Bab 8

257 22 0
                                    

"Emma?" Anak laki-laki itu lagi. "Ayo kita main!"

"Gamiel?" Bibirku seperti biasa, tidak bisa dikontrol. Lagipula, siapa Gamiel? Anak itu, kah?

"Emma, ayo!"

"Kau seharusnya tidak boleh masuk ke tempat ini." Suaraku lemah, mengapa ia tidak boleh masuk ke tempat ini? Aku bingung.

"Tidak apa, tidak ada yang mengetahuinya." Ia berbisik.

"Kau akan terkena kutukan jika menyentuhku." Aku bingung lagi. Kutukan apa?

"Hm? Aku tidak masalah! Lagipula, Dylan bisa menyembuhkanku!"

Dylan? Apakah aku dan anak yang bernama Gamiel ini memiliki hubungan dengan Dylan? Mimpiku ini sepertinya sudah terlalu jauh.

"Aku akan membantumu melepaskan rantai ini sekarang." Sejak kapan juga aku dirantai, aku tidak merasakannya, mungkin karena ini mimpi.

Tangan dan kakiku dirantai, tapi mengapa? Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka lebar, seorang anak berambut coklat kepirangan masuk.

"Gamiel! Apa lagi yang kau lakukan?!" Anak itu berteriak keras.

"Sttt. Kalau kau berisik nanti ayah akan bangun!"

"Kau keterlaluan sekali! Apakah kau menggunakan sihir untuk membuat ayah tertidur?!"

Anak yang bernama Gamiel itu tertawa kecil. Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan? Aku tidak mengerti.

"Gamiel, kau tidak tahu betapa lelah kakakmu ini menyembuhkan luka kutukan itu!" Ia berteriak.

"Huft! Dylan kau tidak perlu melebih-lebihkannya." Gamiel masih berusaha melepaskan rantai yang mengikat kaki dan tanganku.

"Panggil aku kakak! Aku lebih tua setahun darimu!"

"Huft. Iya kak Dylan." Gamiel menoleh sejenak, lalu ia melanjutkan pekerjaannya kembali. "Bisakah kau pergi saja apabila kau tidak ingin membantu kami?"

"Kau gila, ya?" Anak yang disebut Dylan itu berteriak.

"Stt!!! Sudah kubilang jangan berteriak!" Gamiel berbisik. Tanpa sengaja Gamiel menyentuh pergelangan tanganku. Tiba-tiba bayang hitam mengelilingi bagian tangannya yang menyentuh pergelangan tanganku.

"Gamiel! Sudah kubilang!" Dylan kembali berteriak.

"Kau akan menyembuhkan adikmu ini kan, kak Dylan?" Gamiel tersenyum lebar ke arah Dylan.

Lalu, semuanya memudar. Semuanya putih. Aku akan terbangun.

🍀🍀🍀

Bruk!

Aku terjatuh dari tempat tidur. Kepalaku rasanya pusing. Apa yang terjadi tadi? Masih jelas di benakku peperangan antara cahaya dan bayangan. Ingatan itu terus terngiang di benakku, bagaikan film yang terus menerus diputar.

Kepalaku lebih sakit lagi saat aku memikirkan apa arti mimpiku yang barusan? Apakah itu Dylan? Tidak mungkin, kan? Ada banyak nama orang bernama Dylan di dunia ini. Tapi, warna rambut anak itu mirip sekali dengan warna rambut Dylan yang kukenal.

Aku mengacak-acak rambutku. Apa yang sebenarnya terjadi. Aku menatap kesekelilingku. Kamar ini, sepertinya aku mengenalnya.

Langit-langit kamar ini berwarna merah. Ini kamar Dylan! Lagi-lagi aku berada di kamarnya? Bagaimana ini? Wajahku memerah dan punggungku masih terasa sakit karena terjatuh dari tempat tidur Dylan.

Suara seseorang berlari menghampiriku. Dylan? Aku belum siap untuk bertemu dengannya saat ini! Setelah memimpikannya apakah aku harus menceritakan semuanya kepadanya?

"Emma? Kau sudah bangun? Apakah kau terjatuh?" Dylan menghampiriku sambil membantuku berdiri.

"Aku baik-baik saja. Jangan khawatir." Mengapa aku berbicara ketus sekali? Aku tak paham lagi. Aku harus menanyakan beberapa hal kepada Dylan, untuk memastikan.

"Dylan? Bisakah aku bertanya beberapa hal?" Aku menatapnya. Ia mengalihkan pandangannya.

"Aku juga ingin mengajukan beberapa pertanyaan untukmu." Ia tersenyum lemah, seperti seseorang yang kalah main poker berkali-kali.

🍀🍀🍀

Dylan menentukan tempat kami untuk berbicara. Kafe yang berada tak jauh dari rumah Dylan menjadi tempat pilihannya.

"Kafe ini terkenal dengan masakan Italianya. Tapi, makanan yang paling enak di kafe ini adalah lasagna." Dylan berbasa-basi.

"Ekhm. Kau ingin memesan apa?" Ia melanjutkan. "Kau belum makan sejak tadi pagi, aku tahu ini sudah tengah malam, tapi makanlah sedikit."

"Aku kehilangan nafsu makanku." Aku memang tidak lapar.

"Aku akan memesankanmu jus pisang, kau tunggu di sini." Dylan pergi ke kasir untuk memesan makanan dan jus.

Aku benar-benar harus memastikan beberapa hal. Apakah Dylan yang ada di mimpiku itu sama dengan Dylan yang aku kenal? Apakah ia memang memiliki adik?

"Ekhm." Dylan terbatuk. Sengaja untuk membangunkanku dari lamunanku.

"Jadi apa yang ingin kau tanyakan?" Aku bertanya kepadanya. Bisa saja pertanyaannya itu berhubungan dengan pertanyaanku.

"Ah, iya. Mungkin ini sangat tidak penting, tapi aku ingin kau menjawabnya."

Aku menganggukkan kepala. "Katakanlah."

"Apakah kau mengenal anak ini?" Ia menyodorkan sebuah foto. Di dalam foto itu terlihat seorang anak laki-laki yang kira-kira berumur 9 tahun tersenyum lebar.

Aku memperhatikan foto itu dengan seksama. Anak itu mirip seperti anak di mimpiku. Aku menatap Dylan, raut wajahnya tegang. "Aku tahu ini agak gila, tapi aku pernah melihat anak ini di mimpiku." Aku menunduk, ini benar-benar tidak wajar.

"Apakah kau tahu siapa namanya?"

Aku rasa aku mengingatnya sedikit. Siapa nama anak itu? Kepalaku mau pecah rasanya. Tapi, bukankah anak itu adik Dylan? Siapa nama anak itu, ya? Aku menggigit bibir bawahku. "Yang kuingat, nama anak itu diawali dengan huruf G. Mungkin Gordon atau Gilbert? Aku lupa."

Wajah Dylan berubah menjadi serius. "Kau yakin kau tidak mengingat namanya?"

Aku mengangguk kecil, aku tidak ingin berusaha mengingatnya. Kepalaku terasa sakit setiap ingin mengingat hal semacam itu.

-----------------------
Hai readers! Mungkin pada awalnya kalian bingung ketika membaca novel ini. Tapi, setelah membaca Bab 8 ini, kalian pasti setidaknya mengerti sedikit, kan?

Ikuti terus ya! Terimakasih telah bersedia membaca novel ini!

-oreo

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang