Bab 3

643 33 0
                                    

"Emma? Kau baik-baik saja kan?" Anak laki-laki itu lagi. Ia menyentuh wajahku dengan tangan-tangan kecilnya sambil memperhatikan seluruh tubuhku.

Aku melihat suatu pemandangan yang sangat indah. Terbakarnya sebuah rumah bermodel kuno. Sangat indah. Aku tersenyum, tapi entah mengapa aku menangis. Menangis sejadi-jadinya.

Ia memelukku dengan erat. "Tenang saja, aku akan selalu melindungimu dari orang-orang yang tidak menginginkanmu untuk hidup." Aku menangis dalam pelukannya.

"Argh" Ia mendesah. Aku merasakan ada sesuatu yang bergerak di dalam tubuhnya.

"Kutukannya. Aku sudah sakit parah. Tinggalkan aku di sini. Lari!"

"Bagaimana bisa?"

Aura hitam pekat mengelilinginya. Ia menjerit dan terus menjerit. Pemandangan macam apa ini. "Temui aku di tempat persembunyian kita." Katanya kesakitan. Aku berlari entah kemana.

🍀🍀🍀

Aku bermimpi lagi. Aku memimpikannya. Apakah ia adalah bagian dari imajinasiku? Hal semacam kebakaran rumah dan aura gelap semacam itu tidak mungkin nyata, kan?

"Emma? Kau sudah bangun?" Suara Dylan. Ia tersenyum. "Kau pasti kelelahan hingga tertidur pulas."

Aku baru ingat kami sedang dalam perjalanan ke sebuah restoran di dekat rumah Dylan. Kenapa aku harus tertidur di mobil Dylan? Arghh! Ini membuatku frustasi, mau kutaruh dimana mukaku? Aku mengacak-acak rambutku.

Dylan tertawa. Entah mengapa aku seperti pernah melihat senyuman itu. Senyumannya hangat seperti senyuman anak di mimpiku. Kira-kira bagaimana wajah Dylan saat masih kecil ya?

Aku mulai membayangkannya. Tapi, entah mengapa aku merasa aku pernah melihat Dylan saat kecil. Kepalaku mulai terasa sakit.

"Lupakan lupakan lupakan lupakan" Suara seseorang terngiang di kepalaku. Ia terus mengatakan "Lupakan". Lupakan apa? Apa yang terjadi?

"Aku akan kembali." Suara anak itu bergema di kepalaku. "Jangan bersama orang lain, hanya aku yang kau butuhkan." Suara-suara itu bergema di kepalaku.

Aku menutup telingaku, berharap semua suara itu akan menghilang. Mataku berair, kepalaku sakit. "Tolong aku." Aku berbisik.

"Emma? Kau baik-baik saja?" Dylan meminggirkan mobilnya. Ia memelukku. "Kau akan baik-baik saja." Kata-katanya itu mengingatkanku pada sesuatu, entah apa.

Aku tak sadarkan diri lagi.

🍀🍀🍀

"Tidak apa, kau akan baik-baik saja." Seorang anak laki-laki memelukku dengan erat.

Anak itu lagi? Tidak, bukan. Tubuhnya lebih ramping dan rambutnya tersisir rapi. Siapa anak ini?

"Bagaimana pun juga kau itu tetap adikku. Aku harus melindungimu dari pendeta-pendeta yang ingin membunuhmu, kan?" Anak itu memelukku lebih erat.

"Emma! Jauhi orang itu!" Itu suara anak yang biasanya hadir di mimpiku.

Anak yang sedang memelukku itu menoleh ke arah suara. Ia tersenyum ke arah suara itu.

"Emma, jauhi dia!" Anak yang biasanya hadir di mimpiku berteriak dengan keras sambil berlari ke arahku.

Anak yang sedang memelukku itu mengangkat tangannya dan mengarahkannya ke anak yang biasanya hadir di mimpiku.

Anak yang biasanya hadir di mimpiku itu berteriak. Tapi aneh teriakannya tidak terdengar. Ia masih berlari ke arahku, namun tiba-tiba ia terlempar ke belakang.

"Aku mohon, jangan ganggu kakakmu ini." Ada semacam cahaya putih kebiruan mengelilingi kami bagai benteng.

"Dasar b*ngs*t! Lepaskan Emma!"

"Emma, tunggu aku di nirvana."

Dadaku terasa sakit. Aku menunduk melihat dadaku. Ia menusukku dengan pisau yang terukir salib di ganggangnya.

Aku terjatuh. Darah bercucuran dari dadaku. Apa yang terjadi? Mengapa aku harus mengalami hal seperti ini? Aku merasakan sesuatu keluar dari tubuhku.

Anak yang sering hadir di mimpiku meneteskan air mata dari matanya. Ia menangis. Ia berteriak. Meriaki namaku.

🍀🍀🍀

Aku terbangun di kamar Dylan. Lagi. Kepalaku terasa berat. Dengan susah payah aku berusaha duduk.

Aku bangun dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar. Dylan tidak ada. Aku sudah mencari ke segala penjuru rumahnya, tapi batang hidungnya tak kelihatan.

"Sebaiknya aku pulang saja." Aku mengambil barang-barangku dan menuliskan pesan untuk Dylan. Aku sudah tidak mau menyusahkannya.

"Aku pulang ke apartemenku, maaf telah merepotkanmu." Bunyi pesanku.

Rumah Dylan sangat besar, mungkin 12 orang bisa tinggal di rumah ini. Entah mengapa aku mengingat dengan jelas jalan keluar dari rumah ini, padahal jalanannya berliku-liku dan membibgungkan. Ah sudahlah, mungkin ingatanku saja yang kuat.

Di dinding rumahnya tergantung banyak sekali lukisan. Rumah ini lebih terlihat seperti rumah hantu. Aku mempercepat langkahku. Aku ingin segera meninggalkan tempat ini.

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang