---->
Pucuk-pucuk menara istana Naple yang berwarna biru muda semakin terlihat jelas. Kereta kuda yang ditumpangi Evelyn semakin mendekati pemukiman penduduk yang berada di luar tembok benteng istana Naple.
Kota yang setahun lalu hangus terbakar akibat pertempuran itu kini telah berhasil dibangun kembali. Sebuah taman dengan kolam air mancur serta patung seekor harimau di tengahnya menghiasi salah satu sudut jalan menuju istana.
Tidak seperti biasanya suasana pagi di kota itu sangat ramai, orang-orang sibuk menghias bangunan-bangunannya dan membersihkan halaman rumahnya. Kurang lebih sudah dua belas jam Evelyn melakukan perjalanan tanpa istirahat.
Pengasuhnya sangat mengkhawatirkan kesehatannya sehingga meminta kusir kereta kerajaan itu untuk berhenti sejenak di depan sebuah penginapan.
"Princess, sebaiknya anda beristirahat dulu di penginapan ini untuk membersihkan diri" katanya sambil bersiap turun.
Evelyn menggelengkan kepalanya lemas, Mrs.Anne berusaha tersenyum melihatnya.
Yang Evelyn inginkan saat ini hanyalah berharap dapat cepat-cepat bertemu dengan Alex.
"Anda tidak boleh menemui tuan muda maksud saya Paduka Raja Alexander dalam keadaan seperti ini. Anda harus terlihat cantik Princess."
Setelah susah payah dibujuk barulah Evelyn mau mengikuti keinginan pengasuhnya itu.
Penampilan Evelyn tidak terlihat seperti biasanya, rambutnya yang biasanya rapi kini terlihat sedikit acak-acakan, wajahnya pucat, kedua matanya pun masih nampak bengkak karena habis menangis. Siapapun yang melihatnya pasti tidak akan percaya bahwa ia adalah seorang Princess dari kerajaan Celova yang luas wilayah kekuasaannya. Setelah kereta berhenti tepat di depan pintu penginapan,
Mrs.Anne dan kusir kuda itu membantu Evelyn turun dari kereta.
Dengan cekatan Mrs.Anne memakaikan topi dan merapatkan mantel panjang Evelyn untuk menutupi gaun tidurnya yang tipis.
"Princess, tunggulah sebentar disini," kata
Mrs.Anne setelah memasuki bangunan mewah bertingkat itu. Kemudian ia mendudukan Evelyn di salah satu kursi sudut dekat sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke taman sedangkan dirinya pergi menemui pelayan untuk memesan sebuah kamar.
Evelyn merapatkan mantelnya, topi yang tadi dikenakannya telah dilepas.
Beberapa pasang mata pria yang sibuk memandang ke arahnya membuat Evelyn risih dan membuang pandangannya jauh-jauh kearah jendela. Evelyn melihat anak-anak yang tersenyum ceria tanpa beban, mereka berlari-lari mengelilingi sebuah pohon.
"Andaikan aku tetap bisa seperti mereka" katanya dihati tanpa melepas pandangannya dari anak-anak itu. Tidak jauh dari sana, beberapa gadis-gadis bangsawan duduk santai sambil bersenda gurau dibangku-bangku taman yang kosong. Ibu-ibu muda juga nampak menggendong bayi mereka sambil menikmati keindahan bunga yang ada di taman itu. Ada perasaan iri saat Evelyn melihat beberapa pasang kekasih berjalan-jalan dengan bahagia sambil bergandengan tangan.
Taman yang mengelilingi Air mancur itu terlihat indah dan segar.
Rumput-rumput hijau yang terawat, berbagai macam bunga beraneka warna, dan beberapa pohon Maple berjajar di kanan kirinya.
Tanpa sadar Evelyn membentuk senyuman di wajahnya. Rasa rindu membuat kakinya melangkah meninggalkan tempat duduknya. Saat sepasang kakinya menapaki rumput,
Evelyn merentangkan tangan kemudian menghirup udara taman sepuasnya, seketika perasaan tenang menjalari tubuhnya yang lelah.
Kakinya yang terbalut sepatu berhak rendah terus melangkah ringan mendekati kolam Air mancur yang penuh dengan ikan-ikan.
Patung harimau itu seakan memanggil dan mengingatkannya pada si Blue.
"Blue Garden, persembahan dari raja muda Alexander Schefield." gumannya membaca tulisan yang terpahat di bagian bawah patung itu.
Rasa rindu yang teramat sangat membuat hatinya perih.
Nama itu membuatnya ingat kembali pada perasaan yang menyiksa jiwanya.
Rasa cinta dan rindu membuatnya tidak sabar ingin segera bertemu dengan pria pujaan hatinya itu.
"Semoga belum terlambat" lirihnya pelan.
Evelyn sangat berharap Alex akan mempertimbangkan kembali keputusannya bila sudah mendengar penjelasan tentang surat-surat itu darinya.
Evelyn sangat berharap Alex masih mencintai dirinya, walaupun ia sudah bertemu dengan calon istrinya.
Egois memang, rasa cinta bisa membutakan mata siapa saja.
Evelyn berjalan pelan mengelilingi kolam itu. Suara gemericik air yang ditimbulkan oleh air mancur itu membuai dirinya dalam kerinduan yang sangat.
Namun langkah Evelyn tiba-tiba terhenti. Seorang pria yang tengah berdiri disisi lain kolam itu membuatnya terkejut. Mata pria itu memandang kosong ke arah kolam, bagai sebuah patung yang tidak terganggu oleh kebisingan sekelilingnya.
Sensasi rasa yang aneh membuat tubuh mungilnya gemetaran.
Lelaki yang selama ini sangat dirindukannya berjarak sangat dekat darinya. Namun ada sedikit rasa kecewa dihatinya, Alex diam saja seolah tidak menyadari akan kehadirannya.
Evelyn menatap lekat-lekat ke arah pria itu, wajah Alex kini terlihat lebih tampan daripada setahun yang lalu, rambut hitamnya yang sedikit rapi sekarang memancarkan kewibawaan dan kedewasaannya.
Evelyn bingung dan ragu, apa yang harus dilakukannya sekarang?
Rasa rindu memaksa kakinya untuk berjalan mendekati Alex,
Akan tetapi bagai terpaku, Evelyn merasa tidak ada tenaga untuk melakukannya.
Dengan segenap sisa-sisa semangatnya, Evelyn berusaha berjalan mendekat. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti, sebuah pedang tajam bagaikan mengiris kecil-kecil hatinya.
Mata cantiknya membelalak tidak percaya pada apa yang dilihatnya saat ini.
---->