Bab 2

7K 379 26
                                    

Syelamat malam....

Typo? Sorry.....

Happy reading, enjoy this part.

Don't be silent reader, please!

========================================

Noura menatap koper-koper yang ada didepan matanya. Ia menghela nafasnya, akhirnya hari kepindahannya hampir tiba. Besok, ia dan Hans akan pindah ke daerah Menteng, tempat tinggal yang lebih dekat dengan kantor Hans yang berada di daerah Kebon Sirih.

Hati Noura masih terasa berat untuk meninggalkan rumah yang telah ia tempati selama puluhan tahun. Apalagi ia akan berpisah dengan Abah dan Ibu dan meninggalkan mereka hanya berdua. Noura membayangkan betapa kesepiannya orang tuanya tersebut. Jika mengingat hal tersebut, Noura tidak bisa menahan air matanya. Ia masih merasa sangat berat untuk pergi walaupun Hans telah memberinya waktu lebih dari yang dikatakannya sembilan hari yang lalu.

"Masih merasa sedih?" tangan Hans mengelus kepala Noura. Noura hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Hans. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya lalu menyandarkan kepalanya dibahu Hans.

"Apa kita batal pindah saja ya, Mas?" elusan tangan Hans terhenti mendengar pertanyaan Noura yang begitu menggelikan ditelinganya. Hans hanya bisa menghela nafasnya. Ia merasa kesabarannya sebagai suami diuji saat ini, seperti yang dikatakan Ustadz Rahmat saat ia berkonsultasi masalah emosionalnya Noura menyangkut kepindahan mereka.

"Katanya mau hidup mandiri? Kita tidak akan bisa mandiri kalau masih tergantung pada orang tua, Noura." Sejak keputusan untuk pindah diberitahukan oleh Hans, pembicaraan ini begitu sensitif untuk Noura dan Hans. Bahkan pembicaraan tentang hal tersebut membuat mereka sempat beradu argumen yang untung saja masih bisa mereka atasi tanpa diketahui oleh Abah dan Ibu.

"Tapi aku tidak tega, Mas." Hans dapat mendengar isak tangis Noura yang membuatnya kembali menghela nafas. Hans menangkup wajah Noura dan menariknya hingga ia bisa melihat dengan jelas wajah Noura yang berlinang air mata.

"Kita masih bisa pergi kesini kapanpun kau mau, oke?" Noura hanya menganggukkan kepalanya, tangannya mendekap dengan erat tubuh tegap Hans yang selalu ia peluk setiap malamnya. Ia kembali terisak sambil mengucap kata ma'af yang hampir tenggelam oleh isak tangisnya.

"Ma'af, Mas. Ma'afkan aku." Hans tersenyum, tangannya masih terus senantiasa mengelus kepala Noura yang memberikan rasa tenang kepada wanita cantik tersebut. Begitulah drama mereka beberapa hari ini yang akan berakhir dengan pelukan atau lebih dari itu.

===ZZZ===

Noura mendengarkan dengan seksama wejangan yang diberikan oleh Ibu Aminah. Tidak terasa air matanya menetes, dan sekali lagi mereka berpelukan dengan berlinang air mata. Mungkin dimata orang lain, ini adalah hal yang berlebihan. Tetapi bagi Noura, berpisah dengan wanita yang telah mengorbankan diri dan hidup untuknya adalah hal yang paling sulit baginya.

"Jaga diri baik-baik ya, Nduk. Nurut sama suami." Noura mengangguk patuh pada nasehat terakhir yang diucapkan oleh Ibu Aminah. Noura meraih tangan Ibu Aminah dan menciumnya. Lalu, Noura beralih pada Abah Ahmad yang juga menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Noura meraih tangan Abah Ahmad dan menciumnya, lalu ia memeluk tubuh Abah Ahmad yang tidak lagu setegap dulu.

"Kabari Abah kalau terjadi sesuatu. Abah pasti akan datang." Abah Ahmad mengusap kepala Noura dan tersenyum pada putrinya yang kini akan meninggalkan dirinya untuk ikut dengan suaminya. Sama dengan Ibu Aminah, Abah Ahmadpun merasa sangat berat melepas Noura. Namun, tentu ia tidak ingin memaksa anaknya untuk tetap bersamanya, karena sejak beberapa minggu yang lalu tanggung jawab Noura tidak lagi ditangannya, melainkan pada lelaki yang kini sedang mencium tangannya.

Anugerah Terindah Yang Pernah KumilikiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang