Emma dan perlahan menggendongnya.

"Kau pikir aku bisa menyerahkan Emma kepada pria sepertimu?!" Ia mulai berteriak.

"Argh, sudahlah. Kau berisik sekali!" Baru pertama kali aku bertemu seorang pria yang berteriak seperti perempuan.

Dylan memijat keningnya. Terdengar suara hembusan nafas Dylan. "Ya, kali ini akan kubiarkan kau membawanya."

Aku menghembuskan nafas dengan lega. Seperti baru saja kentut setelah menahannya begitu lama.

"Tapi," Dylan mulai berjalan ke pintu kamarnya. "Jangan menyentuh kulitnya, jangan menggunakan sihir, jangan membicarakan Grimore, jangan memberi tahu identitasmu yang sebenarnya, jangan-"

"Iya, aku tahu apa yang harus kulakukan." Aku memotong perkataannya yang panjang-lebar.

Dylan meninggalkan ruangan bersama ibu, mereka pasti bergegas menuju kastil Odisea. Aku menggendong Emma keluar kamar Dylan dan menuju ke parkiran.

Terdengar samar-samar suara Dylan yang memerintahkan pelayannya untuk kembali. Aku membungkus tubuh Emma dengan selimut untuk menghindari kontak antar-kulit.

🍀🍀🍀

Aku menyetir mobilku dengan kecepatan 75 km/jam. Kebetulan jalan ke rumah kakek cukup sepi dan aku sedang terburu-buru. Emma tertidur di sebelah kiriku. Lebih tepatnya ia tak sadarkan diri.

"Gamiel." Emma mengigau.

Hatiku seperti tercelos. Andai saja aku tak termakan rayuan pada saat itu, mungkin saja Emma akan menyebutkan namaku saat ini.

"Jangan tinggalkan aku lagi." Ia mengigau lagi.

Apa yang sudah kuperbuat dulu itu memang tak bisa dimaafkan. Aku menggigit bibir bawahku. Kemungkinan Emma akan dihapus lagi ingatannya. Kami tidak akan saling mengenal lagi, dan aku akan mulai mendekatinya lagi.

Tapi, umurnya sudah mendekati masa kontraknya. Waktuku untuk bersamanya tidak banyak.

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang