I love u princess 17 of 4-2

2.4K 26 0
                                    

Alex tersenyum melihat wajah Evelyn yang semakin memerah. Entah kapan lagi dirinya bisa sedekat ini dengan pujaan hatinya.

Alex berjalan perlahan menuju pintu utama. Disaat seperti ini alex sangat berharap jalan yang sedang ditapakinya ini berubah menjadi sangat panjang karena dia tidak ingin cepat-cepat menurunkan Evelyn yang terlihat tenang di gendongannya.

Sebuah kereta kuda berlapis emas dengan empat ekor kuda putih telah menunggu di halaman pintu utama.

Disana Alvin tengah menanti dengan gelisah. Wajah tampan yang terus berkerut-kerut dan kakinya yang terus berjalan bolak-balik didepan pintu kereta membuat siapapun menilai dia sedang sangat gelisah.

"Maaf membuat anda menunggu Pangeran."

Alex berdiri di hadapan Alvin tanpa menurunkan Evelyn.

Alvin sedikit terkejut melihatnya, namun cepat-cepat ia menguasai kekagetannya.

"Tidak apa-apa, aku hanya menunggu sebentar."

Kata Alvin sambil memberi jalan pada Alex.

Seorang prajurit segera membuka pintu kereta, dengan hati-hati Alex mendudukan Evelyn di dalamnya.

"Jaga dirimu baik-baik" kata Evelyn berbisik, kedua tangan mungilnya merangkum pipi Alex.

"Tentu, kau juga harus menjaga dirimu. Aku akan sangat merindukanmu Princess".

Tangan Alex bergerak menyentuh tangan Evelyn yang masih merangkum wajahnya, mengenggamnya kemudian mencium tangan Evelyn lembut.

Kemudian Alex berkata, "aku akan menulis surat untukmu bila aku sudah tidak kuat menahan semua rasa rinduku padamu."

"aku akan menunggunya"

Evelyn tersenyum melihat Alex yang perlahan melepaskan tangannya.

Alex turun dari kereta lalu mendekati Alvin, mereka berpelukan seperti kakak beradik.

"Tolong jaga Princess untukku," bisik Alex pada Alvin.

"Tentu, berjuanglah Alex. Jadilah raja yang bijaksana. Ingat aku menunggu keputusanmu, cepat temukan pedang itu dan bereskan urusanmu. Aku tidak tahan lama-lama melihat adikku bersedih."

Alvin menepuk pundak Alex lalu masuk ke dalam kereta. Setelah memberikan aba-aba, kereta pun berangkat dengan diiringi oleh empat puluh pasukan berkuda. Alvin melambaikan tangannya, Alex hanya tersenyum getir memandang kepergian kereta itu.

Lama Alex mematung di tempatnya, kejadian tadi seperti sebuah adegan yang terus berulang-ulang di otaknya.

"Pengawal, segera panggilkan paman Gheral dan paman Gordon sekarang. Aku menunggu di ruangan kerja"

"Siap laksakan, Paduka Yang Mulia." Pengawal itu cepat berlalu setelah membungkuk hormat.

Alex segera menuju ke ruang kerjanya, kedua kakinya terasa melayang tidak menapak lantai.

Yang ada dipikirannya saat ini adalah, bagaimana caranya bisa secepatnya mungkin menemukan pedang yang berisi kertas wasiat itu serta secepatnya menemui wanita itu dan keluarganya untuk menyatakan ketidak sediaanya karena Alex sudah mempunyai gadis pilihannya sendiri.

Alex menjatuhkan diri di kursi sudut yang ada di ruanganya.

Perlahan matanya tertutup, Alex berusaha menenangkan hatinya.

Hari-hari di umurnya yang ke dua puluh ini dirasa terlalu berat untuknya. Terlalu banyak kejutan serta terlalu banyak hal yang menguras fisik dan pikirannya.

"Kesabaran itu pahit tapi manis buahnya" guman Alex pada dirinya karena teringat kata-kata Evelyn.

Alex tersenyum mengingat wajah Evelyn, umur gadis itu belum genap enam belas tahun tetapi terkadang kata-katanya nampak seperti orang dewasa.

Setelah menanti cukup lama terdengar suara ketukan dipintu.

"Masuk" kata Alex pelan.

Ruang kerja pun terbuka perlahan, Alex tersenyum penuh harap memandang dua orang yang dikenalnya sebagai pengawal pribadi orang tuanya masuk ke ruang kerjanya.

"Jadi... dimana pedang wasiat itu disimpan?" tanya Alex tidak sabar.

Paman Gheral dan Gordon saling pandang sejenak.

"Maaf Paduka, kami tidak mengetahuinya" jawab paman Gheral menyesal.

Senyum diwajah Alex perlahan memudar.

"Apa?! Lalu siapa yang mengetahuinya?" tanya Alex kaget.

"Entahlah Paduka, izinkan hamba untuk mencarinya?" jawab Gordon tenang.

Alex menghela napas, kenapa bisa begini? Pikirnya.

"Tentu paman, tolong kerahkan beberapa orang untuk mencarinya di setiap sudut istana ini. Aku ingin pedang itu segera ditemukan."

"Siap laksanakan Paduka."

"Terimakasih paman."

"Sudah menjadi kewajiban kami sebagai pengawal pribadi anda untuk mencarinya."

Paman Gheral dan Gordon memberi hormat kemudian meninggalkan Alex yang duduk termenung memainkan jepit rambut Evelyn di tangannya.

Sementara itu di sepanjang perjalanan Evelyn tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Matanya memandang kosong ke luar jendela kereta.

Alvin memandang sedih pada adiknya.

"Kemarilah, kau bisa meminjam punggungku."

Alvin melingkarkan tangan Evelyn di pinggangnya, sementara kepala Evelyn bersandar di punggungnya yang lebar.

Samar-samar Alvin mendengar suara tangisan pelan.

"Menangislah Evelyn, aku mengerti ini sangat berat untukmu."

Alvin mengenggam erat tangan adiknya dan Evelyn pun terus menangis melampiaskan semua perasaannya.

Sebenarnya Alvin tidak tega melihat semua ini. Alex dan adiknya saling mencintai, lalu apa yang masih kurang?

Pertanyaan itu terus berputar di kepala Alvin, kalau tidak ingat pesan ayahnya tentang wasiat orang tua Alex serta permintaan ibu mereka berdua mungkin Alvin tidak akan memaksa membawa Evelyn pulang.

Sampai saat ini Alvin belum bisa menjelaskan apa-apa pada Evelyn tentang keinginan Alvin yang tiba-tiba mengajaknya pulang.

Biar ayah saja nanti yang menjelaskannya pada Evelyn, pikir Alvin.

"Evelyn apa kau tidak keberatan apabila kita langsung pulang ke istana Venella?" tanya Alvin ragu-ragu.

"Terserah kau saja" jawab Evelyn.

"Baiklah" jawab Alvin pelan.

***

I love u PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang