Bab 10

239 20 0
                                    

"Gerry aku serahkan Dylan kepadamu!" Aku berteriak pada Juno.

Juno mengangguk ringan dan mengaktifkan sihir pemanggil. "Dengan darah dan daging ini, aku Gerry, mengatas namakan Odisea, memanggilmu wahai monster batu. Datanglah dan lindungi kami dari segala marahabaya!"

Lingkaran sihir besar muncul di bawah kaki Gerry dan monster yang terbentuk dari batu muncul dari lingkaran sihir itu.

Malaikat yang dipanggil Dylan itu telah membelah langit, ia turun dengan kecepatan ekstra dan menghantam kami, untungnya moster batu Gerry menghalanginya. Monster batu itu hancur menjadi ribuan batu.

Aku dan Juno meninggalkan Gerry sendiri. Kami terbang menggunakan sapu ajaib kami. Aku tahu penyihir elemen seperti kami tidak mungkin bisa mengalahkan malaikat kaum pendeta, tapi kami tak punya pilihan lain. Aku menggigit bibir bawahku.

"Hei Emi! Jangan tegang!" Juno tersenyum padaku.

"Berhenti memanggilku Emi! Aku tidak tegang!" Aku membela diri.

"Emi, bolehkah aku turun dan membantu Gerry? Tanganku gatal, aku sangat ingin melawan penerus keluarga Louvour itu lagi!" Nada suaranya seperti psikopat yang sedang haus akan darah.

"Lakukan saja semaumu, tapi aku tidak menanggung akibatnya." Aku mengalihkan pandanganku pada Emma. Ia masih tertidur. Aku mengelus rambutnya, ia masih cantik seperti dulu.

"Baiklah kalau begitu! Aku akan bersenang-senang!" Juno memutar kendali sapu terbangnya. Ia kembali ke tempat Gerry berada.

Aku menoleh, menatap Juno dan Gerry yang melawan malaikat itu. Tanah itu bisa rata menjadi tanah. Berpuluh-puluh orang berlarian keluar melihat kejadian itu.

"Hei Gerry, biarkan aku membantumu!" Teriakan Juno terdengar sampai tempatku berada.

Terlihat dengan jelas Gerry memanggil lima monster batu sekaligus dan Juno menggunakan sihir apinya untuk melapisi monster batu Gerry. Monster itu terlihat bagaikan monster api tapi ia keras bagai batu.

Aku membawa Emma dan melesat ke persembunyian Odisea. "Tunggu aku ibu!"

🍀🍀🍀

"Ayo Emma! Kau pasti bisa!" Suara anak itu lagi. Gamiel. Ia sedang menyemangatiku, entah untuk apa.

Aku menatap ke sekeliling, Dylan versi kecil berdiri di sebelahku. Ia mengiris ibu jari tangan kanannya. "Datanglah Pamvent!" Seketika itu juga seorang pelayan pria yang sudah agak tua muncul.

"Aku hanya akan mengajarimu sekali jadi kau harus memperhatikanku!" Dylan berkata dengan memerintah.

"Kaum pendeta seperti kau dan aku dapat memanggil pelayan. Pelayan kita adalah roh yang setia melayani kita sampai akhir hayat. Pelayan biasanya diberikan turun temurun oleh leluhur kita, atau bahkan roh leluhur kita yang menginginkan diri mereka sendiri menjadi pelayan kita."  Dylan berkata panjang lebar.

"Ugh menyebalkan sekali pelajaran kaum pendeta ini! Ayo kita belajar sihir elemen saja, Emma!" Gamiel merengek.

"Huh, kau itu berkata seperti itu karena kau bukan kaum pendeta." Dylan menatap Gamiel dengan angkuh. "Emma, diamlah di sini. Pembelajaran ini lebih penting daripada pembelajaran tentang sihir elemen."

"Jangan karena derajat kaum pendeta lebih tinggi kau seenaknya dengan kaum penyihir!" Gamiel membentak Dylan, ia tidak terima dengan semua hal yang dikatakan Dylan.

"Kaum penyihir akan selamanya berada di bawah kaum pendeta!"

"Kau keterlaluan! Bagaimana kalau kita adu saja? Sihir roh melawan sihir elemen." Gamiel berkata dengan percaya diri. "Kau tahu bahwa aku adalah keturunan dari penyihir terhebat sepanjang masa, kan?"

"Ya, dan kau juga tahu bahwa aku adalah keturunan terpilih keluarga Leuvour, kan?"

Mereka terus berdebat, sedangkan aku hanya memandang mereka dengan tatapan bingung. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka bicarakan.

"Ayo kita berduel!" Gamiel menantang Dylan.

"Aku tidak mau menanggung apa yang akan terjadi padamu nantinya." Dylan menatap Gamiel dengan tatapan merendahkan.

Entah mengapa ini semua terasa menyeramkan. Aku merinding. Mengerikan. Padahal ini hanyalah mimpi, tapi ini terasa nyata.

Dylan mengiris semua jari tangan kanannya. "Datanglah pelayan-pelayan setiaku!" Pelayan-pelayan Dylan itu berdiri di belakangnya.

Gamiel menggerakkan bibirnya, seperti sedang membaca mantra khusus. Ia mengangkat tangannya dan membentuk jemarinya seperti pistol, dari jemarinya itu keluar peluru api. Pelayan-pelayan Dylan itu mulai menyerang Gamiel.

"Teleport!" Gamiel berteleportasi ke langit.

"Pamvent, Jose, Lucia, buka segel kalian!" Dylan memerintahkan pelayan-pelayannya.

Gamiel terus menerus berteleportasi di udara, menghindari serangan pelayan Dylan. "Aku, dengan kuasaku sebagai keturunan penyihir Odisea, memanggilmu penjaga alam!" Seketika terbentuk lingkaran sihir raksasa di tanah. Monster besar keluar dari lingkaran sihir itu. Monster itu berbentuk seperti manusia batu raksasa yang memiliki pohon tumbuh di atas punggunnya.

Gamiel mengangkat tangan kanannya ke atas. Monster itu melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Gamiel.

Gamiel mengucap mantra, "Datanglah air." Gelombang air datang dan membentuk bola di atas tangan monster itu.

"Datanglah angin!" Angin semilir mengelilingi bola air di atas tangan monster itu.

"Datanglah api!" Percikan api datang entah darimana dan mengelilingi bola air angin.

"Datanglah tanah!" Tanah terbelah dan terangkat ke atas tangan monster itu. Mereka membentuk bola aneh berwarna kecoklatan.

"Datanglah petir!" Petir menyambar dari langit, turun bergabung dengan bola elemen itu.

Monster itu mengangkat tangan yang satunya, seperti menggenggam bola elemen itu.  "Bersiaplah Dylan!"

Aku ketakutan melihat hal semacam ini. Tiba-tiba tanganku bergerak dengan sendirinya. Aku tiba-tiba menggigit ibu jari tangan kananku.

"Dengan kuasaku sebagai anak dari penyihir ternama, Steph, dan penguasa para iblis, Hades, aku memanggilmu, wahai pelayan setiaku, datanglah Succubus!"  Aku mengucap mantra?

Seketika semuanya gelap, entah apa yang terjadi.

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang